Indonesia berkomitmen penuh untuk mencapai hasil-hasil penting di sektor energi, mengingat pentingnya masa depan energi bersih.
Ketahanan energi dan stabilitas pendanaan menjadi dua isu penting bagi negara dunia, termasuk kawasan ASEAN. Termasuk, di tengah tuntutan tetap terjadinya pertumbuhan ekonomi kawasan. Tak heran jika isu itu banyak mengemuka dari Keketuaan ASEAN 2023 di bawah Indonesia.
Mungkin, laporan International Renewable Energy Agency (IRENA) bisa jadi rujukan. Lembaga energi terbarukan dunia itu pernah merilis berkaitan dengan transisi energi di ASEAN. Kawasan itu, sebut IRENA, membutuhkan pembiayaan mencapai USD29,4 triliun pada 2050.
Adanya kebutuhan dana sebesar itu tentu berdasar pada beberapa pendekatan. Yakni, bila suhu di kawasan itu meningkat sebesar 1,5 derajat celcius. Bila itu terjadi, maka dibutuhkan energi yang 100 persen berasal dari energi terbarukan.
Laporan itu juga memaparkan soal investasi yang dibutuhkan, yakni untuk kepentingan ketenagalistrikan melalui pengembangan solar PV, pembangkit listrik tenaga air, dan energi terbarukan lainnya. Kemudian untuk jaringan dan fleksibilitas melalui transmisi nasional dan internasional, distribusi, dan penyimpanan.
Termasuk juga, pembiayaan untuk pasokan biofuel serta kendaraan dan pengisian baterai kendaraan listrik. Nah, dari sekian parameter di atas, pemangku kepentingan harus memperhatikan pengembangan energi terbarukan dengan perspektif pembiayaan yang lebih luas, meliputi biaya bahan bakar, operasional, dan pemeliharaan yang dibutuhkan.
Artinya, negara-negara di kawasan itu harus memiliki strategi untuk memperoleh pendanaan dengan cara yang inovatif. Inilah yang mungkin menjadi prinsip penting agenda Keketuaan ASEAN Indonesia 2023 dengan tema “Epicentrum of growth”.
Demi mempercepat dan memperkuat transisi energi di kawasan ASEAN dibutuhkan pendanaan inovatif. Masalah itu juga yang berkembang di seminar ASEAN Chairmanship 2023 berjudul "Sustainable Energy Financing and Mobilization of Energy Investment in ASEAN" di Jakarta, belum lama ini
Berkaitan dengan permasalahan itu, Plt. Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengemukakan bahwa Indonesia berkomitmen penuh untuk mencapai hasil-hasil penting di sektor energi, mengingat pentingnya masa depan energi bersih.
Pemerintah Indonesia, menurut Dadan, secara aktif bekerja untuk mencapai tujuan energi bersih, termasuk mengembangkan konsep yang jelas untuk Energy Transitions Sustainable Finance, membangun peta jalan energi terbarukan jangka panjang, menjembatani kesenjangan antara keputusan di tingkat kebijakan dan praktik investasi yang sebenarnya, serta menciptakan jalur yang jelas untuk interkonektivitas listrik regional.
"Transisi energi sangat spesifik untuk masing-masing negara. Maka dari itu, berbagai sumber energi, teknologi, dan pembiayaan harus dipertimbangkan untuk memastikan transisi energi yang adil, inklusif, terjangkau, dan aman, sesuai dengan keadaan masing-masing negara," ujar Dadan, seperti dikutip dari laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Selasa (27/6/2023).
Dadan menambahkan, untuk memenuhi kebutuhan pendanaan sebesar ini bisa digunakan untuk kepentingan peningkatan investasi energi bersih dan aliran keuangan melalui penguatan alur proyek, peningkatan kerangka kebijakan dan peraturan, termasuk mekanisme pengurangan risiko. “Artinya, semua itu harus disiapkan sehingga proyeknya menjadi bankable yang berkualitas tinggi, serta memangkas proses persetujuan," tukas Dadan.
Plt. Sekjen Kementerian ESDM itu menambahkan, penguatan analisis pembiayaan dan investasi energi bersih dari semua sumber pembiayaan publik dan swasta dibutuhkan untuk memenuhi akses energi dan tujuan transisi energi, serta mengidentifikasi cara-cara pembayaran potensial yang akan menurunkan biaya adopsi teknologi.
"Kita dapat mengembangkan solusi pembiayaan skala besar yang berkelanjutan dan inklusif dapat dikembangkan melalui dialog dan aksi lebih lanjut antara investor institusional, multilateral development banks, institusi pembiayaan lain, industri, dan pembuat kebijakan untuk meningkatkan kolaborasi, mengidentifikasi opsi pembiayaan yang inovatif, dan meningkatkan pendekatan yang cocok untuk pembiayaan energi hijau dan transisi energi," ujarnya.
Dadan juga menyambut baik berbagai bentuk inisiatif kerja sama dan kemitraan baru, dalam mendukung upaya Pemerintah Indonesia untuk mempercepat transisi energi, termasuk antara negara maju dan negara berkembang. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan transisi energi yang adil dan terjangkau bagi seluruh masyarakat.
"Pada KTT G20 tahun lalu di Bali, Jepang telah meluncurkan inisiatif AZEC [Asia Zero Emission Community]. AZEC diharapkan dapat menjadi kekuatan pendorong bagi kemitraan yang lebih luas di antara negara-negara ASEAN untuk menerapkan transisi energi yang bersih, berkelanjutan, adil, terjangkau, dan inklusif menuju karbon netral,” tambahnya.
Selain itu, Dadan menilai, ASEAN juga dapat mengambil tindakan melalui platform AZEC untuk pengembangan infrastruktur energi terbarukan secara besar-besaran, penelitian dan pengembangan, serta mengembangkan teknologi yang terjangkau dan industri pendukung yang kuat.
Gandeng ASEAN dan Australia
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, momentum ASEAN ini harus dimanfaatkan untuk ekonomi yang transformatif bersama dengan negara-negara ASEAN lainnya. Kolaborasi yang kondusif di kawasan ASEAN sangat diperlukan.
Febrio juga menyebutkan bahwa Indonesia telah memiliki program Energy Transition Mechanism (ETM), kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia, yang akan segera meluncurkan investment plan pada Agustus 2023, serta voluntary carbon market yang rencananya akan diluncurkan sebelum akhir tahun ini.
Strategi-strategi yang telah dibuat oleh Indonesia, lanjutnya, harus dikoneksikan dengan fokus terkait strategi untuk energi di kawasan ASEAN dan Australia melalui blended financing. Sebagai informasi, negara-negara ASEAN diperkirakan membutuhkan dana hingga USD987 miliar untuk mencapai target jangka pendek transisi energi di 2030 guna mencapai skenario net zero emission di 2050.
Berkaitan dengan itu, Institute for Essential Services Reform (IESR) pernah menghitung bahwa 40 persen dari kebutuhan dana tersebut diperlukan untuk untuk pembangkit listrik, terutama peningkatan penetrasi energi terbarukan. Sayangnya, pertumbuhan EBT di kawasan ini dianggap masih belum konsisten.
Dalam konteks itu, ASEAN perlu mengkonsolidasikan berbagai kebijakan untuk mendorong percepatan transisi energi. Ini misalnya dengan mendorong pasar untuk pembiayaan berkelanjutan regional dengan taksonomi hijau. Berdasarkan laporan International Renewable Energy Agency (IRENA), Asia Tenggara memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar.
Pada 2050, lembaga internasional itu memprediksi, sebanyak dua per tiga kebutuhan energi kawasan dapat dipenuhi oleh EBT. Namun, persoalannya harus diakui pengembangan energi terbarukan di Asia Tenggara masih terhambat oleh kesenjangan teknologi. Selain itu, pasar EBT juga masih belum siap dan masih terdapat kekurangan investasi.
Hanya saja, terlepas dari semua itu, Keketuaan Indonesia di ASEAN 2023 merupakan peluang bagi pemerintah untuk mendorong investasi EBT di kawasan. Pasalnya, ASEAN terbukti merupakan kawasan yang stabil dan tangguh yang dapat menunjukkan kemajuan dalam integrasi keuangan.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari