Indonesia.go.id - Kolaborasi Keuangan dan Pertanian untuk Ketahanan Pangan Kawasan

Kolaborasi Keuangan dan Pertanian untuk Ketahanan Pangan Kawasan

  • Administrator
  • Minggu, 16 Juli 2023 | 15:01 WIB
ASEAN
  Sejumlah petani membawa padi beras merah saat panen raya di persawahan Jatiluwih, Tabanan, Bali, Jumat (16/6/2023). Dibandingkan dengan negara-negara tetangga, ketahanan pangan Indonesia justru tergolong cukup kuat. ANTARA FOTO/ Nyoman Hendra Wibowo
Agenda kerja sama kawasan untuk ketahanan pangan menjadi penting mengingat mayoritas negara-negara anggota ASEAN memiliki lahan pertanian yang cukup luas dan menjadi salah satu sumber pangan dunia.

Merujuk pada laporan Food and Agriculture Organization (FAO) yang diterbitkan pada 2022 berjudul "The Asia Pacific Regional Overview of Food Security and Nutrition", jumlah orang yang menghadapi kelaparan di kawasan Asia Pasifik meningkat dari 370 juta menjadi 396 juta pada 2021. Di kawasan ini, ada sekitar 1,1 miliar orang tidak memiliki akses pangan yang memadai pada tahun yang sama.

Wilayah Asia Pasifik juga dinilai merupakan rumah bagi 52 persen penduduk dunia yang kekurangan gizi. Di bawah Keketuaan ASEAN tahun 2023, Indonesia menginisiasi kerja sama antara sektor keuangan dan sektor pertanian sebagai bagian dari solusi dan upaya realisasi komitmen dunia untuk mewujudkan dunia yang bebas dari kelaparan pada 2030 (sustainable development goals/SDGs 2).

Oleh karena itu, Indonesia menilai pentingnya kolaborasi lintas sektor keuangan dan pertanian untuk mengatasi isu ketahanan pangan dan dampaknya bagi dunia juga telah dibahas oleh berbagai organisasi internasional. Sebagai bagian dari inisiasi Indonesia dalam kerja sama Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) melalui jalur pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN (AFMGM), Kementerian Keuangan menyelenggarakan forum bersama jalur keuangan dan pertanian yang mendiskusikan agenda ketahanan pangan di kawasan Asia Tenggara di Yogyakarta pada Kamis (13/7/2023).

Forum yang bertujuan untuk membentuk kerangka kerja sama antarsektor di ASEAN itu dibuka oleh Kepala Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu, Yogi Rahmayanti. “Bersamaan dengan pertumbuhan penduduk, perubahan iklim, dan berbagai tantangan sosial ekonomi, ketahanan pangan menjadi semakin penting untuk dibahas. Forum ini menjadi sarana kolaborasi dua sektor yakni keuangan dan pertanian. Sektor keuangan menyediakan sumber daya, investasi dan keahlian yang diperlukan untuk mendukung pembangunan pertanian. Sedangkan sektor pertanian memastikan produksi, distribusi, dan keterjangkauan makanan bergizi untuk semua,” jelas Yogi Rahmayati.

Bertajuk "ASEAN Finance and Agriculture Joint Forum on Food Security", diskusi dalam forum itu dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama “Understanding ASEAN Cooperation and the ASEAN Member States Policies on Food Security” yang membahas secara mendalam proses kerja sama dan progres pembahasan isu ketahanan pangan serta pengembangannya di bawah sektor pertanian di kawasan. Sesi itu diikuti pula oleh perwakilan Bank Pembangunan Asia (ADB) untuk menyampaikan pandangan mereka tentang beragam opsi kebijakan fiskal terkait ketahanan pangan.

Sedangkan sesi kedua menyoroti potensi kontribusi sektor keuangan pada isu ketahanan pangan di ASEAN, yang diikuti oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), Bank Dunia, dan Food and Agriculture Organization. Di sesi itu dibahas ihwal proposal yang diajukan oleh Indonesia tentang kontribusi sektor keuangan terhadap agenda ketahanan pangan di ASEAN, termasuk pengaturan kelembagaan, kerja sama dengan mitra pembangunan, dan rencana kerja.

Agenda kerja sama kawasan untuk ketahanan pangan ini menjadi penting mengingat mayoritas negara-negara anggota ASEAN memiliki lahan pertanian yang cukup luas dan menjadi salah satu sumber pangan dunia. Hanya saja, Singapura sebagai 'Negara Kota' justru menempati urutan teratas dalam hal ketahanan pangan di kawasan Asia Tenggara. Hal itu berdasar pada Indeks ketahanan pangan Global Food Security Index (GFSI) 2022, yang diukur dengan menggunakan empat indikator, yakni keterjangkauan harga pangan (affordability), ketersediaan pasokan (availability), kualitas nutrisi (quality and safety), serta keberlanjutan dan adaptasi (sustainability and adaptation).

Menurut data GFSI, ketahanan pangan Indonesia pada 2021 memang masih berada di bawah Singapura. GFSI mencatat skor indeks ketahanan pangan Indonesia pada 2021 berada di level 59,2, sedangkan Singapura berada di level 77,4 dan menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara.

Pada 2022, indeks ketahanan pangan Indonesia menguat dan berada di level 60,2 atau meningkat 1,7% dibandingkan tahun 2021. Meski demikian, ketahanan pangan Indonesia pada 2022 masih lebih rendah dibanding rata-rata global yang indeksnya 62,2, serta di bawah rata-rata Asia Pasifik yang indeksnya 63,4. Indonesia berada di peringkat ke-63 dari 113 negara.

Apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangga, ketahanan pangan Indonesia justru tergolong cukup kuat. Di kawasan ASEAN, ketahanan pangan Indonesia masuk peringkat ke-4. Negara ASEAN yang dinilai memiliki ketahanan pangan terbaik adalah Singapura, diikuti Malaysia, dan Vietnam.

GFSI menilai, kebijakan negara dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim, pemeliharaan lingkungan, dan manajemen kebencanaan, berdampak pada keamanan pasokan pangan. Hal ini dialami hampir semua negara ASEAN, yang berupaya membangun sistem pangan yang kuat, sehingga mampu bertahan di tengah naiknya permintaan pangan, keterbatasan lahan, dan iklim yang kian memanas.

Pemerintah Indonesia sendiri telah memiliki upaya untuk mengantisipasi terjadinya kerentanan dan kerawanan pangan, yakni dengan menyusun Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas/FSVA) di bawah naungan Badan Pangan Nasional (Bapanas) Kementerian Pertanian.

 

Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari