Indonesia.go.id - Bangau Bluwok dan Lonceng Kepunahan

Bangau Bluwok dan Lonceng Kepunahan

  • Administrator
  • Minggu, 27 Juni 2021 | 12:25 WIB
KEANEKARAGAMAN HAYATI
  Bangau Bluwok , Burung air yang kini statusnya terancam punah. WIKI COMMON/ Ari Hidayat11
Di Indonesia terdapat sekitar 1.700 individu bangau bluwok atau sekitar 70 persen dari populasinya di dunia yang kini tinggal sekitar 2.000 ekor saja. Upaya pelestarian perlu dilakukan untuk menyelamatkannya dari ancaman kepunahan.

Bangau merupakan jenis burung berukuran besar dari keluarga Ciconiidae dengan ciri khas postur bongsor, kaki dan leher jenjang, serta paruh besar, kuat, lagi panjang. Pada kaki bangau terdapat selaput yang berfungsi untuk mengarungi air dangkal. Sayapnya cukup lebar ketika dikepakkan di udara. Kendati demikian, bangau merupakan hewan yang tidak dapat berkicau karena tidak mempunyai pita suara (syrinx).

Sebagai gantinya, mereka berkomunikasi dengan cara saling mengatupkan paruh besarnya hingga menghasilkan suara. Habitat bangau banyak terdapat di lahan basah berlumpur, terutama perairan dangkal seperti tepi pantai, muara, rawa, serta hutan mangrove. Di seluruh dunia terdapat 16 jenis bangau yang terbagi ke dalam 6 genus.

Salah satu jenisnya adalah bangau bluwok dari genus Mycteria. Memiliki ukuran tubuh mencapai 110 sentimeter, bangau bluwok atau Mycteria cinerea tersebar luas di Thailand, Kamboja, Vietnam, Malaysia, serta Indonesia. Wilwo, demikian ia biasa disebut, memiliki ciri utama kulit mukanya tanpa bulu, berwarna merah jambu hingga merah.

Burung yang juga dikenal sebagai bagian dari bangau susu (milky stork) karena sebagian besar bulunya berwarna putih seperti susu menjadi bagian dari 1.812 jenis burung yang hidup di alam Indonesia. Populasinya di seluruh dunia menurut lembaga nirlaba Burung Indonesia tak sampai 2.000 individu dan negara kita menjadi rumah paling banyak didiami burung penyuka ikan-ikan kecil di laut, kerang, katak, dan serangga tersebut.

Setidaknya, kini masih terdapat 1.700 individu bangau bluwok di kawasan pantai Sumatra, Jawa, Bali, Sulawesi, dan Sumbawa. Artinya, populasi bangau bluwok sebesar 70 persen terdapat di Nusantara.

Kendati demikian, populasi bangau bluwok, baik secara global maupun di dalam negeri telah berkurang banyak. Di Malaysia dan Kamboja, bangau bluwok tercatat hanya tinggal puluhan ekor. Padahal ketika era tahun 1990-an, di seluruh dunia masih ada sekitar 5.000 individu, termasuk 70 persennya berada di Indonesia.

Kebiasaan bangau jenis ini adalah hidup sendiri atau di dalam kelompok-kelompok kecil di dekat pantai. Burung berparuh kuning panjang ini juga sering terlihat bergabung dengan bangau-bangau jenis lain termasuk ibis dan kuntul serta jenis cangak. Kembang biak bangau kluwok terbilang lambat karena sifatnya yang lebih suka menyendiri. 

Menurut Dwi Mulyawati, Bird Conservation Officer Burung Indonesia, burung ini tidak bisa pindah ke sembarang tempat karena hidupnya bergantung kepada ketersediaan lahan basah. Salah satu tempat terbaik untuk menyaksikan kehadiran bangau bluwok dalam jumlah besar ada di Pulau Rambut, satu dari 108 gugus pulau yang berada di perairan Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.

Di pulau seluas 90 hektare yang terdiri 45 ha lahan darat dan sisanya berupa perairan itu tercatat sekitar 50-70 individu bangau bluwok hidup berdampingan bersama sekitar 20.000 individu jenis burung air (water bird) dan burung darat (terrestrial). Pulau Rambut yang merupakan kawasan konservasi menjadi satu-satunya habitat bangau bluwok di Jawa setelah tidak ditemukan lagi di Pulau Dua, Banten.

Burung ini membangun sarangnya di pucuk pohon bakau (Rhizophora mucronata), beringin (Ficus timorensis), dan kepuh (Sterculia poetida). Musim berbiak burung ini terjadi antara Januari hingga September, sepanjang tahun. Ketika bereproduksi, di tiap sarang, biasanya berisi antara satu hingga empat butir telur yang dierami sekitar satu bulan. Setelah menetas, minggu keenam atau tujuh, anakannya mulai keluar sarang dan belajar terbang.

Saat tiba musim berbiak di awal 2021, misalnya, terpantau sekitar 50 individu bangau bluwok di Pulau Rambut. Padahal ketika 2018, masih sekitar 70 ekor yang singgah. Menurunnya jumlah bangau bluwok di Pulau Rambut menjadi penanda bahwa burung ini pun semakin langka kehadirannya di alam.

Menyusutnya luas lahan basah karena alih fungsi menjadi kawasan pertanian, permukiman telah menyebabkan penurunan sumber pakan dan hilangnya habitat bersarang bagi burung air ini. Kondisi tadi ditambah oleh perburuan untuk menjadikannya sebagai satwa koleksi. 

Itu pula yang menyebabkan sejak 2016, Badan Konservasi Alam Internasional (International Union for Conservation of Nature) memasukkan satwa ini ke dalam daftar merah (redlist) pada kategori genting (endangered/EN) atau terancam punah secara global. Oleh Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), bangau kluwok dimasukkan dalam satwa berkategori appendix I atau sudah tidak boleh lagi diburu dan harus segera diselamatkan dari kepunahan.

Pemerintah Indonesia pun telah mendaftarkannya sebagai keanekaragaman hayati yang wajib dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Bangau bluwok pun menjadi satu di antara 179 jenis burung di Indonesia yang masuk ke dalam daftar satwa terancam punah secara global menurut Burung Indonesia.

Berdasarkan status keterancamannya, ada 31 jenis burung masuk dalam kategori kritis (critically endangered/CR) atau satu langkah lagi menuju status kepunahan. Sebanyak 52 jenis dinyatakan genting (endangered/EN) dan 96 jenis lainnya berstatus rentan terhadap kepunahan (vulnerable/VU).

Mengutip keterangan Achmad Ridha Junaid, Biodiversity Conservation Officer Burung Indonesia belum lama ini, kondisi di atas menyiratkan tantangan konservasi bagi keanekaragaman jenis burung di Indonesia semakin meningkat. Kendati upaya konservasi telah banyak dilakukan, sebagian populasi jenis burung tetap mengalami kemerosotan populasi di alam. Mari kita jaga dan rawat kondisi alam serta lingkungan agar tidak makin bertambah jumlah flora dan fauna Indonesia yang terancam dari lonceng kepunahan.

 

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari