Indonesia.go.id - Melawan Stigma, Mendongkrak Wisata

Melawan Stigma, Mendongkrak Wisata

  • Administrator
  • Rabu, 19 Juni 2019 | 05:00 WIB
SENI
  Tari Gandrung Sewu. Foto: ANTARA FOTO/Budi Candra Setya

Bukan hanya berhasil melawan stigma kesenian Gandrung ialah tarian erotis dan para artisnya ialah perempuan nakal, kebijakan revitalisasi kesenian Gandrung juga berhasil mendongkrak sektor pariwisata di Kabupaten Banyuwangi.

Festiwal Gandrung Sewu ialah pertunjukan tari kolosal Banyuwangi. Sewu berarti seribu, sebuah terminologi yang bermakna pertunjukan ini dimainkan oleh banyak orang. Sedangkan Gandrung sendiri ialah nama sebuah tarian yang berasal dari Bayuwangi. Festiwal Gandrung Sewu ialah pertunjukan tari tradisional yang dilakukan secara kolosal.

Merujuk sumber Kemenpar, even tradisional secara kolosal ini telah dimulai sejak 2012. Sementara itu bicara agenda tahunan pariwisata di tahun ini, even Festiwal Gandrung Sewu dijadwalkan berlangsung pada 28 Oktober 2019.

Festiwal Gandrung Sewu sengaja dihelat untuk mendongkrak sektor ekonomi pariwisata di Banyuwangi, mengambil lokasi berlatar belakang pemandangan indah Pantai Marina Boom dan Selat Bali, Festiwal Gandrung Sewu berlangsung dari siang hingga matahari terbenam.

Kabupaten Bayuwangi ialah salah satu kota kabupaten di Indonesia yang berhasil mengembangkan sektor pariwisata menjadi sektor ekonomi unggulan. Benar, Pelabuhan Ketapang di Banyuwangi berfungsi menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Bali, jelas jadi berkah tersendiri. Bisa diduga awalnya wisatawan yang berkunjung ke Banyuwangi ialah mereka yang hendak beranjangsana ke Pulau Dewata. Namun kini tampaknya tak lagi berarti semata-mata demikian. Bayuwangi, bagaimanapun kini telah menjadi salah satu destinasi wisata unggulan, baik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.

Menurut data Kemenpar, jika pada 2010 wisatawan domestik yang datang ke Banyuwangi masih berjumlah 497.000 orang. Maka tujuh tahun berselang, yakni pada 2017, angka wisatawan terdongkrak drastis menjadi 4,01 juta orang. Tak kecuali jumlah kunjungan wisatawan asing juga memperlihatkan tren peningkatan signifikan, yakni dari 5.205 orang pada 2010, menjadi 91.000 orang pada 2017.

Bicara Tari Gandrung, di sini menarik disimak bagaimana perjalanan tari ini dapat menjadi ikon pariwisata Bayuwangi, mengingat selama ini stigma telah melekat pada kesenian tradisional itu. Ya, Gandrung sebagai tari tradisi Banyuwangi selama ini telah distigma sebagai tarian erotis yang digunakan untuk menggoda kaum laki-laki, di mana sang penarinya juga distigma sebagai perempuan nakal.

Pada 2018, sebuah ormas yang mengatasnamakan agama Islam tercatat mengeluarkan seruan menolak dihelatnya Festiwal Gandrung Sewu. Pertunjukan ini dianggapnya penuh aroma kemaksiatan. Dasar penolakan yaitu, ribuan perempuan menari di hadapan ribuan penonton yang ialah bukan muhrimnya. Jelas penolakan itu bersifat sangat tendensius. Terlebih jikalau menyimak latar belakang sejarah kelahiran kesenian Gandrung.

Maskot Banyuwangi

Menurut sejarah lokal Banyuwangi khususnya etnis Osing, kesenian Gandrung awalnya dilakukan oleh penari laki-laki, yang berdandan dan berpakaian ala perempuan. Masyarakat menyebutnya sebagai Gandrung Lanang. Saat itu Gandrung Lanang adalah tarian jalanan yang sederhana. Alat musik digunakan juga sederhana, kendang dan rebana. Tokoh Gandrung Lanang terakhir ialah Marsan. Setiap kali ada pertunjukan Gandrung Lanangˆ, masyarakat menyebutnya Gandrung Marsan.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1560910396_1542280871_antarafoto_upacara_hut_ke_73_marinir_151118_zk_14.jpg" style="height:2667px; width:4000px" />Tari Gandrung Sewu. Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru

Fungsi Gandrung Lanang adalah sebagai salah satu strategi perang melawan penjajah kolonial Belanda. Saat pertunjukan berlangsung para penari menyelipkan seruan untuk melawan penjajah, yang diucapkan dalam bentuk syair lagu.

