Menyambut peringatan hari ibu Selasa, 22 Desember 2015 Presiden Joko Widodo menulis sebuah pesan manis dalam akun Twitter pribadinya @jokowi. Tulisan itu menyentuh. Bunyinya, "Ibu saya selalu mengingatkan pentingnya kerja keras, kejujuran, dan kesederhanaan. Saya selalu ingat itu. Selamat hari ibu-Jkw."
Nilai-nilai itulah yang rupanya selalu ditanamkan Ibunda Jokowi, Sujiatmi Notomiharjo, 77 tahun, kepada Jokowi, dan ketiga adik perempuannya. "Ojo milik (mengincar) punya orang lain yang bukan hakmu. Yang bukan hakmu jangan kamu ambil. Jangan seneng (membidik) punya orang lain," kata Sujiatmi, saat menuturkan butiran ajarannya kepada putra-putrinya.
Kepada semua anak-anaknya, Eyang Sujiatmi juga selalu menanamkan nilai kerja keras, kerendahan hati, dan kesederhanaan hidup. "Jangan sombong, jangan serakah," katanya, menyebut hal penting yang sering disampaikan kepada putra-putrinya.
Nyonya Sujiatmi Notomiharjo, yang juga sering disapa sebagai Eyang Noto, meyakini nilai-nilai itu akan bisa menyelamatkan hidup anak-anaknya, apapun pekerjaan yang dilakoninya. Pernah suatu saat, Jokowi mendatanginya. Jokowi bilang kepadanya, "Bu, saya mau dilamar menjadi wali kota."
Sujiatmi mengaku kaget. Sebab saat itu, usaha mebel kayu yang dirintis Jokowi mulai berkembang. "Perusahaan sudah jalan bagus, kok mau ditinggal. Nanti siapa yang mau ngurus," tanya Sujiatmi.
Jokowi menjawab enteng, "Gampang Bu. Nanti biar diurus adik-adik." Untuk menenangkan kegundahan sang ibu, Jokowi bilang, "Saya mau umrah dulu Bu." Sujiatmi pun menyetujui niat Jokowi umrah.
Sepulang umrah, Jokowi kembali menghadap sang ibu. "Saya positif nyalon (mencalonkan diri) sebagai wali kota," ujarnya.
Melihat niat kuat Jokowi, Sujiatmi hanya bisa merestui. Kepada Jokowi, Sujiatmi kembali berpesan. “Kalau jadi nanti ojo ndangak (jangan mendongak) tapi harus ndingkluk (menunduk).” Artinya, kalau nanti terpilih jangan sombong, tapi juga harus rendah hati.
Nilai-nilai kesederhanaan yang ditanamkan kepada anak-anaknya itu tak lepas dari perjalanan hidup Sujiatmi dan suaminya, Widjiatno Notomiharjo. Lahir di Dusun Gumukrejo, Desa Giriroto, Ngemplak, Boyolali, pada 15 Februari 1943, Sujiatmi merupakan perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara pasangan Wirorejo dan Sani. Ayah Sujiatmi membuka usaha dagang kayu dan bambu. Orang tua Sujiatmi cukup memperhatikan masalah anak-anaknya.
Dalam Saya Sujiatmi: Ibunda Jokowi (2014) karya Kristin Samah dan Fransisca Ria Susanti diceritakan, ibunya suka mengepang rambut hitamnya. Saat bersekolah, berhitung merupakan pelajaran yang disukainya. Ia selalu mengacungkan tangan lebih cepat dari teman-temannya ketika gurunya meminta mengerjakan tugas berhitung.
Keluarga Sujiatmi memang cukup memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Setelah Sujiatmi lulus sekolah dasar, ia melanjutkan ke jenjang sekolah menengah pertama. Saat di bangku SMP inilah Sujiatmi mengenal Widjiatno Notomiharjo, yang usianya terpaut tiga tahun lebih tua.
Widjiatno itu teman kakaknya, Mulyono. Widjiatno tergolong dari keluarga terpandang di desanya. Bapaknya Lamidi Wiryomihardjo menjabat sebagai Kepala Desa Kranggan, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Jabatan kepala desa itu juga pernah diemban sang kakek Widjiatno, kakek buyut Presiden Jokowi. Dalam struktur masyarakat Jawa, Presiden Jokowi mewarisi trah lurah, elite desa yang dihormati oleh lingkungannya.
Namun saat itu Widjiatno tak tinggal bersama ayahnya. Ia memilih tinggal bersama kakeknya yang rumahnya masih bertetangga dengan desa tempat keluarga Sujiatmi tinggal, yakni di daerah Ngemplak, Boyolali. Saat duduk di bangku SMA, Notomiharjo kerap main ke rumah keluarga Sujiatmi. Diam-diam ia tertarik dengan adik Mulyono itu. Cinta pun bersambut.
