Awal 70-an, tiga orang praktisi bela diri menjelajah berbagai pelosok Indonesia untuk mempelajari dan bersentuhan langsung dengan seni bela diri khas Nusantara.
Yang paling senior di antara mereka bernama Donald Frederick "Donn" Draeger, kelahiran Wisconsin, 15 April 1922. Dia adalah veteran Korps Marinir Amerika Serikat. Yang kedua adalah Quintin Chambers, kelahiran London awal 1930-an. Dia veteran Angkatan Laut Inggris. Yang paling muda di antara mereka adalah Howard Alexander, murid Donn Draeger, pejudo asal Kanada yang kebagian tugas menulis laporan penelitian dan perjalanan mereka.
Donn adalah seorang legenda. Reputasinya sebagai seorang pionir yang mempelajari ilmu beladiri Asia Timur sangat panjang. Sejak umur 7 tahun dia mempelajari Juijitsu, tetapi dalam perkembangan dia beralih ke Judo. Usia sepuluh tahun dia sudah menerima sabuk coklat pemula. Tahun 1948 dia sudah Dan 4 Judo. Tahun 1948 dia sudah menjadi salah seorang ketua asosiasi sabuk hitam judo Amerika Serikat yang baru dibentuk.
Karir militernya cukup cemerlang. Masuk ke Marinir pada 1943, dia mengalami perang Dunia Kedua di kawasan Asia Pasifik. Pangkat terakhirnya adalah Kapten hingga selesai tugasnya pada 1956. Selepas kemiliteran dia aktif mempelajari bela diri Asia Timur.
Quintin Chambers, setelah dua tahun bertugas di Angkatan Laut Inggris, dia masuk Cambridge University. Dia mempelajari Judo pada 1954, saat dia masih menjadi prajurit Kerajaan Inggris. Tahun 1959 dia lulus dari Jurusan Bahasa-Bahasa Modern. Dari jurusan itu dia menjadi mahir bicara Bahasa Jepang, Cina, Melayu, hingga Jawa.
Ketertarikan Quintin pada bela diri Asia Timur membawanya ke Jepang pada 1961 untuk belajar selama satu tahun. Menjadi bagian dari kolega diplomat Inggris di Jepang dia malah menghabiskan 12 tahun berikutnya di sana. Di sanalah dia belajar Judo dan Aikido. Saat belajar, dia dikenalkan oleh rekannya, atlet Judo Amerika Serikat, Doug Rodgers, kepada gurunya, Donn Dreager. Lewat Donn inilah Quintin mendapat kesempatan untuk belajar Judo lebih jauh pada Shimizu Takaji Sensei.
Pencak Silat Khas Nusantara
Seni bela diri orang kepulauan Nusantara relatif tidak dikenal orang di masa 60-an. Hal itulah yang membuat tiga orang yang berasal dari tiga negara berbeda sepakat untuk naik kapal dari Hong Kong, melewati Singapura, menuju Jakarta, selama dua belas hari. Howard Alexander, yang paling muda di antara mereka mencatat perjalanan dua minggu di tahun 1968 itu sebagai perjalanan yang penuh dengan berjam-jam latihan Jodo-tarung Judo.
Dalam pengantar buku mereka, yang merupakan laporan dari perjalanan penelitian mereka, Pentjak Silat; The Indonesian Fighting Art (1970), mereka melihat seni bela diri Nusantara sebagai sesuatu yang sangat khas. Di mata orang awam, Pencak Silat dianggap sama dengan seni bela diri lain, semisal Judo, Karate, atau Kung Fu. Padahal sejatinya, setelah mendalami dan mendatangi berbagai perguruan silat dari Jawa, Madura, Sumatra, hingga Bali, pada kurun waktu 1968-1969, mereka menyimpulkan bahwa pencak silat memang berbeda.
Untuk bisa mengetahui kekhasan pencak silat, seorang pemula harus belajar di bawah bimbingan seorang guru yang ahli. Buku penelitian mereka, dalam banyak hal memberikan berbagai macam petunjuk untuk menangkap beberapa teknik berbeda dalam pencak silat yang akan sangat berguna bagi pengembangan bela diri lainnya.
Sejarah kedatangan bangsa-bangsa yang sampai ke kepulauan Nusantara adalah sejarah ribuan tahun adaptasi dengan kondisi iklim tropis yang terkenal dengan hutan belantara. Bentuk paling primitif seni bela diri orang Nusantara adalah pertahanan terhadap binatang-binatang liar. Saat koloni-koloni pemburu dan peramu terbentuk, kontak dan konflik yang terjadi antara kelompok satu dan kelompok lain membuat seni mempertahankan diri yang berciri khas kawasan ini mulai berkembang.
Di awal buku tiga orang peneliti di atas dijelaskan bahwa sekitar abad ke-8 masehi seni bela diri untuk bertempur telah berkembang di kalangan orang-orang kepulauan kawasan Riau dan sekitarnya. Saat ini, wilayah itu membentang dari pedalaman Palembang dan Riau sampai Semenanjung Melayu.
Seni bela diri yang awalnya sangat berwarna kontinental (India-Cina), perlahan diadaptasi oleh orang-orang Nusantara berdasarkan ciri khas masing-masing. Orang Minangkabau, misalnya, mereka mempunyai seni bela diri yang sangat khas dengan warna pedalaman. Sementara itu, catatan-catatan sejarah dinasti Tang memperlihatkan orang-orang Sriwijaya yang berkuasa dari abad ketujuh hingga empat belas Masehi, mempunyai kemampuan bela diri yang sangat efisien.
Peradaban di Jawa, baik di Barat atau Timur kawasan ini, pada abad kesebelas telah mengembangkan kemampuan bela diri dengan menggunakan berbagai ragam senjata dan kemampuan teknik bela diri yang khas. Puncak kesempurnaannya diperkirakan berada pada masa kejayaan Majapahit dari abad ketiga belas hingga abad keenam belas. Awalnya yang mempunyai seni bela diri ini hanyalah kalangan pasukan pengawal raja dan bangsawan. Tetapi dalam perkembangannya kalangan petani yang relatif memiliki tingkat kedaulatan tersendiri dalam kawasan-kawasan "otonom" (sima/perdikan) berhasil mengembangkan seni bela diri dengan derajat efisiensi tersendiri.
Beda Pencak dan Silat
Tiga orang pembelajar bela diri di atas menyimpulkan bahwa pencak silat merupakan perpaduan antara dua hal, yakni pencak dan silat. Pencak adalah metode berlatih untuk pertahanan diri. Pencak merupakan gabungan dari kemampuan mengontrol gerakan tubuh untuk pertahanan diri. Sedangkan silat adalah cara melakukan gerakan pertahanan diri yang sesungguhnya. Silat adalah pertarungan. Tidak ada silat tanpa pencak, demikian juga sebaliknya. Pencak tanpa silat hanyalah kembang kosong belaka.
Tujuan utama pencak silat adalah pertahanan diri. Lain itu tidak terlalu penting. Tidak ada tradisi dalam pencak silat untuk menjadikannya sebagai bentuk olahraga atau latihan fisik. Dasar-dasar pencak silat selalu berkait dengan penggunaan senjata. Gerakan-gerakan pencak silat ketika dilakukan dengan tangan kosong harus sama dan seluwes ketika senjata digunakan.
Secara tradisional pencak silat adalah seni untuk menghindari segala hal yang mencelakai. Karakteristik menghadapi serangan adalah gerakan yang ringan, cepat, dan terperkirakan. Gerakannya dibuat untuk menghindari benturan yang mematahkan tulang. Biasanya gerakan itu tidak bersifat melawan kekuatan penyerang, melainkan cenderung menyesuaikan dengan arah serangan dan membawanya ke dalam situasi melumpuhkan.
