Himayatuddin Muhammad Saidi adalah nama salah satu raja Kesultanan Buton. Setelah terbit Keputusan Presiden (Keppres) No 120/TK/2019 pada 7 November 2019, ia kini telah resmi dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Himayatuddin ditetapkan pemerintah sebagai Pahlawan Nasional karena kegigihannya melawan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).
Menarik dicatat, Himayatuddin adalah satu-satunya raja yang menjabat dua kali. Sebagai Sultan Buton ke-20, berkuasa antara 1751-1752, dan sebagai Sultan Buton ke-23, berkuasa antara 1760-1763. Ciri menonjol di dua masa kekuasaannya, bahkan setelah ia tidak menjabat sebagai sultan, hingga wafatnya nanti, adalah rentetan perang melawan VOC.
Marilah disimak kisah sejarah hidup Sultan Himayatuddin. Ada banyak pelajaran berharga. Bukan hanya menyimak sikap keberanian dan patriotisme sosok ini, tak kalah penting adalah pembelajaran tentang keberhasilan VOC menerapkan siasat devide et impera di Nusantara.
Ya, dalam kerangka historiografi pascakolonialisme, adanya persaingan dan perseteruan antara Kerajaan Gowa dan Ternate, serta posisi Buton yang diimpit oleh kedua kerajaan itu, bagaimanapun telah menjadi landasan pijakan kuat bagi kekuatan asing melakukan strategi dan siasat pecah-belah.
Buton ketika itu seolah-olah dihadapkan pada pilihan bersekutu dengan VOC untuk lepas dari tekanan Gowa atau Ternate. Hasilnya, setelah kekuatan ketiga kerajaan itu masing-masing berhasil dilemahkan sehingga terkelola, akhirnya VOC juga mudah mendesakkan agenda dan kepentingannya.
Tak kecuali, adanya konflik internal Kesultanan Buton sendiri juga berdampak semakin menancap kuatnya dominasi dan hegemoni VOC.
Strategi Pecah-Belah
Menurut Saleh Putuhena (2007), Historiografi Haji di Indonesia, lahirnya perlawanan atas VOC lazim disebabkan oleh kepentingan ekonomi dan eksistensi kerajaan-kerajaan di Nusantara yang semakin terancam karena monopoli rempah-rempah oleh VOC. Selain itu, juga karena seringnya VOC melakukan intervensi ke dalam politik internal kerajaan.
Dari sumber lisan dikatakan, sejarah pertentangan atau perlawanan Buton atas VOC telah berlangsung sejak fase awal VOC hadir di Buton, pada 1613. Namun merujuk Muliadin Iwan (2016), Pasang-Surut Hubungan Buton – VOC: Studi Masa Sultan Himayatuddin, ternyata sama sekali tak ditemukan bukti tertulis, bahwa di fase awal kedatangan VOC telah terjadi penentangan atau perlawanan.
Seturut Iwan, barulah di masa kekuasaan Sultan Aidil Rakhim (1664-1669) muncul sejumlah pertentangan atau perlawanan terhadap VOC. Sejarah dialektika perlawanan ini berlangsung terus dan terus, hingga puncaknya terjadi di masa Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi.
Ya bisa dikata, akar sejarah perlawanan terhadap VOC berawal sejak 1667. Tahun itu terjadi perjanjian antara Kasultanan Buton dan VOC. Lazim disebut “Perjanjian 1667”. Sebuah kesepakatan tak setara dan cenderung merugikan Buton. Sementara itu, pada masa sebelumnya, karena alasan adanya ancaman besar dari Kerajaan Ternate dan Gowa, sifat hubungan antara VOC dan Buton masih terbangun sebuah kerja sama secara simbiosis mutualisme.
Bicara Perjanjian 1667, bermula dari peristiwa peperangan antara Kesultanan Buton dan Gowa. Terjadi akhir 1666, dalam peperangan itu awalnya Buton terdesak oleh gempuran dahsyat pasukan Gowa. Implikasinya, seperti mudah diduga, momen ini mengundang keterlibatan VOC.
VOC pun mengirim pasukan bantuan di bawah pimpinan Speelman. Pada 21 Desember 1666, pasukan diberangkatkan dari Batavia menuju Sulawesi Tenggara untuk membantu Kesultanan Buton. Kekuatan pasukan terdiri dari 21 kapal perang. Berisi 600 tentara Belanda, disertai sejumlah pasukan Bugis dan Ambon di bawah komando Arung Palakka, juga diikuti Kapten Jonker dan sejumlah pasukannya dari Ambon.
