Mengangkat sebuah karya novel ke dalam sebuah film tentu bukanlah pekerjaan mudah. Sebuah novel mungkin saja bisa dibaca dalam beberapa hari, namun saat diangkat ke layar perak dia harus diubah menjadi bisa dinikmati dalam waktu yang singkat. Suka atau tidak, ini tentu menyebabkan adanya beberapa pengurangan atau penghilangan beberapa bagian dari karya aslinya.
Tantangan bagi sutradara ialah, bagaimana membangun imajinasi secara audio visual sebagai hasil tafsirannya dari karya sastra yang selalu bersifat multitafsir. Gambaran-gambaran cerita yang dianggap penting menurut sutradara tentu bakalan diangkat, namun di sisi lain bisa jadi gambaran itu justru bukanlah dianggap penting bagi penonton.
Demikian juga dialog-dialog yang dipilih sutradara untuk membangun struktur cerita, pilihan aktor-aktornya sebagai representasi tokoh-tokoh utama dalam novel, tentu jadi sebuah tantangan tersendiri.
Tentu saja kesulitan akan semakin bertambah besar, ketika novel yang hendak diadaptasikan itu merupakan karya besar (magnum opus) dari seorang sastrawan besar sekaligus. Jelas, seorang sutradara akan terbebani oleh imajinasi penonton yang telah terkontruksi sebegitu rupa oleh proses alur cerita saat mereka membaca novel tersebut. Sehingga bicara beban terbesar seorang sutradara ialah, film hasil karyanya tersebut akan selalu dibandingkan dengan karya novelnya itu sendiri.
Demikianlah, kira-kira beban psikologis Hanung Bramantyo saat membuat film Bumi Manusia. Bagaimana tidak, empat jilid Karya Pulau Buru itu, yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, bagaimanapun merupakan karya magnum opus dari penulis besar Pramoedya Ananta Toer. Seorang sastrawan yang bukan saja telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing, melainkan juga memiliki segudang penghargaan dengan reputasi internasional.
Meringkas novel pertama dari novel tetralogi setebal kira-kira 366 halaman edisi Hasta Mitra atau edisi Lentera Dipantara 314 halaman ke dalam sebuah film bukanlah perkara sederhana. Kompleksitas latar sosialnya tidak mungkin dimampatkan menjadi film berdurasi tiga jam. Sedikit atau banyak tentu bakal muncul kekecewaan penonton, bahwa film itu tak sepenuhnya merepresentasikan imajinasi yang terbangun seperti saat membaca novelnya.
Terlebih bagi audiens penonton generasi mahasiswa 90-an. Saat itu, di masa Orde Baru, membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer bukan hanya harus dilakukan sembunyi-sembunyi, juga butuh keberanian tersendiri. Pasalnya, jikalau kurang beruntung, UU Anti-Subversif siap mengantar para pembaca novel ini ke dalam penjara.
Tentu iklim represif ala Orde Baru ini tak dirasakan oleh generasi milenial, dan mungkin saja Hanung Bramantyo memberikan prioritas pada segmentasi usia ini bagi audiens film karyanya. Dan dalam konteks inilah, bicara film Bumi Manusia nisbi tidak sedikit apresiasi mengalir. Film ini dianggap nisbi berhasil menerjemahkan karya Pram. Terlebih bicara karakteristik tokoh Nyai Ontosoroh. Banyak orang menilai, Nyai Ontosoroh yang diperankan Sha Ine Febriyanti patut diapresiasi.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1567228483_Falcon_Pictures.jpg" />Salah satu adegan di film Bumi Manusia. Foto: Falcon Pictures
Karakteristik Tokoh
Bicara tetralogi Karya Pulau Buru, A Teeuw (1996) dalam Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer membagi keempat roman ini ke dalam dua bagian. Bagian pertama terdiri dari Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa, sedangkan bagian kedua berisi Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Menurut Teeuw, antara bagian pertama dan bagian kedua secara isi, baik aspek struktur cerita, maupun latar sosial kesejarahannya, terdapat jeda dan perbedaan.
Bagian pertama berlatarkan kondisi sosial Jawa Timur di akhir abad ke-19. Struktur isi berpokok pada proses pendewasaan, fisik maupun mental, sosok protagonis si Minke. Dalam dua roman ini, Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa, karena kurangnya data sejarah tentang masa muda dari sosok Tirto Adhi Soerjo atau Minke, maka imajinasi kreatif Pram sebagai pengarang tampak dominan membangun struktur cerita.
Sedangkan bagian kedua berlatarkan kondisi Batavia di awal abad ke-20. Data-data sejarah tentang masa itu cukup berlimpah. Tokoh utama yaitu si Minke memainkan peranan yang cukup penting, pada awalnya posisinya sebagai tokoh utama atau subjek dalam novel Jejak Langkah. Namun kemudian pada novel keempat, Rumah Kaca, Minke diposisikan sebagai objek yang diceritakan oleh tokoh lain sebagai tokoh utamanya, yaitu Jacques Pangemanann.
Nyai Ontosoroh hadir mewarnai dua novel pada bagian pertama. Siapakah dia? Apakah Nyai Ontosoroh adalah figur historis ataukah sekadar figur rekaan buah proses kreatif pengarangnya?
Setting cerita terjadi sekitar 1898 di Wonokromo, Surabaya. Nyai Ontosoroh adalah pemilik Perusahaan Pertanian Buitenzorg. Sosok perempuan yang sangat berkarakter ini bernama asli Sanikem. Saat usia 14 tahun diceritakan Sanikem telah dijual oleh ayah kandungnya, seorang juru tulis di pabrik gula Tulangan, Sidoarjo, demi jabatan kepada seorang Belanda. Orang Belanda ini bernama Herman Mellema.
Ya, Sanikem menjadi gundik Herman Mellema dan sesuai kelaziman waktu itu maka julukan “nyai” pun tersemat pada namanya. Apa yang menarik dicatat dari karya Pram dalam Bumi Manusia?
Kembali merujuk Teeuw, dikatakan bahwa tema atau topik nyai sebagai motif penulisan sastra tentu sudah cukup luas tersebar, baik dalam sastra Melayu maupun Belanda di tanah jajahan. Namun berbeda dari arus utama pencitraan nyai secara tradisional, Pram di sini berhasil membangun citra nyai dengan prespektif lain dan berbeda. Karir Nyai Ontosoroh dari budak menjadi nyonya besar, plus keberaniannya untuk melawan hukum kolonial tentang hak asuh ibu atas anak-anaknya, bisa dikata sangat dramatis dan merangsang daya imajinasi pembacanya.
Ya, kehilangan kehormatan karena dijual oleh ayah kandungnya tak lantas membuat Sanikem terpuruk. Ia justru bangkit dan bertekad menentukan nasibnya sendiri. Memanfaatkan kekayaan dan akses pengetahuan yang dimiliki oleh tuannya, Herman Mellema, Sanikem alias Nyai Ontosoroh kemudian tekun belajar berhitung serta membaca dan menulis.
Hasilnya, bukan saja ia kemudian menguasai bahasa Belanda laiknya kaum terpelajar di Hindia Belanda saat itu, Nyai Ontosoroh juga piawai mengerjakan urusan-urusan perkantoran. Dia prigel mengerjakan semua urusan bisnis, dari soal managemen organisasi kantor, pembukuan keuangan, perdagangan, hingga soal administrasi dan surat-menyurat. Sebuah keahlian yang di masa itu bahkan masih jarang dimiliki oleh kaum laki-laki sekalipun. Meskipun darah biru nisbi tak mengalir di tubuhnya, Nyai Ontosoroh juga diceritakan pintar bersolek necis laiknya kaum aristokrat.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1567228637_Falcon_Pictures_1.jpg" />Salah satu adegan di film Bumi Manusia. Foto: Falcon Pictures
Singkatnya, Nyai Ontosoroh merupakan manifestasi perempuan pribumi yang jauh melampaui zamannya. Tak aneh sekalipun memiliki atribut “nyai”, dan memang demikianlah wanita itu mau disebut, bukanlah dicitrakan sebagai perempuan rendahan. Dia bukanlah gundik biasa. Juga bukanlah nyai biasa.
Malah sebaliknya, Nyai Ontosoroh dilukiskan sebagai tipikal wanita pribumi yang cerdas, tegar, tegas, dan mandiri. Nyai Ontosoroh dilukiskan sebagai wanita yang sanggup memperjuangkan nasibnya keluar dari penjajahan pikiran, penjajahan kebebasan, dan sekaligus selalu berani mengungkapkan pendapatnya secara bebas dan terbuka.
Minke sudah tentu sangat menghormati sosok nyai ini. Nyai Ontosoroh diposisikan sebagai contoh ideal tentang moralitas, dan bahkan teladan bagi Minke. Dari Nyai Ontosoroh pulalah Minke banyak belajar. Pada roman kedua, Anak Semua Bangsa, juga Nyai Ontosoroh-lah yang mendorong Minke untuk menulis menyuarakan nasib bangsanya. Bahkan ketika akhirnya Minke memilih jalan organisasi dan jurnalistik untuk melawan kolonialisme Hindia Belanda dengan mendirikan sebuah surat kabar pribumi yang pertama, yaitu Medan Prijaji, Nyai Ontosoroh pun turut memberi bantuan pendanaan.
Singkat cerita, dari sosok perempuan tangguh itu pulalah Minke bukan hanya memperoleh kepercayaan diri melainkan juga berhasil menjadi dirinya sendiri. Lantas, kembali pada pertanyaan di muka: siapakah Nyai Ontosoroh? Apakah dia ialah figur historis ataukah sekadar rekaan?
Merujuk P Hasudungan Sirait dkk (2011) dalam bukunya Pram Melawan!, Pramoedya dalam sebuah wawancara mengungkapkan, bahwa cerita tentang Nyai Ontosoroh muncul pasca-Peristiwa G30S1965, saat dia berada di Pulau Buru. Spirit di balik pemunculan tokoh Nyai Ontosoroh ini ialah untuk membangkitkan moralitas para tapol yang tengah mengalami demoralisasi. “Lihatlah, itu perempuan! Dia menghadapi kekuasaan kolonial seorang diri!” ujar Pram membangun kembali moralitas kawan-kawan tapol-nya ketika itu
Namun sekalipun subjek Nyai Ontosoroh hanyalah figur rekaan atau fiksi belaka, masih merujuk buku karya Sirait, Pramoedya ternyata juga melihat sosok ini sebagai personifikasi dari figur ibu kandungnya.
“Ia merupakan perpaduan dari Ibu saya sendiri. Saya terlalu dekat dengan Ibu saya. Dialah guru saya,” ujar Pram. (W-1)