Indonesia.go.id - Geraknya Mendatar tapi Potensinya Masih Besar

Geraknya Mendatar tapi Potensinya Masih Besar

  • Administrator
  • Kamis, 14 Mei 2020 | 19:05 WIB
UU MINERBA
  Ketua DPR Puan Maharani (kanan) berbincang dengan Wakil ketua DPR Aziz Syamsuddin (kiri) saat akan memimpin Rapat Paripurna masa persidangan III 2019-2020, di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (12/5/2020).Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

RUU Minerba telah disinkronkan dengan RUU Cipta Kerja sesuai dengan keinginan pemerintah.

Di tengah situasi lengang di seputar kawasan Senayan akibat pandemi Covid-19, DPR RI mengesahkan revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 4 tahun 2009 tentang  Mineral dan Batu Bara (Minerba)  menjadi UU. Peristiwa penting itu terjadi dalam Paripurna DPR RI, Selasa (12/5/2020).

Di depan sidang, Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto menyatakan, UU Nomor 4/2009 itu perlu direvisi karena dinilai belum mampu menjawab kebutuhan hukum dalam penyelenggaraan minerba. Hal lain yang digarisbawahinya, perlunya sinkronisasi dengan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. “RUU Minerba ini telah disinkronkan dengan RUU Cipta Kerja sesuai dengan keinginan pemerintah,” ujarnya.

Setelah Ketua Komisi VII menyampaikan pidatonya, Ketua DPR RI Puan Maharani pun mengambil alih jalannya sidang itu untuk memimpin pengesahan pembentukan UU. Namun tak semua dari  sembilan kelompok fraksi (poksi) di Komisi VII DPR RI mendukung  perubahan tersebut. Poksi Demokrat menolaknya.

"Apakah Rancangan Undang-Undang atas perubahan UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dapat disetujui dan disahkan menjadi undang-undang?" tanya Puan Maharani kepada anggota dewan dalam Paripurna DPR tersebut. Sebagian besar setuju mengesahkan RUU Minerba menjadi UU Minerba.

Pada kesempatan itu Puan pun menyampaikan hormat dan terima kasihnya kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI Arifin Tasrif atas peran dan kerja samanya selama pembahasan UU tersebut. Untuk diketahui, pembahasan revisi atas UU Minerba itu telah dilakukan sejak 2016. Pada 2018, pemerintah mulai menyiapkan daftar inventarisasi masalah (DIM).

Revisi atas UU Minerba itu merupakan hasil inisiatif  DPR periode 2014 hingga 2019 dan dilanjutkan DPR periode 2019-2024. Persiapan yang panjang itu membuat pembahasannya terbilang cepat. Pada 13 Februari 2020, pemerintah dan DPR membentuk tim panitia kerja (Panja) untuk membahas 938 DIM. Dari jumlah itu, sebanyak 235 DIM disepakati dengan rumusan tetap sehingga langsung disetujui, dan ada 703 DIM yang kemudian dibahas Tim Panja DPR dan TIM Panja  Pemerintah mulai 13 Februari 2019 hingga 6 Maret 2020.

Dari pembahasan itu, muncul tambahan 2 bab dan 51 pasal . Selain itu, 83 pasal diubah dan 9 pasal lainnya dihapus. Perubahan pasal secara keseluruhan berjumlah 143 pasal, dari 217 pasal. Total naskah UU Minerba itu 92 halaman.

Sebelumnya, Senin (12/5/2020), pemerintah yang diwakili Menteri ESDM Arifin Tasrif bersama anggota Komisi VII DPR telah menyepakati draf RUU Minerba untuk dibawa ke paripurna, Selasa (12/5/2020). Selain Menteri ESDM, hadir pula perwakilan dari Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Hukum dan HAM.

"RUU Minerba itu merupakan bagian dari upaya perbaikan tata kelola mineral dan batu bara ke depan, dan sebagai upaya menjalankan amanat Pasal 33 UUD 1945 dalam rangka memaksimalkan pemanfaatan mineral dan batu bara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," kata Menteri ESDM  dalam siaran persnya.

 

Penggerak Ekonomi

Tak dipungkiri, bisnis minerba merupakan bisnis yang bisa menghasilkan cuan bagi pelakunya dan jadi andalan penggerak ekonomi negara ini. Wajar saja, di tengah pandemi revisi UU No. 4/2004 didorong untuk disahkan menjadi UU.