Secara umum sifat pencak silat adalah bertahan. Seorang ahli pencak silat akan memilih untuk menunggu serangan sebelum membalas, walaupun bukan sesuatu keharusan. Teknik-teknik pencak silat dalam pengamatan peneliti di atas lebih merupakan teknik yang halus dan lentur. Siap terhadap berbagai situasi, mampu menyesuaikan diri dan membalas dengan cepat hingga serangan yang datang menjadi lumpuh.
Irama dan tempo dalam pencak silat sangat khas dan akan mudah diketahui. Jika ada irama kendang yang biasa disertakan, dia bukanlah iringan yang mengobarkan perkelahian melainkan hanya memberi sentuhan emosi dan ekspresi gerakan.
Karakter jurus-jurus pencak silat berdasar pada gerakan-gerakan yang meniru gerakan hewan atau gerakan khas manusia. Tak heran jika ada jurus garuda atau macan. Tak sedikit pula gerakan menyerupai pendeta atau begawan. Satu hal yang sangat khas pencak silat adalah dia dibuat sebagai gerakan pertahanan diri, tanpa melalui bentuk pemanasan atau persiapan.
Pencak silat dibuat untuk menghadapi situasi genting. Gerakan-gerakan yang ada harus bisa dilakukan kapan saja dan bisa dengan segera diberhentikan. Latihan-latihan yang bersifat penyempurnaan atau agilitas yang luar biasa dianggap tidak terlalu penting.
Seorang pesilat harus mampu siap dalam kondisi menghadapi berbagai serangan kapan saja. Tubuh harus luwes dan lentur untuk menyikapinya. Kuda-kuda dan gerakan yang halus dalam sikap tubuh yang rendah menyiratkan kelenturan dan kekuatan sepadan yang mengalir dari kaki dan pinggang.
Gerakan-gerakan seperti bersila yang sehari-hari dilakukan orang Indonesia adalah gerakan-gerakan natural yang memerlukan kelenturan yang lebih dibandingkan suku bangsa lain di dunia. Gerakan-gerakan salat dalam banyak hal adalah salah satu budaya kelenturan tubuh yang merupakan keseharian bahkan kewajaran orang Nusantara.
Berbagai kunjungan dan latihan yang dilakukan oleh tiga peneliti di atas memberikan beberapa kesimpulan yang merupakan bentuk-bentuk dasar pencak silat yang ada di Nusantara. Yang pertama adalah pencak silat gaya Sumatra. Ciri khasnya adalah kemampuan olah kaki dan tendangan. Contohnya adalah gerakan Harimau, Patai, Baru, dan gaya Kumango.
Yang kedua adalah silat Jawa Barat. Kebanyakan berupa teknik tangan dan pukulan seperti Cimande, Cingkrik, Mustika, hingga Jurus Kwitang. Jawa Tengah adalah sintesis dari gerakan pukulan dan tendangan. Contoh pada gerakan-gerakan Setia Hati hingga Merpati Putih. Jawa Timur mirip seperti Jawa Tengah, tetapi melingkupi pula gerakan-gerakan membanting atau memiting. Bisa dilihat di perguruan Perisai Diri, Bhakti Negara, Hingga Setia Hati Teratai.
Pencak silat adalah kemampuan untuk membela diri pada situasi dan kondisi apapun. Sifatnya ganas dan mematikan. Bentuknya memang dirancang menghadapi situasi membunuh atau dibunuh. Efisiensi dan efektivitas lebih penting daripada gertakan atau pengelabuan.
Dalam banyak hal suasana batin seorang pesilat lebih mementingkan pada kemurnian dan pengendalian diri. Bukan agitasi atau manipulasi kemampuan-kemampuan diri. Oleh karena itu pencak silat adalah seni bela diri yang tidak mempunyai tradisi busana khusus untuk berlatih. Pada dasarnya busana pesilat adalah yang biasa dikenakan petani, pemburu, pedagang, penggembala, atau kuli yang biasa dijumpai sehari-hari dalam keseharian orang Indonesia pada masa-masa puncak perkembangannya. (Y-1)