Perjuangan perempuan Indonesia untuk mendapatkan kesetaraan maupun turut terlibat dalam kemajuan bangsa sudah dirasakan jauh sebelum Republik Indonesia terwujud. Tonggak gerakan pembebasan kaum perempuan Indonesia sudah digulirkan 17 tahun sebelum Proklamasi Indonesia 17 Agustus 1945. Komitmen itu dirumuskan pada Kongres Perempuan Indonesia pertama tahun 1928.
Kongres itu diikuti oleh 600 orang perwakilan organisasi kemasyarakatan perempuan dan wanita dari pelbagai latar belakang sosial budaya. Mereka berembuk sejak 22 hingga 25 Desember 1928 di Ndalem Joyodipuran Yogyakarta (sekarang Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Budaya) Jl Brigjen Katamso, Yogyakarta. Ratusan aktivis perempuan nasional itu mewakili Poetri Budi Sejati, Poetri Indonesia, Wanita Katholiek, Rukun Wanodyo, Wanito Sejati, Dharma Laksmi, Budirini, Marginingkautaman, Kartoworo, Budi Wanito, Jong Java, Jong Islamieten Bond, Wanito Kencono, SIBI, Hoofbesturr, Aisiyah, Sancoyorini, Wanito Oetomo, Wanito Moeljo, Taman Siswa, Panti Krido Wanito, Nahdatul Fata’at, Kusumorini, Partij Sarikat Islam Wonodijo, dan Oetoesan Istri Soematra.
Di tengah situasi rezim kolonial Hindia Belanda, di kongres itu dibahas tentang usaha perjuangan untuk perbaikan hidup perempuan dan kesetaraan antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki. Mereka juga bersepakat untuk berhimpun dalam Perikatan Perempuan Indonesia (PPI). Organisasi ini semacam federasi dari berbagai organisasi dan perkumpulan pergerakan perempuan di tanah air.
Seperti dilansir dari buku "Biografi tokoh Kongres Perempuan Indonesia Pertama" (Sri Suciatiningsih et al, Depdikbud, 1991), Nyonya RA Soekonto atau Siti Aminah), pemimpin kongres tersebut dalam sambutannya menyatakan, perempuan tidak hanya harus duduk di dapur saja, kecuali jika menjadi nomor satu di dapur. Ia mengingatkan, saat itu adalah zaman kemajuan, dan sudah saatnya mengangkat derajat buat kaum perempuan. Misal dalam memikirkan jalan keluar, tidak hanya dilakukan oleh laki-laki, melainkan harus beriringan.
"Sudah menjadi keyakinan kita bahwa laki-laki dan perempuan mesti berjalan bersama-sama dalam kehidupan umum," ungkap istri perintis pergerakan kebangsaan Boedi Oetomo tersebut. “Namun dengan begitu, tidak lantas harus membikin perempuan menjadi laki-laki,” lanjutnya.
Untuk menyiapkan perhelatan besar ini, Ny Siti Aminah menggandeng Nyi Hadjar Dewantara, dan Nona Sujatien Kartowijoyono untuk mengumpulkan organisasi wanita yang dalam satu forum. Hingga akhirnya terselenggara Kongres Perempuan Indonesia pertama. Nona Sujatien ditunjuk sebagai ketua pelaksana kongres. Mereka adalah perempuan-perempuan yang melampaui zamannya. Selama tiga hari kongres tersebut menghasilkan tiga mosi kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Mosi tersebut adalah:
1. Penambahan sekolah-sekolah untuk anak-anak perempuan;
2. Supaya pada pernikahan pemberian keterangan tentang taklik (janji dan syarat-syarat perceraian) diwajibkan;
3. Diadakan peraturan sokongan untuk janda-janda dan anak-anak piatu pegawai negeri.
Di samping itu, Kongres menugaskan PPI untuk melaksanakan beberapa program seperti:
- Memberi penerangan dan perantaraan kepada perkumpulan yang menjadi anggotanya;
- Membantu dana belajar (studie fonds) pada anak perempuan yang pandai;
- Mengadakan kursus kesehatan;
- Menentang perkawinan anak-anak;
- Memajukan kepanduan bagi anak-anak perempuan.
Bisa dibilang Kongres Perempuan Indonesia pertama ini merupakan landasan perjuangan kebangsaan terpenting setelah Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 yang melahirkan komitmen nasional Sumpah Pemuda. Selang berlanjut kemudian, PPI sendiri dalam kongresnya pada 28-31 Desember 1929 di Jakarta, mengubah nama PPI menjadi PPII (Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia). PPII memiliki asas kebangsaan, persamaan, jiwa sosial, dan persamaan hak di antara laki-laki dan perempuan.
Lantas kemudian pada 1930, kaum perempuan Indonesia bergerak lebih jauh dengan menyatakan diri secara terbuka sebagai bagian perjuangan bangsa dan kemerdekaan nasional. Pada Januari 1931, PPII mengikuti Kongres Perempuan se-Asia di Lahore (sekarang Pakistan) dengan mengirim Nona Sunaryati Sukemi dan Ny Rukmini Santoso (saudara RA Kartini). Ini berarti, untuk yang pertama kalinya pergerakan wanita Indonesia dapat berhubungan dengan pergerakan wanita internasional.
Adapun PPII menggelar Kongres Perempuan Indonesia II di Jakarta pada 20 sampai 24 Juli 1935, atas inisiatif PPII. Kongres ini dipimpin oleh Ny Sri Mangunsarkoro dengan agenda pembicaraan soal perburuhan perempuan, pemberantasan buta huruf, dan perkawinan. Tiga tahun kemudian, yaitu pada 23–28 Juli 1938, berlangsung Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung dengan pimpinan Ny Emma Puradireja. Kongres membicarakan tentang undang-undang perkawinan modern, soal politik kaitannya hak pilih dan dipilih bagi kaum wanita untuk posisi Badan Perwakilan (volksraad).
Dalam Kongres Perempuan Ketiga itulah diputuskan 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu. Penetapan Hari Ibu 22 Desember menjadi Hari Besar Nasional dikukuhkan Presiden RI Soekarno melalui Ketetapan Presiden Soekarno nomor 316/1959, tanggal 16 Desember 1959. Dengan demikian, Hari Ibu 22 Desember jelas berbeda dengan Mother's Day yang diperingati di Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya. Setiap minggu kedua bulan Mei, Mother's Day dirayakan untuk mengingatkan anak-anak terhadap kasih sayang ibu yang selama ini mengurus mereka sejak kandungan dan rumah tangga.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Editor: Eri Sutrisno/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini