Pada suatu ketika di zaman penguasa Belanda, suku-suku yang ada di daerah Minahasa diminta oleh Belanda menyediakan balok-balok kayu untuk membuat benteng. Salah satu suku yang membawa balok-balok kayu dari hutan, yakni suku Tongkibut ternyata membawa balok yang melebihi ukuran. Peristiwa itu kemudian diingat secara kolektif dalam sejarah masyarakat Minahasa pedalaman sebagai perisitiwa "kawangko" yang artinya kebesaran. Seiring waktu berlalu nama Kawangko perlahan-lahan menjadi nama Kawangkoan.
Saat ini Kawangkoan adalah sebuah kecamatan yang termasuk wilayah Kabupaten Minahasa. Letaknya berada di bagian tengah Kabupaten Minahasa, kita-kira 45 km arah barat daya dari Manado. Di kota kecil yang sejuk tetapi juga hangat karena sumber air panas yang berada di kaki Gunung Soputan ini lahirlah Alex dan Frans dari pasangan August Mendur dengan Ariance Mononimbar. August adalah seorang petani yang pintar berladang, bertani, dan berkebun. Tak lupa pula dia juga pandai beternak babi.
August dan Ariance dikaruniai sebelas orang anak. Anak yang pertama adalah Alexius Impurung Mendur atau Alex Mendur, sedangkan anak kelima bernama Frans Mendur. Dua bersaudara Mendur inilah yang kelak di usia dewasa menjadi orang-orang penting yang menentukan sejarah Republik Indonesia. Wiwi Kuswiyah, peneliti sejarah dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (dulu bernama Departemen P & K) , pada tahun 1985 melakukan penelusuran sejarah Mendur bersaudara yang hasilnya ditulis dalam sebuah buku berjudul Alexius Imperung Mendur. Buku itu adalah bagian dari Proyek Inventarisasai dan Dokumentasi Sejarah Nasional yang terbit tahun 1986. Lewat penelusuran Wiwi Kuswiyah, riwayat hidup Mendur bersaudara bisa dia ceritakan dalam gaya tutur yang sederhana.
Merantau ke Jawa
Alexius Mendur lahir di desa Talikuran, Kawangkoan pada 7 Nopember 1907. Dia dibaptis pada usia tiga bulan di Gereja Protestan Kawangkoan yang didirikan Belanda. Dari sanalah nama Alexius Impurung Mendur berasal. Ayah Alex, August adalah seorang petani sekaligus tetua desa yang bisa mengobati orang sakit dengan ramuan warisan nenek moyang. Karena kemampuan Augus, Alex kecil hingga besar tidak pernah sakit parah. Sebagai salah seorang tetua Kawangkoan yang dihormati warga, August sadar bahwa sekolah Alex harus bagus agar dia tidak menjadi petani desa seperti dirinya. August memasukkan Alex ke Volkschool Gouvernement atau Sekolah Dasar yang disediakan penguasa Belanda. Selepas sekolah dasar, August tidak cukup mampu menyediakan dana lebih jauh bagi kelanjutan sekolah Alex.
Sebagai anak sulung, Alex kemudian membantu orang tuanya dengan berdagang, bertani, dan berladang. Kadang dia harus pergi ke Manado untuk belanja barang dagangan yang harus ditempuh satu atau dua hari menggunakan roda, istilah pedati untuk orang Minahasa. Walau sibuk membantu orang tuanya, Alex sempat belajar bahasa Inggris yang dia dapat dari buku-buku yang pernah diberikan gurunya waktu masih sekolah.
Ketika Alex beranjak dewasa dia mendengar kabar bahwa salah seorang saudaranya datang dari Jawa ke Kawangkoan. Saat itulah dia melihat kesempatan untuk berangkat bersama saudaranya ke Jawa untuk mengubah nasib dan peruntungannya. Saudara yang datang bernama Anton Nayoan. Desanya adalah Desa Tondegesan yang tidak jauh dari Talikuran. Anton Nayoan saat itu sudah bekerja pada perusahaan Belanda yang menjual alat-alat dan keperluan fotografi. Singkat kata Alex bersama Anton akhirnya mendapat restu dari keluarga besar di Kawangkoan untuk merantau ke Jawa (Batavia).
Alex Mendur akhirnya berangkat merantau pada usia 15 tahun pada 1922. Perjalanan itu memerlukan satu bulan lebih sedikit dengan menggunakan kapal uap KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij). Sesampai di Batavia Alex pun tinggal bersama keluarga Anton Nayoan.
Belajar Fotografi
Anton Nayoan lah yang mengajarkan keahlian fotografi pada Alex. Keahlian fotografi pada saat itu merupakan keahlian yang cukup sulit karena seorang fotografer harus bisa mencuci, mengafdruk, dan mencetak. Selain itu paling sulit adalah keahlian menangkap keunikan peristiwa. Kemampuan mengambil foto pada saat yang tepat. Alex mempelajari semua itu sambil membantu Anton Nayoan selama enam tahun.
Yudhi Raharjo, peneliti sejarah dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, pada 2015 menyelesaikan penelitiannya tentang lembaga pers dan fotografi independen Indonesia yang pertama yakni IPPHOS (Indonesian Press Photo Service). Alex Mendur adalah salah seorang pendiri biro foto yang mendampingi Sukarno kemana pun dia berada pada masa revolusi kemerdekaan. Melalui penelitian Yudhi Raharjo, terlihat sedikit latar belakang keahlian Anton Nayoan dalam bidang fotografi yang mampu ditularkan pada Alex.
Anton Nayoan adalah lulusan MULO, sekolah menengah Belanda yang mengajarkan juga berbagai keahlian. Salah satu hasilnya adalah kemampuan berbahasa Belanda, Inggris, dan Melayu. Tak heran Anton Nayoan mendapat pekerjaan sebagai wartawan foto majalah travel dan lifestyle Java Bode dan Bataviaasch Newsblad.
Pada tahun 1932 Alex Mendur setelah belajar cukup lama fotografi bersama Anton Nayoan, akhirnya melamar sebagai wartawan foto ke majalah De Java Bode. Dia diterima bekerja di sana dan bekerja hingga tiga tahun. Saat bekerja di De Java Bode inilah Alex mempunyai kesempatan untuk menjemput adiknya yang ternyata juga merantau di Jawa tetapi berada jauh di kota Surabaya.
Kisah Frans, merantau menyusul kakaknya ke tanah jawa terjadi pada usia dia yang ke 14 tahun. Waktu itu tahun 1928, dia mengikuti kapal KPM jurusan Bitung-Surabaya. Akibatnya dia sampai di Surabaya yang pergi seperti tanpa tujuan. Nasib baik menyertai Frans saat dia diangkat anak oleh keluarga Soemarto. Dari keluarga Soemarto inilah muncul tambahan Soemarto pada nama Frans Mendur.
Bekerja di KPM dan Kedatangan Jepang
Alex Mendur pada 1936 memutuskan untuk pindah bekerja ke perusahaan yang lebih besar yakni KPM. KPM yang memiliki armada kapal yang paling besar di Hindia Belanda pada saat itu juga memiliki biro pariwisata dan travel yang membutuhkan fotografer yang handal. Keahlian Alex Mendur inilah yang membuat dia bisa menjadi pegawai di bagian publikasi dan reklame. Di sanalah Alex Mendur memperoleh penghasilan yang lumayan. Pada masa inilah dia mengalami kemakmuran. Catatan Wiwi Kuswiyah menyebutkan bahwa penghasilan dia waktu itu 85 gulden, sedangkan harga mobil waktu itu 300 gulden. Sebuah penghasilan yang sangat lumayan untuk seorang lulusan sekolah dasar.
Sayangnya masa kemakmuran itu tidak berjalan lama. Jepang datang ke Jakarta pada Maret 1942, setelah sebelumnya mendarat di beberapa tempat di Pulau Jawa. Pada saat itu pangkalan strategis Belanda di seluruh Pulau Kalimantan sudah mereka kuasai. Kantor KPM tempat Alex Mendur bekerja otomatis menjadi sasaran pertama yang diduduki oleh Jepang. Pada saat ini Alex harus tunduk dan mau ikut menajdi barisan propaganda dan pelopor Jepang. Dia ditunjuk pemerintah Jepang menjadi kepala bagian fotografi kantor berita Domei. Di tempat inilah dia bertemu dengan Adam Malik.