Meski sedang melambat, investasi sektor minerba bisa dikatakan tetap menjanjikan, meskipun realisasi selama periode 2015-2019 cenderung mendatar. Sebagai gambaran, realisasi investasi 2015 masih bisa tercapai USD5,17 miliar atau sekitar Rp77 triliun.

Pada 2016, realisasi investasi di minerba mencapai USD5,68 miliar, 2017 (USD5,05 miliar), 2018 (USD7,5 miliar), 2019 (USD6,52 miliar). Di tengah bisnis tambang yang meredup dan masih dihinggapi perang dagang Tiongkok vs AS kemudian wabah pandemi, realisasi investasi di sektor itu hingga Maret masih mencapai USD920 juta. Lajunya relatif mendatar, tapi potensinya tetap besar.

Begitu juga dari sisi penerimaan negara bukan pajak (PNBP), sektor minerba jadi andalan penerimaan negara. Tahun ini ditargetkan mencapai Rp44,32 triliun. Naik Rp1 triliun lebih dibandingkan dengan realisasi 2019. Dari gambaran di atas, bisnis tambang masih sangat menjanjikan hingga masa mendatang.

Tak mengherankan bila revisi UU Minerba oleh sejumlah kalangan dinilai nuansanya berpihak pada pengusaha. Namun, pemerintah mengatakan revisi itu untuk memberikan kepastian berusaha dan berinvestasi.

Di tengah pembahasan revisi UU, memang ada sejumlah pengusaha tambang, terutama dari tujuh pemegang lisensi perjanjian karya pertambangan batu bara (PKP2B) generasi pertama yang masa kontraknya akan habis. Keruan saja, revisi UU dianggap bermuatan kepentingan pelaku usaha PKP2B tersebut.

Terlepas dari munculnya isu itu, harus diakui ada kemajuan yang cukup signifikan dalam revisi UU Minerba dibandingkan dengan UU No. 4/2009. Apa saja itu?

Beberapa di antaranya adalah tetap ditekankannya soal pentingnya pengolahan dan pemurnian. Program penghiliran ini mutlak dilakukan bersamaan dengan pemberian izin.

Soal izin juga sudah berubah. Di UU Minerba yang baru, rezim izin itu berada di pemerintah pusat, tidak lagi berada di pemda. Izin itu bisa berupa izin usaha pertambangan (IUP), atau IUPK dan sebagainya, namun pemerintah pusat dapat mendelegasikan kewenangan pemberian perizinan berusaha kepada gubernur.

Di UU Minerba itu juga mengatur soal jangka waktu perizinan untuk IUP atau izin usaha pertambangan khusus (IUPK) yang terintegrasi.

Perizinan yang terintegrasi dengan fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian logam atau kegiatan pengembangan dan/atau pemanfaatan batu bara  diberikan untuk jangka waktu 30 tahun dan diberikan perpanjangan selama 10 tahun setiap kali perpanjangan setelah memenuhi persyaratan.

Selain masalah di atas, poin divestasi 51% menjadi isu  yang krusial dari revisi UU Minerba tersebut, dan sempat memantik  perdebatan yang alot antara pemerintah dan anggota DPR. Pemerintah meminta agar frasa secara langsung dalam pasal 112 dihapus dan digantikan secara berjenjang. Walhasil, keduanya mencapai kesepakatan soal kewajiban divestasi 51% tetap berlaku namun menerapannya berjenjang.

Berkaitan dengan kesepakatan itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengaku lega bahwa UU Minerba telah disahkan. Menurutnya, dengan adanya payung hukum baru ini sedikit demi sedikit mengurai benang kusut permasalahan pengelolaan pertambangan. “Dengan demikian, sejumlah pembaruan ketentuan di UU Minerba itu diharapkan mendorong bertambahnya investasi di sektor tambang,” ujar Arif Tasrif.

Ketentuan dalam UU baru itu akan membuat sejumlah persoalan menjadi lebih terang. Di antaranya adalah isu peningkatan nilai tambah, eksplorasi, reklamasi, dan pascatambang hingga pada ketentuan divestasi minimal 51%. Kalkukasinya menjadi lebih jelas.

 

 

Penulis: Firman Hidranto
Editor: Putut Tri Husodo
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini