Indonesia.go.id - Tidak Ada Negara Islam

Tidak Ada Negara Islam

  • Administrator
  • Minggu, 22 Desember 2019 | 18:38 WIB
KONSEP NEGARA
  Buku Surat-surat Politik Nurcholish Madjid ? Muhamad Roem. Foto: Cover Buku 

Bagi kalangan ‘Islam Substantif’ jelas tidak ada cetak biru perihal pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Alquran maupun Sunnah. Bagi mereka, Alquran bukanlah buku tentang ilmu politik.

Perumusan konsep negara merupakan salah satu isu sentral dalam kajian konstitusi. Tak kecuali juga di Indonesia. Sementara itu bicara kajian sejarah konstitusi di Indonesia berarti juga bicara perihal pemikiran politik Islam. Bagaimanapun, isu perihal relasi ideal antara Islam dan negara pernah mengemuka kuat dalam momen-momen sidang BPUPKI/PPKI dan Badan Konstituante pasca-Pemilu 1955.

Bahtiar Effendy dalam Islam dan Negara—Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (2009) secara garis besar membagi spektrum pemikiran politik Islam ke dalam dua kelompok besar. Meskipun mereka sama-sama mengakui pentingnya prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam dalam setiap aspek kehidupan, keduanya memiliki penafsiran yang jauh berbeda atas ajaran-ajaran Islam dan kesesuaiannya dengan kehidupan modern.

Pada satu ujung spektrum, beberapa kalangan pemikir Muslim beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar negara; bahwa syaria’ah harus menjadi konstitusi negara; bahwa kedaulatan politik sejatinya di tangan Tuhan; bahwa ide negara-bangsa (nation-state) bertentangan dengan konsep ummah (komunitas Islam) yang tidak mengenal batas-batas politik; dan sementara meskipun mengakui prinsip syura (musyawarah), implementasi atas ide ini berbeda dengan gagasan demokrasi yang dikenal dalam diskursus politik modern.

Buku yang merupakan hasil disertasi di Ohio State University ini mencatat, bagi kalangan pemikir di atas terdapat kecenderungan untuk menekankan aspek legal dan formal idealisme politik Islam. Baginya, Islam mencakup cara hidup yang total dalam semua aspek kehidupan, termasuk di bidang politik dan kenegaraan. Kecenderungan ini lazimnya ditandai oleh keinginan menerapkan Syari’ah secara langsung sebagai konstitusi negara, atau paling tidak harus diadopsi sebagai prinsip-prinsip kenegaraan.

Sementara itu di ujung spektrum yang lain, beberapa pemikir Muslim lainnya berpendapat bahwa Islam tidak mengenal suatu pola baku tentang negara atau sistem politik yang harus dijalankan oleh ummah. Lebih jauh menegaskan padangan ini, Effendy mengutip pemikir Muslim dari Mesir:

“Islam sebagai agama tidak menentukan suatu sistem pemerintahan tertentu bagi kaum Muslim, karena logika tentang kecocokan agama ini untuk sepanjang masa dan tempat menuntut agar soal-soal yang selalu berubah oleh kekuatan evolusi harus diserahkan kepada akal manusia (untuk memikirkannya), dibentuk menurut kepentingan umum dan dalam kerangka prinsip-prinsip umum yang telah digariskan oleh agama ini”.

Bagi kalangan ini, jelas tidak ada cetak biru perihal pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Alquran. Bagi mereka, jelas bahwa Alquran bukanlah buku tentang ilmu politik.

Namun demikian menurut pemikiran ini, tetaplah diyakini Alquran mengandung “nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bersifat etis terkait aktivitas sosial dan politik umat manusia.” Di dalamnya, seturut Effendi—merujuk Ahmad Syafii Maarif dalam Islam as the Basis of State dan Muhammad Husayn Haykal The Life of Muhammad—juga tercakup prinsip-prinsip tentang keadilan, kesamaan, persaudaraan, dan kebebasan, sebagaimana terlihat dalam Piagam Madinah sebagai dokumen politik paling awal dalam sejarah Islam.

Lebih jauh, sepanjang negara berpegang kepada prinsip-prinsip keadilan, kesamaan, persaudaraan, dan kebebasan, maka menurut spektrum pemahaman ini bisa dikatakan mekanisme negara itu sebenarnya telah sesuai dengan ajaran-ajaran dan nilai-nilai Islam. Bagi mereka yang terpenting adalah bahwa negara menjamin tumbuhnya nilai-nilai Islami tersebut.

Oleh karena itu, bagi mereka tidak ada alasan teologis atau religius untuk menolak ide-ide atau gagasan politik tentang konsep kedaulatan rakyat, negara-bangsa sebagai unit teritorial, dan prinsip-prinsip umum teori politik modern lainnya. Dus, lebih jauh pembentukan negara Islam dalam pengertian legal dan formal—atau sebutlah secara ideologis—bagi mereka, jelas tidaklah benar-benar dianggap penting.

Effendi menyebut spektrum pemikiran yang pertama lebih menekankan aspek legal dan formal, sementara spektrum pemikiran yang kedua lebih menekankan aspek substansi dari idealisasi Islam.

Sekalipun realitas politik kontemporer di Indonesia sering disebut-sebut oleh para pengamat, sedikit menunjukkan tren ke arah kebangkitan ‘politik-identitas’ berbasis agama atau etnis, atau kombinasi antara keduanya, tulisan ini tidak bermaksud mendedah topik itu.

Tulisan ini bermaksud memaparkan pemikiran Mohamad Roem dan Nurcholis Madjid tentang relasi antara Islam dan negara dalam kontruksi negara Pancasila. Pemikiran mereka terangkum dalam korespondensi keduanya, yang diterbitkan menjadi buku Surat-surat Politik Nurcholish Madjid – Muhamad Roem, Tidak Ada Negara Islam. Signifikansi pemikiran kedua tokoh ini karena merefleksikan upaya pencairan fondasi intelektual bagi fungsi dan peran negara sebagai faktor instrumental untuk merealisasikan ajaran atau nilai-nilai Islam.

Ya, bagaimanapun sudah jelas bahwa realitas multietnis, multibudaya, multiagama, dan multibahasa keindonesiaan membuat implementasi syariah secara legal dan formal tidaklah mungkin. Berpijak pada basis realitas sosiologis yang plural, kerangka ideal bernegara di Indonesia adalah Pancasila. Bagi Roem dan Cak Nur, Pancasila dan demokrasi jelaslah tidak bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai Islam.

Dalam analisis dan pengelompokan Bachtiar Effendi, perspektif kedua tokoh pemikir besar ini sudah tentu termasuk pada spektrum kelompok yang pertama.

Korespondensi Dua Pemikir Besar

Surat-menyurat antara Mohamad Roem dan Nurcholis Madjid bermula dari sebuah artikel Amien Rais. Berjudul Tidak Ada Negara Islam, tulisan ini dimuat di Majalah Panji Masyarakat No. 379/1982. Menulis dengan judul yang sama, Tidak Ada Negara Islam dalam Majalah Panji Masyarakat No. 386/1983, Roem terlihat sengaja mengkonfirmasi tulisan Amien tersebut.

Roem membenarkan wacana Amien, bahwa tidak ada Negara Islam atau Islamic State. Menurutnya, negara Indonesia yang notabene mengambil bentuk republik adalah lebih dekat dengan sunnah daripada negara berbentuk teokrasi. Sehingga lebih jauh, menurut Roem, Islam di Indonesia tidak perlu copy paste dari implementasi Islam di Arab Saudi atau pemerintah Islam lain di mana pun. Baginya, Islam itu sebuah agama yang sangat dinamis sehingga dapat berkembang menurut garis evolusinya sendiri di berbagai konteks sejarah maupun zamannya.

Mohamad Roem, merujuk tulisan Ahmad Syafii Maarif (1997), Dialog Dua Generasi, selain disebut sebagai representasi JIB (Jong Islamieten Bond) yang didirikan Agus Salim di tahun 1924, Roem juga termasuk founding parent Republik. Lahir di tahun yang sama dengan kelahiran Mohammad Natsir, yaitu 1908, pria kelahiran Parakan, Jawa Tengah ini juga meyakini bahwa Negara Islam atau Islamic State adalah tidak ada, baik dalam Alquran maupun sunnah.

Tentu, konsepsi Roem menarik disimak, mengingat Masyumsi, sebuah partai tempat Roem bergabung, selama sidang-sidang BPUPKI/PPKI dan sidang Badan Konstituante selalu memperjuangkan asas Islam sebagai konstitusi negara. Namun begitu Roem juga pernah mengatakan, dalam statuten dan anggaran dasar Masyumi sama sekali tidak ditemukan istilah Negara Islam tersebut.

Sementara, Nurcholis Masdjid kelahiran 1939 adalah generasi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), yang baru berdiri di tahun 1947. Roem jelas mengalami langsung makna penjajahan, baik Belanda maupun Jepang; sedangkan Madjid bisa dikata adalah anak merdeka. Namun menarik dicatat di sini, kedua tokoh pemikir Muslim ini hampir-hampir tidak memiliki perbedaan mendasar terkait persoalan hubungan Islam dan negara.

Sebelum Amien Rais menulis artikelnya, Pak Roem demikian akrab dipanggil, sebenarnya juga telah menulis artikel Saya Menerima Pancasila karena Saya Orang Islam. Dimuat di Majalah Panji Masyarakat No. 378/ 1982, tulisannya bercerita saat kemerdekaan Indonesia diproklamasikan ia berusia 37 tahun.

Roem tahu, sebagai orang muslim yang dewasa, hukumnya adalah mutlak mengakui keesaan Tuhan. Roem juga tahu, bahwa dalam draf rancangan UUD pada awalnya memuat “tujuh kata”, yaitu: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Roem juga tahu, sebelum draf rancangan UUD itu disahkan oleh PPKI, tujuh kata yang disohor disebut “Piagam Jakarta” itu dihapus.

Sebagai seorang muslim, Roem tentu menyayangkan penghapusan itu. Namun karena penghapusan tujuh kata itu merupakan hasil musyawarah yang demokratis dari para pemimpin, terutama Bung Hatta dan Ki Bagus Hadikusumo, juga karena tujuan mulia berupa persatuan di atas kebhinekaan, maka Pak Roem mudah menerima keputusan tersebut.

Bagi Pak Roem, seorang Kristen yang taat pada agamanya sudah tentu sekaligus juga merupakan warga negara yang Pancasilais. Pun Orang Islam yang taat kepada agamanya juga sekaligus warga negara yang Pancasilais. Baginya, tidaklah perlu membedakan Pancasila menurut agamanya, dan Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila menurut agama identik dengan Pancasila sebagai falsafah negara.

“Saya menerima Pancasila, terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa, karena saya adalah orang Islam, yang mendapat ajaran dari Nabi tentang Ketuhanan,” kata Pak Roem.

Kembali pada korespondensi antara Pak Roem dan Madjid, yang popular disapa Cak Nur. Pada surat pertama, Cak Nur curhat perihal kontroversi wacana “sekularisasi” yang dicetuskannya di awal 1970-an. Menurutnya, ide sekularisasi ini berbeda dengan paham sekulerisme. Ide sekularisasi lebih dimaksudkan membumikan ajaran-ajaran Islam supaya relevan dan kontekstual.

Menurut Cak Nur dan disetujui oleh Pak Roem, sebenarnya apa yang dibicarakan oleh Islam dalam kehidupan politik adalah sekadar garis-garis besarnya saja, sekadar prinsip-prinsip dasarnya semata, yaitu nilai-nilai atau etik. Artinya umat Islam dibenarkan untuk mencontoh siapa saja, termasuk pada kaum non-Muslim, asalkan hal itu relevan dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Terkait ide demokrasi, menurut Cak Nur, meskipun di sana-sini banyak kekurangan, namun demokrasi adalah warisan kemanusiaan yang tiada ternilai dan hingga kini belum ada alternatif sistem lain yang nisbi lebih unggul dibanding sistem itu. Pak Roem dalam surat balasannya tak menampik hal itu, dan sepenuhnya setuju dengan ide-ide atau gagasan Cak Nur.

Yang membedakan keduanya adalah konsepsi tentang partai Islam. Seperti kita tahu, Cak Nur selama ini sohor dengan tagline, “Islam, Yes; Partai Islam, No. Menurut Cak Nur, artikelnya yang kontroversi di awal 1970-an itu judul sebenarnya ialah “Islam, Yes; Partai Islam, No?. Namun entah mengapa tanda tanya (?) di belakang judul tersebut lantas hilang. Semangat Cak Nur lebih bermaksud mempertanyakan secara kritis dan bukan menegasi.

Sebaliknya, Pak Roem tegas menyatakan bahwa, Islam Yes dan Partai Islam juga Yes. Menurutnya, Islam adalah pedoman hidup, sedangkan partai adalah tempatnya beramal dan berjuang.

Surat terakhir Cak Nur tertanggal 15 September 1983, beberapa hari sebelum Pak Roem meninggal dunia di tanggal 24 September 1983. Tentu saja, Pak Roem tak sempat membalasnya. Sekarang Cak Nur juga sudah berpulang. Dia menyusul Pak Roem pada 29 Agustus 2005.

Ya, meskipun keduanya kini telah tiada, ide-ide dan gagasannya kini justru semakin relevan dan kontekstual direnungkan kembali. Di tengah gelombang pasang ‘politik-identitas’ belakangan ini jelas diskursus “Islam substantif” yang dirumuskan Pak Roem dan Cak Nur tentu bernilai signifikan sebagai kritik terhadap ilusi tentang ide Negara Islam atau Sistem Khilafah. (W-1)