Indonesia.go.id - Makna Demokrasi dalam Pena Tiga Tokoh

Makna Demokrasi dalam Pena Tiga Tokoh

  • Administrator
  • Sabtu, 19 Oktober 2019 | 05:00 WIB
DEMOKRASI
  Dr. Mohammed Hatta. Foto: Arsip Nasional

Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan keinsyafan (Bung Hatta dalam Demokrasi Kita, 1966).

Belakangan ini banyak berkembang tulisan tentang melemahnya demokrasi di tengah pesatnya revolusi teknologi informasi yang mengubah wajah dunia. Para penulis itu mendasarkan pandangannya berdasarkan berbagai fenomena politik akhir-akhir ini yang cenderung memperlihatkan bandul kekuasaan negara bergerak ke arah terbentuknya "negara kuat". Terpilihnya Trump, referendum Brexit, politik cowboy Duterte, Putin yang perkasa, retorika nasionalis Modi, kontroversi Erdogan, sampai kembalinya Mahatir adalah fenomena-fenomena politik hasil demokrasi yang sayangnya menyiratkan pelemahan demokrasi itu sendiri.

Orang kemudian mengaitkan fenomena krisis yang berkembang di negeri-negeri yang cukup mapan berdemokrasi dengan tanda-tanda keruntuhan demokrasi. Cukup banyak yang mengatakan kebebasan berpendapat yang merupakan pijakan demokrasi mendapat tantangan yang sangat kuat dari perkembangan teknologi informasi dan kecerdasan buatan yang mampu memanipulasi kesadaran manusia tanpa dia sadari sejak dari lingkup pribadi.

Cukup banyak bukti yang menegaskan bahwa dari Brexit di barat sampai Duterte di timur semuanya melenggang berkuasa karena kemampuan mereka melemahkan para penantang kritis dengan kecanggihan media sosial. Dengan formula hoaks, ujaran kebencian, dan debat kusir (retorika awam), substansi persoalan yang harusnya muncul menjadi pemahaman umum menjadi terpinggirkan dan lama-lama hilang.

Tidak semua orang kemudian menjadi pesimis terhadap tantangan demokrasi ke depan. Salah satu yang cukup optimistis dan percaya pada peran penting demokrasi adalah John Jeffries Martin, profesor sejarah dari Duke University. Dalam artikel yang dia tulis di Washington Post, pada 21 Mei 2019 lalu dia memberi judul "Why Study History? Because It Can Save Us from Democratic Collapse". Jika orang mau belajar pada sejarah demokrasi, menurut Martin, khususnya sejarah gagasan demokrasi dari para Founding Fathers, orang akan mendapatkan bekal yang kuat dalam menghadapi berbagai tantangan terhadap demokrasi yang memang selalu ada di dalamnya.

Martin adalah orang yang percaya bahwa setiap manusia adalah pembuat sejarah, terlepas dari status sosial, ras, atau gender. Setiap manusia mempunyai kemampuan secara individu maupun kolektif untuk menjaga kebebasan dirinya dan kebebasan manusia lain yang menjadi landasan demokrasi.

Ide dasar demokrasi dalam wujud pembagian kekuasaan negara ke beberapa lembaga yang berbeda, menurut penilaian Martin adalah pembelajaran yang cermat terhadap pengalaman sejarah manusia dalam mengelola kekuasaan. Formula demokrasi yang melahirkan mekanisme checks and balances atau saling periksa yang memunculkan keseimbangan, tidak lahir dari angan-angan kosong. Di awal abad 16, seorang humanis Nicolo Machiavelli, setelah mempelajari jatuh bangunnya kekuasaan republik yang pernah ada di Roma, menyimpulkan bahwa kestabilan kekuasaan republik hanya akan terjadi jika kekuasaan tidak dikonsentrasikan pada satu lembaga saja. Ide "pemerintahan campuran" ini yang kemudian mempengaruhi terbentuknya Republik Belanda dan Republik Inggris pada abad ke-17. Amerika Serikat menyusul berikutnya pada abad ke-18. Para pendiri Amerika Serikat dalam catatan Martin, adalah orang-orang yang dipengaruhi pemikiran Machiavelli yang terkandung dalam tulisannya yang berjudul "Discourses on the First Ten Decades of Livy". Salah satu yang diserukan Machiavelli adalah pentingnya mengawasi bentuk-bentuk kekuasaan klasik seperti monarki, aristokrasi, dan teokrasi. Jika salah satu dari ketiganya menjadi terlalu kuat, hal itu adalah jalan munculnya tirani.

