Rambu kuning tanda peringatan banjir telah direntangkan. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mewanti-wanti, ada potensi hujan lebat turun di seluruh wilayah Indonesia Oktober 2020. Faktanya, pada awal Oktober memang hujan telah turun di berbagai tempat, termasuk di Jakarta dan daerah penyangga, yakni di Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi. Nyaris tidak ada hari tanpa hujan di minggu pertama Oktober ini.
Dalam siaran pers yang dirilis Sabtu (3/10/2020), BMKG menyebutkan bahwa potensi awan hujan ini ditandai oleh fenomena La Nina yang muncul sejak enam dasarian (60 hari) sebelumnya. Si Upik (arti harfiah La Nina) cenderung menguat dan diperkirakan mencapai ke level moderate Desember nanti, lalu meluruh ke posisi normal awal April 2021.
Untuk kawasan Indonesia, La Nina adalah pembawa berkah hujan. Istilah La Nina itu sendiri menunjuk pada fenomena cuaca khas, berupa tiupan angin yang muncul akibat perbedaan temperatur suhu air laut di Samudera Pasifik sisi selatan equator. Ada tiga titik yang menjadi pusat pengamatan, yakni di sisi timur perairan Kota Lima (Peru), di bagian tengah Kepulauan Haiti dan di sisi barat perairan Darwin, Australia.
Tidak kurang dari 10 institusi dari berbagai negara, termasuk BMKG, memantau pergerakan temperatur permukaan air laut itu dengan sensor suhu di satelit. Hasilnya konsisten bahwa suhu air di Pasifik Timur lebih rendah dari Pasifik Barat.
Pada awalnya perbedaannya hanya 0,5o C antara barat dan rata-rata tengah dan timur. Di akhir September perbedaannya menjadi 0,9o C, dan diperkirakan mencapai 1,5 - 2o C di bulan Desember nanti untuk kemudian bergerak menurun menuju netral.
Pada saat ini, temperatur yang lebih rendah di timur membuat suhu udara di situ lebih rendah, lebih berat sehingga tekanannya lebih tinggi. Sebaliknya, di sisi barat yang lebih panas, tekanannya lebih rendah. Maka, terjadilah aliran massa udara dari timur ke arah karat. Angin ke arah barat itu membawa uap air dan melahirkan awan hujan di Indonesia.
Tak heran bila di tengah kemarau Agustus-September lalu, hujan masih turun. Evaluasi BMKG menunjukkan bahwa pada Agustus-September 2020 curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia terjadi dengan intensitas di atas normal. Ditambah dengan dorongan angin monsun (Oktober-April), pada pekan-pekan ke depan hujan akan lebih sering dan lebih besar.
Enso dan Monsun
Gejala perbedaan suhu air laut di belahan selatan Pasifik itu telah lama diamati para ahli cuaca. Hasilnya ialah diakuinya adanya fenomena ENSO (El Nino Southern Oscilation). Bila angin dari timur ke barat disebut La Nina. Sebaliknya, yang dari barat ke timur disebut El Nino, dan yang ini bisa mengakibatkan kemarau berkepanjangan seperti pada 2019.
Namun, meski sering terjadi berselang-seling, efek La Nina dan El Nino tidak membangun pola yang pasti. Tidak selalu setelah El Nino pasti La Nina hadir, atau sebaliknya. Fenomena ini juga tak berkorelasi langsung dan linier dengan siklus matahari. Namun, dengan mengaitkannya ke variabel-variabel cuaca di sekelilingnya, dan didukung data empiris, para ahli telah membuat model algoritme untuk memperkirakan kapan terjadi El Nino atau La Nina.
Kekuatan Enso itu berkorelasi langsung dengan perbedaan temperatur. Bila beda suhu air laut itu masih di bawah 1o C, pengaruhnya lemah. Maka, efek La Nina atau El Nino yang muncul pun lemah. Bila beda suhu antara 1 – 2o C, maka efeknya disebut sedang (moderate), dan jadi kuat kuat bila selisihnya di atas 2o C.
Untuk Indonesia, jelas fenomena Enso ini mempengaruhi curah hujan. Namun, variabel pokok tetap saja angin monsun yang secara siklikal dikendalikan oleh pergerakan matahari. Pada saat Asia mengalami musim dingin, karena matahari ada di belahan bumi selatan, angin pun bertiup dari utara (Asia) ke selatan (Australia).
Angin dari utara bersifat lembab dan mudah membentuk awan hujan di atas wilayah Indonesia. Sebaliknya, angin dari selatan sangat kering dan cenderung panas, karena berasal dari Australia yang ketika musim panas fisiknya seperti panci di atas kompor. Miskinnya vegetasi dan batuan yang banyak mengandung logam, membuat bumi Australia memancarkan panas dalam jumlah yang sangat besar.
Sesuai kodratnya, angin tak bergerak lurus. Akibat rotasi bumi, ada gaya khusus, disebut Gaya Coriolis, yang membuat arah gerakan angin seperti busur. Berbeda pula arahnya antara daerah di belahan selatan dan utara khatulistiwa. Di hemisfir utara, Gaya Coriolis itu membuat angin bergerak seperti busur yang searah jarum jam. Sebaliknya, di selatan geraknya seperti busur yang berlawanan jarum jam.
Dampaknya, angin monsun utara yang bertiup ke arah Indonesia mula-mula bergerak ke arah barat, namun berbelok ke arah timur setelah menyeberang garis equator. Sebaliknya, angin selatan yang menuju utara, mula-mula bergerak ke arah barat, namun kemudian berubah arah ke timur setelah melewati equator.
Bagi nelayan di pesisir Pulau Jawa (di hemisfir selatan), angin timur itu menunjuk angin yang bertiup dari Australia, bergerak ke barat, yang menandai musim kering. Angin timur biasanya membawa ombak yang lebih tinggi.
Bencana Hidrometeorologi
Pada periode Oktober-Desember 2020 ini, angin monsun dan si Upik La Nina seperti bekerja sama menyemai awan yang lebih tebal. Cuaca ekstrem dalam bentuk hujan badai berpotensi terjadi meski tak seekstrem bila La Nina mencapai level kuat. Hujan deras yang bertubi-tubi tentu berpotensi mendatangkan bencana hidrometeorologi, seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor, abrasi, atau gelombang pasang.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, bencana hidrometeorologi selalu paling dominan di Indonesia. Pada 2019, misalnya, dari 3.768 kasus bencana alam, bencana hidrometeorologi menyumbang 3.731. Bencana alam lain, gempa bumi atau letusan gunung berapi, hanya berkontribusi 37 kasus (satu persen).
Pada 2019, bencana alam meminta korban jiwa 478 orang, tidak termasuk 109 lainnya yang dinyatakan hilang. Sebagian korban tewas atau hilang oleh bencana banjir dan longsor, yang terjadi setelah hujan deras dan bertubi-tubi.
Penulis: Putut Trihusodo
Editor: Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini