Indonesia.go.id - Kepulauan Maluku, Negeri Tanah Goyang dan Air Turun Naik

Kepulauan Maluku, Negeri Tanah Goyang dan Air Turun Naik

  • Administrator
  • Senin, 30 September 2019 | 05:50 WIB
BENCANA
  Kondisi Pantai Teluk Palu setahun setelah diterjang tsunami di pesisir Kampung Lere, Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (28/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Basri Marzuki

Catatan sejarah menyebutkan sejak 1600 sampai dengan 2015 mencatat lebih dari 85 kejadian tsunami terjadi di wilayah Maluku.

Kepulauan Indonesia sudah lama dicatat dalam sejarah sebagai salah satu kawasan di dunia yang rawan gempa. Letak Indonesia yang berada di antara empat lempeng tektonik menjelaskan semuanya. Keempat lempeng itu terdiri dari dua lempeng benua dan dua lempeng samudera.

Kepulauan Nusantara adalah kepulauan yang terbentuk karena pertemuan lempeng benua Eurasia dengan lempeng Australia yang semakin diperumit dengan pertemuan lempeng Filipina dan lempeng Pasifik. Dari semua itu ada satu tempat yang mempertemukan tiga kekuatan raksasa penggerak bumi itu yakni Kepulauan Maluku.

Sekitar empat puluh persen kejadian tsunami di Indonesia berada di kepulauan Maluku. Catatan sejarah kebencanaan wilayah barat Samudera Pasifik dari 1600 sampai dengan tahun 2015 mencatat lebih dari 85 kejadian tsunami terjadi di wilayah Maluku.

Dalam kurun yang sama, catatan tsunami yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia terjadi sebanyak 210 kali. Artinya sekitar 40% kejadian tsunami terjadi di Kepulauan Maluku. Potensi kebencanaan itu semakin bertambah tinggi dengan ancaman tsunami jarak jauh yang berasal dari pergerakan lempeng Filipina, Jepang, dan Samudera Pasifik.

Kejadian gempa bumi yang terjadi pada Kamis 26, September 2019, hingga tulisan ini dibuat telah mengakibatkan 19 orang meninggal dunia. Padahal pada Juli lalu, tepatnya di Labuha, Maluku Utara, telah terjadi gempa yang mengakibatkan 3 orang meninggal dunia. Meski tidak sedahsyat bencana gempa dan tsunami yang terjadi di Palu, satu tahun yang lalu, Maluku merupakan wilayah yang dalam sejarah memiliki tingkat kegempaan dan tsunami yang paling tinggi di Nusantara.

Ambon 1950

Sebuah buku telah dibuat khusus untuk mencatat kegempaan dan bencana yang terjadi di wilayah Kepulauan Maluku. Buku yang berjudul Air Turun Naik di Tiga Negeri, diterbitkan Unesco bekerja sama dengan Indian Ocean Tsunami Information Center, pada 2016.

Ambon pada 1950 diterjang gempa yang mengakibatkan tsunami. Sayangnya, pada saat kejadian itu berlangsung sangat sediki informasi yang mencatatnya. Salah satu faktor yang menyebabkan minimnya catatan bencana pada waktu itu adalah kondisi sosial politik yang masih bergolak. Buku ini adalah upaya untuk mencatat kembali kejadian yang menimpa Hutumuri, Hative Kecil, dan Galala pada siang hari, Minggu 8 Oktober 1950. 

Data Seismograf pada waktu itu menunjukkan pusat gempa terjadi bagian selatan laut Maluku pada kedalaman 20 km dengan momen magnitude sebesar 7,3 Skala Richter. Sumber lain menyebutkan 7,6 Skala Richter.

Selamat Karena Konflik

Kejadian Tsunami Ambon 1950 dalam kenangan para saksi yang masih hidup merupakan peristiwa yang cukup unik. Sebagian penduduk yang wilayahnya tersapu ombak yang datang dari arah laut Banda, sebelumnya telah mengungsi ke hutan di wilayah yang lebih tinggi karena adanya konflik yang terjadi antara Tentara Nasional Indonesia dengan gerombolan bersenjata Republik Maluku Selatan atau RMS. Hal itu merupakan berkah di luar perkiraan siapapun juga. Bayangkan jika pada waktu itu penduduk tidak pindah ke wilayah yang lebih tinggi tentu akan timbul korban jiwa yang tidak sedikit.

Setidaknya tiga kali gempa terasa pada waktu berdasarkan keterangan beberapa orang saksi yang masih hidup hingga saat pembuatan buku. Gempa yang pertama dikatakan kurang begitu kuat, yang kedua sedikit kuat dan yang ketiga paling kuat.

Gempa itu diiringi dengan bunyi gemuruh yang sangat keras. Setelah itu disusul dengan datangnya tiga gelombang besar setelah sebelumnya laut terlihat surut. Gelombang pertama kecil, yang kedua sedikit besar dan yang ketiga besar sekali. Tinggi gelombang diperkirakan antara 2 hingga 3 meter.

Dari sejumlah kesaksian praktis tidak ada korban jiwa kecuali satu di negeri Hutumuri. Itu karena ada satu orang yang dalam kondisi lumpuh karena lepra sehingga dia tidak dapat ikut lari mengungsi bersama penduduk lainnya, tatkala ada peringatan konflik bersenjata.

Catatan Rumphius, Catatan Tsunami Pertama

Sejarah Nusantara Pramodern mencatat kejadian tsunami di Ambon pada 1674 sebagai catatan tentang tsunami yang pertama. Adalah Georg Eberhard Rumphius (1627-1702), peneliti botani Belanda, yang mencatat peristiwa itu. Kejadian itu tercatat terjadi pada 17 Februari 1674. Gempa bumi dan tsunami pada waktu itu diperkirakan menelan korban hingga 2.500 jiwa termasuk di dalamnya keluarga Rumphius. Istri dan salah seorang anak perempuan Rumphius menjadi korban. 

Rumphius menulis,"Lonceng-lonceng di Kastel Victoria di Leitimor, Ambon, berdentang sendiri. Orang berjatuhan ketika tanah bergerak naik turun seperti lautan. Begitu gempa mulai menggoyang, seluruh garnisun, kecuali beberapa orang yang terperangkap di atas benteng mundur ke lapangan di bawah benteng, menyangka mereka akan lebih aman. Tetapi sayang sekali, tidak seorangpun menduga air akan naik tiba-tiba ke beranda benteng. Air sedemikian tinggi hingga melampau atap rumah dan menyapu bersih desa. Batuan koral terdampar jauh dari pantai."

Rumphius mengisahkan kondisi desa-desa di Ambon dan Seram yang hancur karena peristiwa itu. Desa Hila dekat Hitu disebut Rumphius sebagai daerah yang paling menderita. Sedikitnya ada 13 desa yang terkena. Desa-desa itu terbentang di pesisir utara Leihitu, mulai dari Larike di ujung barat hingga Tial di ujung Timur. Di Pulau Seram yang terkena adalah daerah Huamual, Tanjung Sial, dan Luhu. Tempat lain yang terkena adalah Oma di selatan Pulau Haruku dan Pulau Nusa Laut. (Y-1)