Musik keroncong adalah salah satu genre musik yang lahir karena persilangan budaya Barat dan Timur. Lutgard Mutsaers adalah seorang musisi rock, jurnalis, sekaligus peneliti musik populer dari Tilburg, Belanda. Dia menulis tentang proses yang berkembang di awal kemunculan sebentuk musik unik yang kemudian dikenal sebagai Kroncong atau Keroncong.
Tulisan itu berjudul Barat Ketemu Timur; Cross-Cultural Encounters And The Making of Early Kroncong History. Tulisan ini adalah salah satu dari beberapa tulisan dalam buku Recollecting Resonances yang diterbitkan oleh KITLV, Institut Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia, pada 2014.
Musik Kroncong, dalam kacamata perempuan kelahiran 1958 ini, adalah simbol hubungan yang sangat intim antara Indonesia dan Belanda. Kroncong sangat unik, karena penampilannya sangat berbeda dengan musik popular lain yang berkembang di Indonesia.
Walaupun akar musiknya bukan berasal dari Belanda atau dari Indonesia, sejarah mencatat bahwa Indonesia atau Nusantara yang pada saat itu berada di bawah mahkota Kerajaan Belanda adalah tempat berpadunya estetika Eropa dengan Asia. Hingga hari ini Kroncong adalah ruang kultural yang menyambungkan keduanya.
Musik dari Kampung Tugu
Awal abad 20 adalah mula kepopuleran musik Kroncong. Dia berkembang sebelum ada industri rekaman. Pentas-pentas Kroncong menarik perhatian berbagai kalangan sosial yang mampu membeli tiket pertunjukannya. Kepopulerannya berkembang sebelum radio, dan piringan hitam menghadirkannya secara komersial.
Bagi orang Belanda, Kroncong adalah musik yang tumbuh dari tanah Hindia yang mereka cintai. Dia adalah miniatur kenangan yang melintasi jarak sejarah dan geografi.
Saat koran-koran kolonial mulai menulis tentang musik ini, dia belum bernama. Tertulis di sana adanya satu tradisi musik rakyat yang berbeda dari lainnya. Tradisi ini dijumpai di salah satu pojok Batavia. Namanya Kampung Tugu.
Musik ini adalah kegemaran orang peranakan Indo-Eropa kelas bawah. Para Sinyo dan Nona menggemari musik yang diiringi berbagai bentuk gitar dari yang besar hingga kecil. Melodinya dibawakan seruling dan piul. Perkusinya sering memakai rebana. Di masa 30-an, kota-kota besar di Hindia Belanda telah banyak mementaskan musik ini bersanding dengan aransemen teater hibrida ala Stamboel.
Musik asal Kampung Tugu ini konon dibawa orang-orang Mestizos ke tanah Betawi sejak 1661. Meztizos adalah keturunan pelaut-pelaut Portugis yang menikah dengan penduduk lokal yang menjadi koloni mereka. Jika dicari asal ibunya, kaum Mestizos bisa berasal dari Afrika Timur, Pantai Malabar, Sri Langka, Malaka, Banda, Ambon, hingga Flores Atambua.
Orang-orang Mestizos di Kampung Tugu juga dikenal sebagai Kaum Mardijkers. Saat Malaka jatuh ke Belanda, Mestizos yang ada di sana sebagian menjadi budak. Sebagian lagi mengungsi ke Batavia. Karena kemampuannya dalam membantu administrasi Belanda di Batavia, orang-orang Mestizos ini dibebaskan dari status budak.
Konon, Gereja Katoliklah yang meminta kepada Hindia Belanda untuk membebaskan mereka. Sejak itu mereka berjuluk The Mardijkers yang artinya orang-orang yang dibebaskan. Dari istilah inilah kata merdeka berasal. Tetapi sebagai bayaran kebebasan, orang-orang yang semula beragama Katolik itu harus beralih ke protestan yang menjadi agama resmi Kerajaan Belanda.
Awal Mula Kroncong
Keberadaan para Mardijkers di Kampung Tugu telah melewati ratusan tahun kesendirian. Posisinya sebagai minoritas di daerah pinggiran Batavia telah membentuk tradisi musik khas yang bisa mengingatkan asal moyang mereka, kesulitan mereka, keseharian mereka, dan menghibur mereka.
Kreasi orang-orang Tugu telah menciptakan tiga jenis gitar. Yang besar dinamakan Jitera, yang sedang bernama Prunga, yang kecil bernama Macina. Saat dimainkan mereka berbunyi “krong-krong” dan “crong-crong”. Dari bunyi inilah nama Kroncong dinasabkan.
Mendes Pinto, Pelaut Portugis abad 16, meninggalkan catatan yang dia beri nama Peregrinacao (Muhibah). Dia menulis perjalanan melautnya bersama seorang musisi bernama de Meirelez yang pintar menyanyi dan selalu membawa sebuah gitar kecil bernama Cavaquinho. Alat praktis inilah yang kemudian dibawa sampai ke kepulauan pasifik. Dari sana alat ini diberi nama Ukulele yang menjadi nama gitar kecil hingga saat ini.
Keluarga Cavaquinho inilah yang dikembangkan oleh orang-orang Kampung Tugu. Saat ini sebuah kelompok keroncong biasa melengkapi dirinya dengan Gitar, kemudian Cuk alias Ukulele dan Cak (Kava-Kinyu) yang berbunyi tajam.
Catatan Mendes Pinto juga menyebutkan adanya kiriman 10.000 Cavaquinho ke Maroko. Sebelum berkembang di timur, musik dengan iringan Cavaquinho lebih dahulu berkembang di ujung barat Afrika bagian utara. Dari sanalah muncul istilah orang-orang Morisco atau orang yang berasal dari tanah Maroko. Dari sanalah muncul irama Morisco yang menjadi signatur atau ciri khas musik dari Kampung Tugu. Dan dari sana pula berkembang musik yang populer di Cape Verde (Kepulauan di tengah Samudera Atlantik seberang pantai Afrika Barat) yang bernama Mornas. Mornas ini, menurut Joaquim Moreira de Lemos, duta besar Portugis untuk Indonesia pada 2014, sangat mirip dengan Keroncong yang berkembang di Indonesia. (Y-1)