Indonesia.go.id - Samudra Raksa, dari Relief Turun ke Laut

Samudra Raksa, dari Relief Turun ke Laut

  • Administrator
  • Senin, 23 November 2020 | 00:02 WIB
BOROBUDUR
  Wisatatawan di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Foto: Antara Foto

Dalam seluruh rangkaian cerita yang terpahat di dinding Candi Borobudur, tercatat ada sepuluh relief yang memuat gambar perahu kuno, dengan model yang berbeda-beda.

Menyusuri relief Candi Borobudur di Jawa Tengah, akan banyak ditemukan adegan kehidupan sehari-hari Jawa Kuno pada abad ke-8, mulai dari adegan kehidupan bangsawan di keraton hingga rakyat kebanyakan di pedesaan. Di sana ditampilkan pula gambar, antara lain, candi, pasar, arsitektur, satwa dan tumbuhan, perhiasan, pakaian, termasuk kendaraan seperti joli (tandu), kereta kuda, gajah tunggang, dan kapal.

Dalam seluruh rangkaian cerita yang terpahat di dinding candi raksasa itu, tercatat ada sepuluh relief yang memuat gambar perahu kuno, dengan model yang berbeda-beda. Pada 1982, seorang mantan anggota Angkatan Laut Britania Raya berkebangsaan Britania bernama Philip Beale mengunjungi Borobudur. Bermula dari niat untuk mempelajari perahu tradisional dan tradisi bahari Nusantara, Beale kemudian terpikat dengan sepuluh relief di dinding Borobudur yang menggambarkan perahu kuno. Dia pun lantas berencana untuk membangun kembali kapal kuno ini dan melakukan napak tilas perjalanan perdagangan bahari purba.

Hanya berbekal data terbatas, yakni lima gambar relief, