Indonesia.go.id - Ragam Asal-Usul Islam di Nusantara

Ragam Asal-Usul Islam di Nusantara

  • Administrator
  • Jumat, 20 Desember 2019 | 22:16 WIB
SEJARAH
  Ilustrasi. Foto: Ist

Sejarawan Slamet Muljono menerbitkan buku berjudul Runtuhnya Kerajaan Hindu – Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Isinya kontroversial karena menyatakan Wali Songo bukanlah orang Jawa melainkan tokoh-tokoh dari Tiongkok.

Ada perdebatan panjang perihal sejarah kedatangan Islam di Nusantara. Azyumardi Azra (1994) dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII menyebutkan, pokok soal perdebatan berkisar pada tiga isu, yakni daerah asal-muasal Islam yang berkembang di wilayah Nusantara, pembawa atau pendakwah Islam, dan kapan sebenarnya Islam mulai datang ke Nusantara.

Merujuk buku Sejarah Asia Tenggara karya Helmiati (2014), setidaknya terdapat enam teori yang membicarakan asal-muasal Islam yang berkembang di Nusantara. Sementara itu, merujuk buku Islam Pesisir karangan Nur Syam hanya disebutkan empat teori.

Tulisan ini tidak bermaksud membandingkan ulasan Helmiati dan Nur Syam. Juga tidak berpamrih mendedah kekurangan dan kelebihan masing-masing. Tulisan ini lebih hendak menempatkan kedua karya sebagai sumber yang saling melengkapi. Pun tulisan ini juga tidak bermaksud mencari tahu perihal teori manakah yang sejauh ini memiliki hipotesa historis paling adekuat.

Empat Teori Utama

Ya, dari Helmiati dan Syam setidaknya bisa dihimpun beberapa teori terkait asal-muasal Islam yang berkembang di Nusantara, yaitu antara lain:

Pertama, teori Gujarat. Teori ini dikemukakan oleh sejumlah sarjana Belanda, antara lain J Pijnappel, Snouck Hurgronje, WF Stutterheim, dan JP Moquette. Teori ini mengatakan, Islam yang berkembang di Nusantara bukan berasal dari Persia atau Arabia, melainkan dari orang-orang Arab yang telah bermigrasi dan menetap di wilayah India Selatan dan kemudian membawanya ke Nusantara.

Berbeda dengan Helmiati, Syam di sini menyebutkan nama besar GWJ Drewes. Drewes-lah yang mula-mula mengatakan bahwa Islam datang dari anak benua India. Kemudian teori ini dikembangkan lebih jauh oleh Hurgronje.

Asumsi teori Gujarat dibangun berdasarkan asumsi persamaan mazhab dan nisan (artefak). Menurut teori ini, ditemukan adanya persamaan mazhab yang dianut oleh umat Islam Nusantara dengan umat Islam di Gujarat. Mazhab yang dianut oleh kedua komunitas Muslim ini dahulu ialah Syafi’i. Menurut Hurgronje, tahun 1200 adalah periode waktu paling awal yang mungkin bagi terjadinya Islamisasi penduduk atau orang-orang di Nusantara.

Selain itu, teori ini juga dikuatkan oleh temuan artefak berupa nisan, baik di Pasai, Semenanjung Malaya, dan di Gresik, yang bentuk dan modelnya sama dengan yang ditemukan di Cambay, Gujarat.

Teori ini dibangun berdasarkan temuan artefak atau sohor disebut ‘teori nisan’. Adalah JP Moquette yang mendalilkan teori itu. Menurutnya, produksi batu nisan Gujarat tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal, melainkan juga telah diekspor ke pasar luar negeri, khususnya pasar-pasar di Sumatra dan Jawa.

Kedua, teori Bengal. Teori ini merupakan kritik terhadap teori Gujarat. Teori Bengal didasarkan pada asumsi pembacaan artefak atau teori nisan yang berbeda kesimpulan dengan teori Gujarat.

Hipotesa ini dikemukakan oleh SQ Fatimi. Menurutnya, model dan bentuk nisan Malik al-Shalih, Raja Pasai di Aceh, juga pada makam Fatimah binti Maimun di Laren Jawa Timur, berbeda sepenuhnya dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat. Bentuk dan model batu nisan itu justru mirip dengan batu nisan ditemukan di daerah Bengal.

Menarik dicatat di sini, tulisan SQ Fatimi yang berjudul Islam Comes to Malaysia, secara tidak langsung menolak anggapan bahwa Islam disebarkan oleh kaum pedagang atau dengan motif perdagangan. Menurutnya, Islam yang datang ke wilayah ini adalah atas usaha kaum ulama yang bercorak mistis.

Namun teori Bengal juga mengandung kelemahan. Pasalnya antara Bengal dan Nusantara terdapat perbedaan mazhab, yaitu jika wilayah Bengal menganut mazhab Hanafi, sementara di Nusantara bermazhab Shafi’i.

Impikasinya teori Fatimi gagal meruntuhkan teori Moquette. Terlebih belakangan sejumlah sarjana lain justru mengambil alih teori Moquette dan menjadikan bukti-bukti Moquette sebagai dasar teori mereka tentang asal-usul Islam di Nusantara. Sejumlah sarjana yang menguatkan hipotesa teori Moquette alias juga mendukung teori Gujarat¸ antara lain adalah RA Kern, RO Winstead, Schrieke, Brian Harrison, GH Bousquet, BHM Viekke, J Gonda, HE Wilson, dan DGE Hall.

Ketiga, teori Coromandel dan Malabar. Sejarawan yang mengemukakan teori ini ialah Thomas W Arnold. Asumsinya ialah, saat itu wilayah ini memiliki kesamaan mazhab dengan wilayah di Nusantara, yaitu mazhab Syafi’i. Teori ini kemudian didukung oleh GE Morrison.

Menurut Marrison, ketika terjadi islamisasi Pasai pada 1292, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Karena itu tidak mungkin kalau asal-muasal penyebaran Islam berasal dari Gujarat. Argumen Morrison sendiri didasarkan pada laporan Tome Pires, Suma Oriental. Marrison mengemukakan teori Islam masuk ke Nusantara melalui India Selatan (Pantai Coromandel) pada akhir abad 13.

Teori Morison ini kemudian juga didukung balik oleh Thomas W Arnold. Selain berdasarkan bukti tentang kesamaan aliran mazhab di Nusantara, Coromandel, dan Malabar, Arnold juga menambahkan tentang peranan penting para pedagang dari Coromandel dan Malabar dalam perdagangan di India dan Nusantara. Para pedagang inilah, pada akhirnya juga berperan penting dalam penyebaran Islam di Nusantara.

Keempat, teori Arab. Teori ini menyatakan bahwa Islam yang datang ke Nusantara berasal dari sumber aslinya, Arab. Jika Helmiati mendasarkan pada pedapat Thomas W Arnold, sementara Syam mendasarkan pada pendapat Naguib al-Attas.

Menurut Arnold, Coromandel dan Malabar bukan satu-satunya tempat asal Islam, ia juga mengemukakan hipotesa bahwa para pedagang Arab turut menyebarkan Islam di Nusantara. Menurutnya, sejak awal abad ke-7 dan ke-8 posisi pedagang Arab mendominasi jalur perdagangan Barat ke Timur.

Argumen Arnold ini didasarkan pada sumber-sumber berita Tiongkok. Dari berita Tiongkok itu diketahui, bahwa menjelang akhir abad ke-7 seorang pedagang Arab telah menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab-Muslim di pesisir pantai Barat Sumatra. Beberapa pedagang Arab ini dilaporkan telah menikah dengan penduduk lokal, sehingga membentuk komunitas muslim yang merupakan campuran pendatang dari Arab dan penduduk lokal.

Sementara menurut Attas, kata kunci penting untuk melihat asal usul kedatangan Islam di Asia Tenggara, maka yang harus dipertimbangkan ialah mencermati literatur Islam Melayu-Indonesia yang berasal dari abad ke-16 dan abad ke-17. Sayangnya, Syam tidak menjelaskan lebih jauh bagaimana Attas membangun analisis dan memberikan eksplanasi terkait teks-teks atau literatur Islam Melayu-Indonesia itu hingga pada akhirnya dia tiba pada kesimpulan hipotetif tersebut.

Namun demikian, masih seturut Syam, kesimpulan Attas ini senada dengan kesimpulan hasil seminar Sejarah Masuknya Islam di Indonesia yang berlangsung di Aceh. Seminar itu menyimpulkan, bahwa Islam datang ke Nusantara melalui saluran langsung dari Arab pada abad pertama hijrah, di mana daerah yang mula-mula memeluk Islam ialah Aceh.

Sumber lain menyebut nama Buya Hamka. Tokoh ini sama sekali tidak disinggung oleh Helmiati maupun Syam. Patut disebutkan, Hamka mendalilkan Islam datang dari sumber aslinya, Mekah (Arab), sejak abad ke-7. Hamka lebih mendasarkan pandangannya pada peranan bangsa Arab, diikuti orang Persia dan Gujarat sebagai pembawa Islam di Nusantara. Gujarat dinyatakan sebagai tempat singgah semata, dan Mekah sebagai pusat, atau Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran Islam. Argumentasi Hamka didasarkan dari sumber-sumber Tiongkok.

Tiga Teori Lain

Kelima, teori Persia. Helmiati kembali merujuk pada pendapat sejarawan Thomas W Arnold. Menurutnya, Arnold tidak menampik kemungkinan kelima, bahwa Islam di Nusantara datang dari Persia. Teori ini juga mendasarkan pada teori mazhab. Ditemukan adanya peninggalan mazhab keagamaan di Sumatra dan Jawa yang bercorak Syiah.

Sayangnya entah mengapa Helmiati justru tidak merujuk pada penelitian Hoessein Djajadiningrat, orang Indonesia yang menjadi doktor pertama lulusan Universitas Leiden di Belanda dan sekaligus murid Snouck Hurgronje.

Toh demikian simpulan Djajadiningrat dan Arnold memang tidak jauh berbeda. Menurut teori Persia, Islam masuk ke Nusantara dibawa oleh orang-orang Persia. Argumentasi ini didasarkan pada ditemukannya banyak persamaan budaya antara Islam di Nusantara dan Persia. Contohnya ialah peringatan hari Asyura pada tanggal 10 Muharram atas wafatnya cucu Nabi Muhammad, Hasan dan Husen.

Selain itu, Djajadiningrat juga mencatat adanya kesamaan ekspresi seni kaligrafi pahat pada batu-batu nisan yang dipakai pada makam orang-orang Islam awal di Nusantara dengan seni kaligrafi di Persia. Titi mangsa (musim) datangnya Islam ke Nusantara ini juga ditengarai pada abad ke-13.

Terakhir atau keenam, teori Mesir. Teori ini dikemukakan oleh Kaijzer. Dasar asumsinya juga mendasarkan diri pada teori mazhab. Bahwa ada persamaan mazhab yang dianut oleh penduduk Islam di Nusantara dan Mesir, yaitu Syafi’i. Teori Arab-Mesir ini juga dikuatkan oleh Niemann dan de Hollander. Tetapi keduanya memberikan revisi, bahwa bukan Mesir sebagai sumber Islam Nusantara, melainkan Hadramaut.

Di sini penting diberikan catatan tersendiri. Sayangnya, baik Helmiati maupun Nur Syam, ternyata sama sekali tidak menyinggung teori Tiongkok. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Slamet Muljana dalam disertasinya Runtuhnya Kerajaan Hindu – Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara.

Isinya memang cukup kontroversial. Muljana meyakini, bahwa Islam di Nusantara itu datang dari Tiongkok,seiring dengan gelombang migrasi orang-orang Tiongkok ke Asia Tenggara di masa lampau. Lebih dari itu, Muljana juga membangun hipotesa tafsiran tentang keberadaan sembilan orang penyebar agama Islam di Pulau Jawa—atau sohor dan legendaris dengan nama Wali Songo itu—sebagai bukanlah orang Jawa melainkan tokoh-tokoh yang justru diduga kuat berasal dari Tiongkok. Momen syiar keagamaan ini ditengarai mulai berlangsung sejak pertengahan abad ke-15. (W-1)