Masih di Saya Sujiatmi: Ibunda Jokowi, Sujiatmi mengingat, saat itu Widjiatno Notomiharjo sudah mengendarai sepeda motor merk Birmingham Small Arms (BSA). Motor yang terbilang cukup keren di zamannya. Saat pacaran, Widjiatno Notomiharjo kerap mengajak Sujiatmi dengan BSA-nya.
Melihat dua sejoli itu sudah cocok, keluarga meminta Sujiatmi segera menikah. Sujiatmi hanya bisa manut, mengikuti kehendak orang tua, meskipun mereka masih belum lulus sekolah. Saat itu usia Sujiatmi masih 16 tahun dan Notomiharho 19 tahun. Kedua pasangan ini akhirnya dinikahkan pada 23 Agustus 1959. Tak lama setelah menikah, pasangan muda ini hijrah ke Solo.
Sebagai bekal hidup, ayah melibatkan Sujiatmi dan suaminya ikut berbisnis kayu. Kebetulan saat itu ayah Sujiatmi punya bisnis kayu di Srambatan, Solo. Bersama Mulyono, sang kakak, mereka terlibat dalam bisnis kayu dengan bendera Roda Jati ini. Saat usahanya yang di Solo ini berkembang, ayahnya memboyong seluruh keluarganya ke Solo. Dalam tradisi Jawa, setelah sekian lama menikah, lelaki Jawa sering menggunakan nama dewasanya. Widjiatno pun menyandang nama Notomiharjo.
Tak berapa lama Widjiatno Notomiharjo dan Sujiatmi pun membuka usaha kayu dan bambu. Suaminya bertugas mencari kayu, sedangkan dirinya banyak mengurusi masalah keuangan dan kadang juga ikut kursus merias. Namun, tak jarang Sujiatmi turut melakukan jual beli di pasar dekat rumahnya. Pelan-pelan usahanya mulai berkembang. Namun, menurut dia, usahanya itu masih kalah jauh dibanding dengan usaha milik kakaknya, Mulyono. "Bagi saya yang penting cukup untuk sekolah anak-anak, tidak harus kaya-raya," katanya.
Dua tahun menikah, pasangan ini akhirnya dikaruni seorang anak. Lahir pada 21 Juni 1961, anak itu diberi nama Joko Widodo. Setelah Jokowi, pasangan ini juga dikarunia tiga anak lainnya, yang semuanya perempuan. Ketiganya bernama Iit Sriyantini (56 tahun), Idayati (54 tahun), dan Titik Ritawati (52 tahun).
Mereka dibesarkan dengan kondisi keuangan yang pas-pasan. Tapi soal urusan mendidik anak, Sujiatmi ada di garda depan, sedangkan suaminya manut. "Pak Noto (suaminya) itu pendiam. Manut saya saja," kata Sujiatmi.
Karena ayahnya pendiam, keempat anaknya lebih dekat pada ibunya. Dalam hal apapun, anak-anaknya selalu bercerita kepada ibunya. “Kami curhatnya ke Ibu. Ibu kalau ngandani (menasihati) pas. Kena di hati. Kalau Ibu bilang tidak, kita ndak berani membantah. Anak-anak mau ke mana, Ibu yang ngarahin,” kata Iit, anak keduanya.
Dengan pembawaanya sebagai perempuan Jawa, Sujiatmi sering kali menasihati anak-anaknya dengan suara perlahan, setengah berbisik. Ajaran Sujiatmi tentang kerja keras, disiplin, ikhlas, jujur, kesederhanaan, dan rendah hati selalu diingat oleh anak-anaknya.
Di Alun-Alun Cilegon, Banten, 6 Desember 2019, misalnya, saat memberi sambutan, Jokowi yang tengah meninjau program Mekar mengungkapkan, kerja keras selalu ditanamkan dan dicontohkan orang tuanya. "Ibu Sujiatmi itu berjualan bambu dan kayu, sementara bapak, almarhum Widjiatno Notomiharjo, harus bangun subuh untuk bekerja sebagai sopir," ujarnya, mengenang perjuangan orang tuanya.
Kebersahajaan itu melekat sampai akhir hayat. Ia selalu betah dengan lingkungan sosialnya di Solo, yang telah menyatu bersamanya, sejak anak sulungnya Joko Widodo belum menjadi Wali Kota Solo, Gubernur DKI, apalagi Presiden RI. Eyang Sujiatmi hampir tak pernah terlihat dalam resepsi-resepsi besar bersama Presiden Jokowi.
Kini, Sujiatmi telah pergi. Ia dimakamkan Kamis (26/3/2020) di Makam Keluarga Mundu, Selokaton, Karanganyar, berdampingan dengan makam suaminya, Eyang Notomiharjo kakung, yang telah mendahului.
Seperti yang pernah diungkapkan Jokowi, “Saya tidak mampu membalas semua kebaikan dan perjuangan Ibu. Namun saya akan berusaha terus menjadi putra Ibu yang baik, putra Ibu yang terbaik.”
Selamat jalan Eyang Sujiatmi.
Penulis: Fajar WH
Editor: Putut Tri Husodo/Ratna Nuraini