Indonesia, negara yang masih relatif muda umurnya, memiliki sejarah tersendiri perihal pentingnya demokrasi dalam penyelenggaraan kekuasaan republik. Tulisan Sukarno dalam pidato 1 Juni 1945, tulisan Sutan Syahrir dalam pamflet Oktober 1945, dan tulisan Hatta yang diterbitkan di sebuah majalah pada tahun 1960 adalah contoh pokok pikiran Founding Fathers Republik Indonesia yang menjelaskan makna penting demokrasi. Berikut ulasan pemikiran mereka.

Semua Buat Semua

Pidato Sukarno di depan Badan Penyelidik Usaha-usaha Perseiapan Kemerdekaan Indonesia pada 1 Juni 1945 adalah salah satu pidato politik yang dicatat dalam sejarah sebagai puncak pemikiran Sukarno yang menjelaskan dasar filosofi pendirian negara republik Indonesia. Tanggal 1 Juni sendiri kemudian diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila yang penjabarannya ada di dalam pidato tersebut.

Sukarno memulai dengan pendahuluan yang menjelaskan pentingnya falsafah dasar pendirian negara Republik Indonesia. Dalam suasana antikolonialisme yang kental, Sukarno menegaskan pentingnya menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Kemerdekaan dalam arti kebebasan berpolitik menentukan nasib sendiri serta kebebasan dari penindasan ekonomi penjajahan yang menyengsarakan. Di paragraf akhir pendahuluan pidatonya Sukarno menjelaskan dengan ungkapan "semua buat semua".

Berdirinya negara republik Indonesia, dalam pemikiran Sukarno harus terwujud menjadi kekuasaan yang berdiri di atas semua golongan. Tidak ada yang diistimewakan di dalamnya. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdiri di atas kesepakatan beragam suku bangsa yang bersatu menjadi sebuah negara bangsa.

Saat Sukarno menjelaskan tentang prinsip-prinsip dasar pendirian negara republik Indonesia sekurang-kurangnya dia menyebutkan beberapa kata yang berasal dari kata "demokrasi" setidaknya 19 (sembilan belas ) kali. Kata "parlementaire democratie" adalah kata pertama yang dia lontarkan. Sukarno menyebutkan kata itu hingga tiga kali untuk menegaskan bahwa demokrasi di Indonesia berbeda dengan demokrasi parlementer. Sukarno juga menyebutkan kata "demokrasi" hingga tiga kali. Dua yang pertama tentang demokrasi yang diinginkan oleh bangsa Indonesia dan satu kata demokrasi yang menjadi prinsip ketiga yang disebut juga sebagai mufakat.

Sukarno kemudian menyebutkan kata "politieke democratie" sebanyak lima kali, istilah yang dia lekatkan demokrasi borjuis. Sisanya dia menyebut "demokrasi barat" dua kali,  "politiek-economische-democratie" dua kali, kemudian kata "socio-democratie" dua kali,  kata "demokrat" satu kali, kata "ekonomische democaratie" satu kali, dan satu lagi kata "demokrasi dengan kesejahteraan". Bertumpuknya berapa kata yang sebenarnya merujuk pada pengertian yang sama bisa dimaklumi mengingat Sukarno sedang memberikan pidato yang menyampurkan bahasa naskah tertulis dengan orasi panggung.  

Demokrasi dengan Corak Sosial

Sutan Syahrir, adalah orang yang sejak awal menegaskan pentingnya perjuangan menegakkan demokrasi. Demokrasi yang dia maksud dituangkan dengan tegas dalam sebuah pamflet atau istilah melayu-nya risalah. Risalah itu ditulis pada akhir bulan Oktober 1945 dalam bahasa Belanda dengan judul "Onze Strijd" yang artinya Perjuangan Kita.

Risalah Perjuangan Kita, yang segera diterjemahkan dalam bahasa Indonesia pada waktu itu, memuat 18 kata-kata yang mengandung kata demokrasi. Yang paling banyak adalah kata "demokratis" sebanyak delapan kali, kemudian kata "demokrasi" tujuh kali, kata "demokratiseer" dua kali, dan satu kata "demokratis-burgerlijk".