Di masa sulit, penghasilan yang berkurang jauh di bawah Jepang membuat Alex dan Adam Malik harus mencari tambahan dengan menyelundupkan jam dan kamera. Karena mereka menguasai wilayah Pelabuhan Tanjung Priok, aksi penyelundupan ini cukup berhasil menopang hidup mereka. Pertemuan Alex dengan Adam Malik mengantarkan Alex dengan realitas "gerakan bawah tanah" yang ada di Jakarta pada saat itu. Persinggungan Adam Malik, dengan kelompok-kelompok gerakan pemuda di akhir masa pendudukan Jepang di Indonesia, adalah bidang yang "berbahaya" yang kemudian melibatkan dua bersaudara Mendur ke dalam dinamika jelang proklamasi kemerdekaan.
Mengabadikan Proklamasi
Frans Mendur, sekitar tahun 1945 bekerja untuk Djawa Shimbun Sha dan surat kabar Asia Raya. Frans Mendur menuturkan kesaksiannya tentang peristiwa sangat penting terhadap nasib bangsa Indonesia di harian Merdeka yang terbit pada Februari 1946.
”Saya sendiri semula tidak percaya ketika seorang rekan wartawan Jepang dari Jawa Shimbun Sya pada 16 Agustus 1945 malam memberitahukan kepada saya bahwa keesokan hari, pada 17 Agustus 1945, akan dilakukan ‘Proklamasi Kemerdekaan Indonesia’ bertempat di rumah kediaman Bung Karno. Dalam keraguan saya pun berangkat jam 5 pagi menuju ke Pegangsaan Timur bersama rekan saya saudara Basir Pulungan, dengan mengendarai mobil yang saya pinjam dari rekan wartawan Jepang tersebut. Gemuruh sorakan “Hidup” dan “Indonesia Merdeka Sekarang” memecah telinga ketika jam menunjukkan pukul 9.50 pada saat mana Dwitunggal Bung Karno/Hatta dengan diiringi tokoh-tokoh lainnya keluar dari ruangan perundingan menuju ke ruang depan tempat upacara, di mana telah tersedia alat pengeras suara.”
Wiwi Kuswiyan menulis saat menjelang terjadinya proklamasi, Alex yang memimpin Domei, sudah mengetahui rencana akan adanya pembacaan proklamasi di Pegangsaan Timur 56, tempat kediaman Sukarno. Dari kediamannya di Jl Batu Tulis 42, Sawah Besar, mereka berangkat jam 5 pagi ke Pegangsaan. Mereka meminjam mobil untuk sampai di sana. Sesampai di sana laskar-laskar pemuda yang biasa bertemu dengan Adam Malik sudah berada di sekitar Pegangsaan.
Cukup lama menunggu terjadinya peristiwa yang paling bersejarah itu. Konon Bung Karno pada saat itu sakit malaria. Dia harus tidur untuk memulihkan kesehatannya setelah serangkaian peristiwa-peristiwa politik yang melelahkan beberapa hari sebelumnya. Akhirnya jam 9.50 pagi pembacaan itu pun terjadi dan hanya Alex dan Frans yang memotretnya dengan kamera "Leica".
Setelah selesai, Alex bergegas ke Domei yang berada di Pasar Baru. Dia bergegas memproses filmnya, mencuci, dan mengeringkan filmya. Apa pasal, nasib sial, setelah menunggu dan kembali ke tempat pengeringan ternyata film sudah lenyap, dibawa oleh intel Jepang yang sudah menguntit sejak semula. Beruntung Frans ternyata lebih cerdik, foto-foto jepretannya dia sembunyikan di halaman belakang koran Asia Raya. Setelah keadaan aman, setelah Jepang menyerah kepada sekutu, baru pada Februari 1946 di Koran Merdeka, foto proklamasi jepretan Mendur bersaudara bisa dikabarkan. (Y-1)