Ya, kesenian Gandrung konon berkembang pasca-Perang Bayu (1771 – 1773). Saat itu, banyak rakyat Kerajaan Blambangan—yaitu nama Banyuwangi waktu dulu—melakukan puputan, yakni perang hingga tetes darah penghabisan untuk mengusir penjajah Belanda. Usai perang, konon, jumlah penduduk Banyuwangi berkurang drastis. Tak aneh, tembang atau lagu Podho Nonton, misalnya, syairnya berisi lukisan perjuangan masyarakat Blambangan di masa lalu, dan sekaligus untuk menggugah serta membangkitkan kembali nilai-nilai spirit tersebut sebagai jati diri orang Banyuwangi kini.

Menjelang akhir abad ke-19, kesenian tradisional ini mengalami suatu pembaharuan mendasar. Jika awalnya ditarikan oleh kaum laki-laki, sejak masa itu hingga kini Gandrung ditarikan oleh kaum perempuan. Konon, alasan digantinya penari Gandrung menjadi perempuan ialah untuk mengembalikan peran sesungguhnya penari Gandrung: yakni perempuan.

Namun demikian barulah pada 1914 penari perempuan dihadirkan setelah kematian penari pria terakhir itu, Marsan. Gandrung perempuan pertama bernama Semi, seorang gadis kecil yang sakit-sakitan dan berkaul jikalau sembuh akan menjadi penari Gandrung.

Pembaharuan lainnya ialah, penambahan alat musik yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan Gandrung. Jika dulu hanya menggunakan instrumen musik berupa kendang dan rebana, maka kini ditambah alat musik lain seperti biola, kempul, ketuk, kenong, kloneng atau kluncing.

Berakar pada seni religius sebagai pemujaan terhadap Dewi Sri, Tari Gandrung berasal dari tarian ritual yaitu Tari Seblang sebagai bagian dari upacara ritus kesuburan. Menurut legenda, tanaman padi dianggap sebagai penjelmaan Dewi Sri yang diturunkan ke bumi. Dengan demikian Tari Seblang laiknya Samanisme dianggap sebagai tarian keramat karena merupakan pemujaan terhadap Dewi Sri, "Ratu Padi", yang lazimnya dilakukan setahun sekali pascamusim panen padi.

Trinil Widyowati (2018), mendasarkan pada wawancara Slamet Dihardjo, seorang penggiat kesenian Banyuwangi, menulis bahwa istilah gandrung dapat diartikan ‘cinta’, ‘tertarik’, atau ‘terpesona’. Merujuk pada makna etimologis tersebut, Slamet Dihardjo mengatakan tarian ini menggambarkan rasa tertarik atau terpesonanya kaum tani pada anugerah Dewata berupa hasil panen padi di sawahnya, dan hal ini diwujudkan dalam bentuk tari yang bersifat pemujaan.

Namun demikian kini penyebutan Tari Seblang boleh dikata hampir-hampir tidak terdengar lagi. Masyarakat Banyuwangi kini lebih menyebutnya sebagai Gandrung Banyuwangi. Tari Seblang ialah embrio dari kemunculan Tari Gandrung. Merujuk J We De Stoppelaar pada artikelnya “Een Paar Aanteekeningen Over Banjoewangi”, Bahagio Rahajo menggarisbawahi Gandrung sebagai Seblang tanpa in trance atau proses memasukkan roh ke dalam tubuh sang penari.

Kesenian ini masih satu genre dengan Tari Ketuk Tilu di Jawa Barat, Tayub di Jawa Tengah, dan Jawa Timur bagian barat, Lengger di wilayah Banyumas, dan juga Joged Bumbung di Bali. Pertunjukan Gandrung lazimnya melibatkan seorang wanita penari profesional, yang menari dengan melibatkan para penontonnya untuk ikut menari secara aktif. Diiringi musik berupa gamelan Osing, yang warnanya merupakan perpaduan dari tradisi gamelan Jawa dan Bali.

Revitalisasi Seni Budaya

Kini seiring perkembangan zaman, posisi dan makna Tari Gandrung pun bergeser menjadi lebih bersifat profan dan hiburan. Ini langsung atau tidak, tentu tidak terlepas dari kebijakan revitalisasi seni budaya daerah Banyuwangi yang dikeluarkan oleh Bupati Djoko Supaat Slamet pada1970-an.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1560910881_antarafoto_gandrung_sewu_2018__201018_bcs_3.jpg" style="height:683px; width:1024px" />Tari Gandrung Sewu. Foto: ANTARA FOTO/Budi Candra Setya

Kebijakan revitalisasi ini mendorong para seniman di Banyuwangi untuk menciptakan berbagai jenis gerak maupun gending-gending baru. Hasilnya membuat kesenian Gandrung terlihat semakin bervariasi. Sebutlah Sumitro Hadi, misalnya. Pada 1978 seniman ini menciptakan tarian kreasi baru yang bernama Jejer Gandrung sebagai bentuk seni hiburan.

Gayung pun bersambut. Gubernur Jawa Timur Basofi Sudirman (1993 – 1998) mengeluarkan sebuah visi kebijakan yang strategis dan berjangkauan jauh ke depan. Yaitu, menetapkan Desa Kemiren sebagai desa wisata. Desa ini secara historis dan sosiokultural masih memperlihatkan tata kehidupan dan nilai-nilai masyarakat Osing.

Osing merupakan salah satu sub-etnis Jawa. Bila dilihat dari bentuk adat-istiadat, budaya maupun bahasanya, terlihat jelas Orang Osing berbeda dari masyarakat Jawa lainnya (Jawa, Madura, dan Bali).

Lebih jauh, Bupati T Purnomo Sidik (1995 – 2000) kembali menguatkan kebijakan Gubernur Jawa Timur tersebut. Kebijakan yang lebih teknis dan operasional di tingkat kabupaten ini ternyata berdampak pada semakin berkembangnya kelompok seni pertunjukan tradisional di Desa Kemiren tersebut. Salah satunya, sudah tentu, ialah kesenian Gandrung.

Bergerak lebih maju, Bupati Samsul Hadi (2000 – 2005) melalui SK Bupati No.173 tanggal 31 Desember 2002 menetapkan Tari Gandrung sebagai maskot pariwisata Banyuwangi. Penetapan ini ditindaklanjuti oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dengan program pelatihan Gandrung. Kebijakan pemerintah ini, selain menetapkan tari Jejer Gandrung sebagai tarian selamat datang di Kabupaten Banyuwangi, juga mewajibkan setiap sekolah untuk memiliki kelompok tari tersendiri sebagai bentuk revitalisasi.

Tak hanya itu. Pada 2004 pemerintah mulai membangun patung-patung Gandrung di berbagai penjuru kota Banyuwangi, di mana yang paling besar ialah patung Gandrung yang dibangun di pintu masuk utara Banyuwangi di sekitar Pantai Watu Dodol.

Seluruh kebijakan ini berpuncak pada Bupati Abdullah Azwar Anas, yang sejak 2010 hingga kini terlihat semakin gencar membangun sektor ekonomi pariwisata di Banyuwangi. Berbagai festival diadakan setiap tahun secara rutin untuk menarik minat wisatawan. Sebutlah Banyuwangi Ethno Carnival (BEC) dan Festiwal Gandrung Sewu, misalnya. BEC adalah sebuah even karnaval busana yang digelar setiap tahun dalam rangkaian Banyuwangi Festival di Kabupaten Banyuwangi. BEC pertama pun mengambil tema Gandrung.

Sedangkan Festiwal Tari Gandrung dimulai pada 2012. Ini merupakan perhelatan tarian kolosal, yang menampilkan seribu penari perempuan yang mementaskan Tari Gandrung secara bersama-sama. Tahun ini ialah memasuki tahun kedelapan Festiwal Tari Gandrung.

Artinya bicara upaya revitalisasi kesenian Gandrung boleh dikata nisbi telah berhasil. Tari Gadrung naga-naganya telah kembali memasyarakat dalam budaya masyarakat Banyuwangi sendiri sebagai pewarisnya. Tak kecuali, bicara stigma negatif di masa lalu. Bahwa, Tari Gandrung ialah identik dengan tarian erotis untuk menggoda kaum laki-laki, dan para penarinya setali tiga uang ialah perempuan nakal, kini juga telah sirna.

Gandrung Terop

Akan tetapi seorang seniman Gandrung bukanlah semata-mata penari. “Gandrung terop” demikianlah penyebutan untuk peran seorang gandrung profesional, mensyaratkan juga kemampuan untuk menyanyi (sinden). Sayangnya bicara keberadaan Gandrung terop kini jumlahnya ternyata tak lebih dari sepuluh orang saja. Para artis profesional ini tampak kesulitan mencari anak didik baru yang siap belajar kesenian Gandrung hingga mencapai fase menjalani upacara ritual Meras Gandrung.

Sudah tentu perspektif ekonomilah menjadi alasan utama, mengapa proses regenerasi seniman Gandrung tidak seiring sejalan dengan program revitalisasi. Sekalipun kesenian Gandrung kini telah semakin popular dan diterima oleh masyarakat luas, bahkan di luar masyarakat Banyuwangi, menjadi seorang artis penari Gandrung tak serta-merta berbanding lurus dengan penghasilan ekonomi. Itulah persoalan utamanya.

Mengingat kontribusi para seniman Gandrung terop untuk menjaga keberlangsungan warisan seni tradisi tidaklah kecil, maka pada titik ini penting munculnya sebuah terobosan kebijakan. Patut dipikirnya, misalnya, pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan insentif tertentu bagi mereka; atau bisa juga mengeluarkan kebijakan mengangkat para artis sejati ini sebagai pegawai negeri; dan lain sebagainya. (W-1)