Indonesia.go.id - Kidung Natal Berbahasa Madura di Gereja Sumberpakem

Kidung Natal Berbahasa Madura di Gereja Sumberpakem

  • Administrator
  • Senin, 23 Desember 2019 | 07:32 WIB
NATAL
  Sumber Foto : iddaily.net

Di setiap hari Natal, di gereja Desa Sumberpakem, Kecamatan Sumberjambe, Kabupaten Jember, Jawa Timur, selalu bergema kidung berbahasa Madura. Adhu Yesus Alla kasokan se toron,../ Rabu e alam dunya karsa merokon,../ Enggi e antarana reng-oreng se odhi,../Jugan kaula neka ampon e tembeli,..

Sumberpakem adalah wilayah yang banyak dihuni masyarakat keturunan Madura. Bersama Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) cabang Slateng (Ledokombo-Jember), GKJW Sumberpakem adalah jemaat gereja Jawa yang sampai kini memakai bahasa Madura dalam ibadah mereka.

Sewaktu VOC meredup dan pemerintah kolonial Belanda mengambil alih kekuasaan atas Hindia Belanda (Indonesia), ternyata sikapnya lebih sewenang-wenang dan kejam pada penduduk dibanding pada masa VOC.

.Jika saat VOC berkuasa, penduduk harus menjual tanaman pada VOC dengan harga tertentu, pada era pemerintah kolonial Belanda mereka menerapkan tanam paksa (Cultuurstelsel, 1835) dimana penduduk diharuskan menanam tanaman tertentu yang mungkin saja berbeda dengan yang ditanam penduduk. Jika tidak patuh mereka didenda atau dihukum dengan bentuk lain. Kebijakan ini didorong oleh nilai ekonomi dimana tanaman tertentu harganya sangat mahal di benua Eropa.

Begitu juga di daerah Besuki atau dikenal dengan Tapal Kuda. Daerah subur dan punya beberapa gunung seperti Gunung Argopuro dan Raung ini, diharuskan menanam kopi, teh, tebu dan tembakau. Karenanya, wilayah seperti sebagian Situbondo, Bondowoso, Jember dan sebagian Banyuwangi, banyak ditanami empat komoditas itu sampai sekarang. Perkebunan di wilayah Besuki menghasilkan banyak uang bagi pemerintah kolonial Belanda

Karena minimnya penggarap kebun, mereka mendatangkan pekerja dari Madura dan Blitar. Pekerja dari Madura banyak menetap di Besuki sebelah utara (Probolinggo, Situbondo, Bondowoso dan sebagian Jember). Sedangkan pekerja suku Jawa banyak ditempatkan di Besuki wilayah selatan (Lumajang, sebagian Jember dan sebagian Banyuwangi).

 

Gereja Jawa Berbahasa Madura

Agama Kristen berkembang dengan baik di Jawa meskipun diwarnai beberapa pertentangan, antara lain soal perbedaan pandangan masalah budaya yang masuk dalam kekristenan. Ada dua tokoh yang berpengaruh di wilayah Jawa Timur waktu itu yaitu misionaris Belanda, Johenes Emde, dan tokoh Kristen berdarah Rusia- pribumi, C.L. Collen.

Emde merekomendasikan meninggalkan sarung plus kebaya dan memakai atribut barat jika menjadi Kristen. Sementara itu, Collen mendukung kekristenan yang berakulturasi dengan budaya setempat seperti wayang kulit, kebaya dan blangkon dan mendaraskan doa dan Pengakuan Iman Rasuli dalam bahasa lokal (Jawa).

Cara Collen lebih diterima dan pekerjaan penyiaran Kristen di wilayah itu dilakukan oleh Nederlandsche Zendiling Genootschap (NZP). Sekitar tahun 1850-an umat Kristen berkembang pesat. Handoyomarno, dalam buku Benih Yang Tumbuh (1976), menulis bahwa Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) yang berpusat di Mojowarno (Jombang) punya sekitar 3.000 anggota. Jumlah yang sangat besar untuk masa itu. Gereja ini adalah contoh bagaimana budaya lokal kental mewarnai iman dan tata ibadah gereja semisal persembahan hasil bumi (unduh-unduh) dan memakai bahasa lokal sebagai bahasa pengantar ibadah.

Sementara itu pada akhir 1854 muncul organisasi Het Java Comite di Amsterdam yang membawa misi balas budi Belanda kepada orang Jawa sembari menyebar kekristenan dengan fokus komunitas Madura di Hindia Belanda. Pekabaran Injil yang dilakukan oleh Pendeta Dr J.P. Esser di Madura gagal dan dia bergeser ke Bondowoso dan Sumberpakem (35 km dari Jember).

Seperti dalam uraian di atas, penduduk beretnis Madura cukup banyak di dua wilayah itu. Pekerjaan ini sama sekali tidak mudah, tapi akhirnya baptis pertama dilakukan di Sumberpakem pada tahun 1882 dan di Bondowoso pada tahun 1896.

Namun, pendudukan Jepang membuat semua kegiatan zending terhenti. Het Java Comite menyerahkan pekerjaan mereka ke GKJW Mojowarno dan dua jemaat berbahasa Madura itu menjadi bagian dari mereka. Meski gereja Jawa, bahasa Madura dipertahankan sebagai bahasa pengantar. Namun Bondowoso akhirnya menghapus bahasa Madura dari tata ibadah mereka. Sebaliknya GKJW pepathan (cabang) Slateng yang berlokasi di Ledokombo dan GKJW Sumberjambe masih mempertahankan bahasa Madura sebagai bahasa pengantar ibadah.

Meski J.P Esser sudah memulai pekerjaan penerjemahkan kitab suci umat Kristiani (Alkitab) ke bahasa Madura, tapi pekerjaan menerjemahkan kitab suci ini baru benar-benar rampung pada tahun 1994 dengan nama “Alketab”. Parjanjian Kona (Perjanjian Lama) setebal 1.306 halaman dan Parjanjian Anyar (Perjanjian Baru) setebal 512 halaman.

Beberapa pendeta yang bertugas di sana berhasil mewarnai budaya Madura dengan ajaran Kristiani antara lain budaya konjengan (selamatan) bila ada warga yang meninggal dunia. Dalam konjengan, biasanya ada budaya melepaskan ayam dan selamatan selama tujuh hari beturut-turut. Namun, untuk warga kristiani, tidak lagi ada upacara pelepasan alam dan selamatan hanya dilakukan selama tiga kali yaitu hari pertama, hari ketiga dan hari ketujuh.

Penentuan hari itupun terkait kisah tentang Yesus Kristus. Hari pertama menandakan kelahiran Yesus Kristus, sementara hari ketiga adalah hari dimana Yesus diangkat ke surga setelah meninggal dunia. Hari ketujuh berarti hari dimana Tuhan menciptakan alam semesta selama tujuh hari. Saat puncak yaitu hari ketujuh; menandakan kehidupan baru, sehingga tidak perlu kesedihan akibat kematian itu, karena ada kehidupan baru pada hari ketujuh.

Di Sumberpakem, pohon natal tak harus pohon cemara, tapi sering diganti dengan pohon kelapa atau  pisang yang banyak di kebun mereka. Intinya, ada tanda kemeriahan dan kuatnya iman kristen, dan semua itu bisa diwakili dengan pohon apapun, seperti kelapa dan pisang. Masyarakat di sana sangat toleran dengan tidak adanya konflik antarumat beragama. Persahabatan antar pendeta dan kyai sering terjadi di sana.

Ampon kaula ngartetresna panjenengan, paneka sengatore ajunan sampiyan (aku telah merasakan cinta dari-Mu, semua yang terjadi atas kehendak-Mu). Selamat hari Natal. Pada Salamet Sabhala Bengko Areja. (K-CD)