Indonesia.go.id - Sejarah Rekayasa Air dalam Prasasti Tugu

Sejarah Rekayasa Air dalam Prasasti Tugu

  • Administrator
  • Minggu, 5 Januari 2020 | 21:16 WIB
MANUSKRIP KUNO
  Prasasti Tugu. Foto: Situs Budaya

Catatan paling tua dia dapatkan dalam inskripsi yang terdapat pada Prasasti Tugu. Prasasti ini menurut para arkeolog berasal dari sekitar abad ke-5 Masehi.

Yoseph Kelik Prirahayanto, seorang peneliti sejarah yang bekerja di Museum Ullen Sentalu, Yogyakarta, belakangan ini membagi beberapa hasil penelitian dia tentang sejarah rekayasa air yang dilakukan oleh penguasa-penguasa Pulau Jawa di masa lalu. Kajian yang dia bagi di media sosial micro-blogging Twitter ini, dia cuitkan sejak 5 Januari 2020 berkaitan dengan maraknya pembicaraan tentang banjir besar yang menimpa ibu kota sejak hujan besar di awal 2020.

Kelik mencatat penerapan teknologi rekayasa air di bumi Nusantara sudah setua penulisan sejarah Indonesia itu sendiri. Catatan paling tua dia dapatkan dalam inskripsi yang terdapat pada Prasasti Tugu. Prasasti ini, menurut para arkeolog, berasal dari sekitar abad ke-5 Masehi. Catatan di dalam website Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menyebutkan prasasti ini sebagai prasasti yang ditemukan di Kampung Batu Tumbuh, Kelurahan Tugu, di wilayah Koja Jakarta Utara.

Penggalian Dua Kanal

Prasasti Tugu adalah catatan tentang titah seorang raja bernama Purnawarman pada kurun tahun ke-22 di masa pemerintahannya untuk melakukan penggalian dua kanal. Purnawarman memerintahkan untuk menggali Sungai Chandrabaga dan Sungai Gomati. Seperti diketahui nama Chandrabaga adalah nama yang lambat-laun menyebal menjadi nama kota Bekasi. Asalnya adalah Chandrabaga, menjadi Bagasasi, dan kemudian menjadi Bekasi. Penggalian pertama adalah penggalian Sungai Chandrabaga untuk mengalirkan air yang berasal dari hulu, yang alirannya berada di tepian istana Raja Purnawarman yang termasyhur, agar bisa langsung mengalir ke laut.

Prasasti kemudian melukiskan Raja Purnawarman yang mulia sebagai seorang raja yang memiliki lengan yang kencang dan kuat, bisa diartikan memiliki kekuasaan dan kekayaan, untuk memerintahkan penggalian sungai sepanjang 6.122 tumbak atau sepanjang kurang lebih 12 kilometer yang bernama Gomati. Penggalian itu tercatat selesai dalam waktu 21 hari sejak tanggal 8 paro-gelap, bulan Phalguna dan selesai tanggal 13 paro-terang, bulan Caitra.

Prasasti Tugu, selanjutnya mencatat bahwa Sungai Gomati yang permai dan berair jernih itu mengalir di tengah-tengah kediaman yang mulia Neneknda Sang Purnawarman. Untuk memberkahi pembangunan dua kanal itu, para brahmana mengorbankan sekitar 1.000 ekor sapi.

Catatan Langsung

SE Wibowo dan S Rosalina, dari Universitas Singaperbangsa Karawang, menulis sebuah artikel khusus tentang inskripsi-inskripsi yang mencatat tentang Kerajaan Tarumanegara. Di dalam artikel yang diterbitkan pada Maret 2019, itu dijelaskan pula karakteristik Prasasti Tugu yang menjelaskan tentang rekayasa air yang dilakukan Raja Purnawarman.

Mereka mengkategorikan Prasasti Tugu sebagai catatan atas perintah atau penyampaian langsung dari seorang raja pada waktu tertentu atas sebuah peristiwa tertentu. Pencatatan perintah itu menjadi hal yang sangat berharga bagi peneliti sejarah karena sedikit banyak mengungkapkan konteks zaman atau pencapaian peradaban pada waktu itu.

Para peneliti sejarah menemukan keterkaitan penyebutan dua sungai, yakni Chandrabaga dan Gomati  dengan dua sungai besar di Punjab, India Utara, yang dari sana nama diambil. Toponimi atau penamaan yang sama di dua tempat yang berbeda adalah sebuah hal yang sangat khas dalam sejarah awal kerajaan di Nusantara yang terpengaruh perkembangan peradaban di India.

Berikut adalah bunyi inskripsi yang ada di Prasasti Tugu

pura rajadhirajena guruna pinabahuna khata khyatam purim prapya

candrabhagarnnavam yayau//

pravarddhamane dvavingsad vatsare sri gunau jasa

narendradhvajabhutena srimata purnavarmmana//

prarabhya phalguna mase khata krsnastami tithau caitra sukla

trayodasyam dinais siddhaikavingsakaih

ayata satsahasrena dhanusamsasatena ca dvavingsena nadi ramya

gomati nirmalodaka//

pitamahasya rajarser vvidaryya sibiravanim brahmanair ggo sahasrena

prayati krtadaksina//

Terjemahan bebas prasasti ini bisa dituliskan sebagai berikut:

'Pada suatu ketika sebuah sungai bernama Chandrabaga telah selesai digali oleh seorang raja yang mulia dengan lengan yang kencang dan kuat bernama Purnawarmman, agar sungai itu bisa langsung mengalir ke laut. Sungai ini adalah sungai yang mengalir di sebelah istana raja yang terkenal. Pada tahun ke-22 dari kedudukannya yang Mulia Purnawarmman yang berkilauan dengan kepintaran dan kebijakannya telah menjadi kiblat bagi para raja. Dialah yang memerintahkan penggalian sebuah sungai yang jernih dan indah bernama Gomati. Sungai ini adalah sungai yang mengalir di tengah-tengah kediaman yang mulia para pepundi atau Neneknda Purnawarmman. Pekerjaan ini dimulai pada hari yang baik pada hari kedelapan pada bulan gelap Palguna dan berakhir pada hari ketigabelas bulan terang Caitra. Pekerjaan ini hanya berlangsung 21 hari dengan menyelesaikan penggalian sepanjang 6.122 tombak panjangnya. Pemberkahan pembangunan ini dilakukan oleh para Brahmin yang disertai 1.000 ekor sapi sebagai persembahannya.'

Tempat Prasasti

Penduduk sekitar Kampung Tugu awalnya menyebut prasasti ini sebagai batu tumbuh. Semula prasasti ini hanya ujungnya saja sekitar 10 cm yang muncul ke permukaan. Karena proses alamiah, lapisan tanah di sekitar batu ini perlahan mengikis sampai dtemukan oleh peneliti Belanda. Pada 4 Maret 1879, 'perkumpulan batavia untuk kesenian dan ilmu', atau  Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, memutuskan untuk memindahkan batu yang ditemukan oleh JA Van der chijs ini ke museum.

Tahun 1911 secara resmi prasasti ini dipindahkan ke museum perkumpulan ini, atas usaha P De Roo de La Failler. Saat ini museum perkumpulan para pencinta warisan purbakala dan sejarah ini dikenal sebagai Museum Nasional yang ada di Jl Merdeka Barat, Jakarta Pusat. (Y-1)