Kedatangan bantuan pasukan Speelman jelas membawa angin segar bagi Buton. Nyaris frustasi akibat gempuran pasukan Kerajaan Gowa, bantuan pasukan VOC ini berujung pada kekalahan Gowa. Atas kekalahan ini, Kerajaan Gowa diharuskan melepaskan berbagai daerahnya, seperti Bone dan Soppeng. Selain juga untuk menghentikan intervensi politik mereka di Kesultanan Buton.
Sementara di sisi lain, keberhasilan Speelman juga diikuti adanya perjanjian antara Kesultanan Buton dan VOC. Pada 31 Januari 1667 di atas kapal “Thertolen”, disepakati sebuah perjanjian antara keduanya. Pokok kesepakatan ialah, semua pohon cengkeh dan pala harus dimusnahkan di seluruh Kepulauan Tukang Besi, terutama di Kaledupa dan Wangi-Wangi. Sebagai ganti ruginya, VOC akan membayar Buton sebesar 100 ringgit setiap tahunnya. Masyarakat Buton mengenang momen ini dengan istilah “timpu pala”, yang artinya “potong pala”.
Pada 25 Juni 1667 di atas kapal Thoff van Zeeland, Perjanjian 1667 ini diperbarui. Kali ini turut hadir sebagai saksi adalah Sultan Ternate Mandar Syah. Seluruh pokok kesepakatan hanyalah mengulangi substansi dari perjanjian sebelumnya.
Setidaknya beberapa poin kesepakatan yang merugikan, dapat disebutkan di sini, ialah perintah pemusnahan (ekstirpasi) pohon rempah-rempah di seluruh wilayah Kesultanan Buton, pembatasan kapal-kapal dagang ke Buton, dan setiap terjadi pergantian pejabat kesultanan harus memperoleh persetujuan VOC. Singkat kata, sekali lagi, perjanjian itu telah menempatkan VOC pada posisi dominasi dan Kesultanan Buton pada posisi subordinasi.
Terlebih sejak 1683, Kerajaan Ternate juga menandatangani perjanjian dengan VOC. Perjanjian ini selain menandakan pengukuhan kekuasaan VOC, sekaligus menandai menurunnya pengaruh Kerajaan Ternate di timur Nusantara. Akibatnya, semua urusan internal Kesultanan Buton semenjak itu telah sepenuhnya berada di bawah kendali VOC.
Taufik Abdullah (1971), “Kata Pengantar” dalam buku P de Roo de Faille, Dari Zaman Kesultanan Palembang, pernah menulis tentang adanya kerumitan hubungan antara kerajaan-kerajaan di Nusantara dan VOC. Ia mengemukakan adanya pola ‘sekutu-seteru’. Pola sekutu-seteru ini tentu dinamis seiring fenomena pasang surut hubungan dengan VOC.
Perlawanan Sultan Himayatuddin
Mudah diduga, sejarah perlawanan Kerajaan Buton terhadap VOC jelas berlangsung ketika hubungan antara keduanya tengah mengalami gelombang surut.
Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi mulai bertahta pada 1751. Ini artinya, bicara Perjanjian 1667, selama ini ia telah berjalan selama lebih dari 80 tahun. Disebut juga dengan nama Sultan La Karambau, raja ini menilai Perjanjian 1667 adalah penghinaan terhadap Kesultanan Buton. Selain itu, juga telah menimbulkan kerugian dan mengakibatkan masyarakat Buton jatuh miskin.
Merujuk Susanto Zuhdi dan Muslimin AR Effendy, Perang Buton Vs Kompeni-Belanda, 1752-1776; Mengenang Kepahlawanan La Karambau, pada Juli 1752 terjadi peristiwa perampokan kapal Rust en Werk di Perairan Baubau. Perampokan ini dipimpin orang Belanda yang menjadi buronan VOC, bernama Frans-Fransz. Peristiwa perampokan ini menjadi penanda perlawanan awal Buton terhadap VOC.
Seperti diketahui, berdasarkan Perjanjian 1667 seharusnya Sultan Himayatuddin membantu VOC. Bukannya membantu, belakangan justru diketahui Sultan Himayatuddin turut berperan dalam peristiwa itu. VOC pun memberi peringatan dan ultimatum. Namun, ia tak perduli.
Sekalipun sikap Sultan Himayatuddin ini didukung sepenuhnya oleh rakyat, tidak demikian dengan Dewan Sara’ kerajaan. Kalangan bangsawan tampaknya mengalami kepanikan. Merujuk Susanto Zuhdi, GA Ohorella, dan M Said D (1996), Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara, Kerajaan Buton, Dewan Sara’ menganggap sikap Himayatuddin akan menyeret Buton pada konflik besar dengan VOC.
Menghindari hal ini, Dewan Sara’ memutuskan Himayatuddin dimakzulkan dari tahta, dan kemudian posisi raja digantikan oleh Hamim atau Sultan Sakiyuddin pada 1752. Buton, untuk sementara, bisa terhindar dari perang besar dengan VOC.
Akan tetapi, pada realitasnya lengsernya Himayatuddin tidak serta-merta mengubah keadaan, bahkan malah semakin mengarahkan Buton ke dalam konflik besar dengan VOC. Ini karena besarnya pengaruh Himayatuddin dalam pemerintahan Sultan Sakiyuddin. VOC pun menduga demikian. Mulku Zahari dalam Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton) mencatat bahwa di masa kekuasaan Sultan Sakiyuddin, Himayatuddin selalu berusaha mempengaruhi raja agar tetap tidak tunduk kepada VOC.
VOC kehilangan kesabaran. Pada 24 Februari 1755 mulailah VOC melancarkan ekspedisi militer ke Baubau dan Benteng Keraton Buton. Karena kalah persenjataan, pasukan Buton terdesak. Pasukan VOC terus merangsek hingga memasuki keraton. Hasilnya, gugur seorang kapitalo (kapiten laut) dan sapati (perdana menteri), serta ratusan prajurit Buton. Tradisi lisan menceritakan, masa ini dikenang sebagai “zamani kaheruna walanda” atau zaman keributan Belanda.
Sayangnya, tidak terlalu jelas apakah penyebab kematian Sultan Sakiyuddin. Dia tercatat berkuasa sejak 1752 hingga 1759. Di sepanjang kekuasaannya upaya negosiasi politik antara Buton dan VOC terlihat mengalami pasang surut. Susanti Zuhdi dkk mencatat, di masa akhir pemerintahan Sakiyuddin kembali terjadi kekacauan.
Upaya penyelesaian damai antara Buton dan VOC kemudian diteruskan oleh penggantinya, Sultan Rafiuddin (La Seha). Setidaknya terdapat dua isu utama. Pertama, pengukuhan kembali Perjanjian 1667. Kedua, VOC menuntut Buton membayar ganti rugi 1.000 budak terhadap kasus perampokan kapal Rust en Werk.
Namun masa kekuasaan Rafiuddin ternyata berumur sangat pendek. Sebagai Sultan Buton ke-22, ia hanya berkuasa satu tahun, 1759-1760. Masih menurut Susanto Zuhdi dkk, diceritakan Sultan Rafiuddin meninggal karena serangan jantung.
Menarik dicatat di sini, wafatnya Rafiuddin membuat Dewan Sara’ tak punya banyak pilihan. Dewan Sara’ kembali mengangkat Himayatuddin jadi Sultan Buton ke-23. Namun pengangkatan kembali Himayatuddin sebagai sultan naga-naganya bukanlah keputusan bulat. Tak sedikit di antara elite bangsawan Buton merasa sangat khawatir dan ragu, bahwa Himayatuddin mau bersikap kompromi dan kembali menjalin persahabatan dengan VOC.
Tiga tahun kemudian, pada 1763 Himayatuddin mengundurkan diri. Bukan untuk menyepi dan meninggalkan kancah perjuangan, Himayatuddin justru tetap terus melawan. Masuk hutan dan bergerilya hingga akhir hayatnya.
Dari cerita tutur lokal dikisahkan, perjuangan Himayatuddin melawan Belanda tak pernah surut. Dia membangun benteng pertahanan di atas Gunung Siontapina. Beberapa kali peperangan terjadi di lokasi hutan gunung itu, atau tepatnya sebuah bukit. Karena medannya susah, serangan pasukan Belanda tak pernah sukses menembus benteng pertahanan di sana.
Sayangnya, juga tak terlalu jelas catatan kronologis kematiannya. Hanya diketahui, Sultan La Karambau dimakamkan di puncak Gunung Siontapina, Kecamatan Lasalimu. Saking dihormatinya sosok ini, hingga kini kuburanya masih dikeramatkan oleh warga sekitar. Oleh masyarakat sana, ia juga dikenang dengan nama Oputa Yikoo (Tuanku yang Bergerilya di Hutan). (W-1)