Syahrir, memulai risalahnya dengan menceritakan konteks pasca-Perang Dunia ke-2 yang meninggalkan tiga kekuatan besar pemenang perang yang menentukan arah perubahan. Persoalannya dari tiga kekuatan itu, dua negara yakni Amerika Serikat dan Inggris memiliki corak ekonomi kapitalis dan imperialis yang memerlukan seluruh dunia bagi kelangsungan hidupnya. Sementara Soviet Rusia dalam pandangan Syahrir telah melalui ujian paling berat dalam sejarahnya yang membuatnya tidak terlalu bergantung pada ekonomi politik dunia.

Ketiga faktor besar ini yang membuat perkembangan perekonomian dunia menjadi kacau dan penuh konflik politik yang tajam. Desakan untuk menuju ke arah sosialisme semakin kuat tetapi upaya untuk menyempurnakan kapitalisme dan imperalisme juga menguat. Dalam konteks ini Syahrir mampu membaca arah perubahan dunia yang ditentukan oleh sistem mana yang akan meluas. Pertarungan kedua sistem ini yang akan menentukan nasib kemanusiaan.

Syahrir adalah orang yang percaya pada revolusi kemerdekaan. Revolusi, dalam pandangan Syahrir mempunyai dua dua sisi. Sisi luar adalah revolusi nasional dan sisi dalam adalah revolusi demokratis dengan corak sosial. Bahaya paling besar bagi revolusi adalah semangat feodalisme yang masih hidup dalam bentuk semacam nasionalisme. Karena itu dia mendahulukan pentingnya menuntaskan revolusi demokrasi ketimbang mengobarkan retorika nasionalisme.

Ketangguhan Demokrasi

Bung Hatta, salah satu dari Dwi Tunggal proklamator kemerdekaan adalah orang yang berpendirian teguh terhadap prinsip demokrasi. Dalam sebuah risalah, seperti halnya Syahrir, dia menerbitkan pandangan dia terhadap kondisi republik saat itu yang sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap demokrasi. Diterbitkan di majalah Panji Masyarakat No. 22 tanggal 1 Mei 1960, Hatta menulis risalah dengan judul Demokrasi Kita. 

Sejarah mencatat setelah menerbitkan tulisan Hatta tersebut majalah yang diasuh Buya Hamka itu dilarang terbit. Bahkan muncul larangan untuk membaca, menyiarkan, bahkan menyimpannya. Apa yang disampaikan Hatta adalah kritik langsung terhadap kompatriotnya Sukarno. Suasana politik tahun 60-an yang terkenal dengan ungkapan "Asal Bapak Senang" membuat kritik Hatta dianggap sebagai ancaman oleh pihak-pihak meloloskan penobatan Sukarno sebagai presiden seumur hidup.

Lebih dari 100 (seratus) kata yang berasal dari kata "demokrasi" tertulis di dalam risalah itu. Terlalu berlebihan untuk mendetailkan rincian jumlahnya. Yang jelas, Hatta mengingatkan pada pembaca tulisannya tentang anomali demokrasi. Di tangan orang yang terlalu ultrademokratis, demokrasi bisa menjadi kuda liar yang kehilangan kekangnya. Dalam ungkapan Hatta, Sukarno adalah sosok yang berbanding terbalik dengan tokoh Mephistopheles, tokoh rekaan Goethe dalam drama "Faust". Jika Mephistopheles adalah sosok yang berkeinginan jahat tetapi malah menghasilkan hal-hal yang baik, Sukarno sebaliknya. "Tujuannya selalu baik tetapi langkah-langkah yang diambilnya sering membawanya menjauh dari tujuan-tujuan itu," tulis Hatta.

Tulisan berisi kritik terhadap Demokrasi Terpimpin yang muncul di ujung kekuasaan Sukarno barangkali adalah renungan terbaik tentang demokrasi yang pernah muncul di republik ini. Kekecewaan Hatta dengan praktik politik Sukarno yang berujung pada situasi apokaliptik atau kiamat politik tetap tidak membuat harapan Hatta terhadap demokrasi menciut. "Demokrasi bisa tertindas sementara, karena kesalahannya sendiri. Tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan keinsafan," tutur Hatta. (Y-1)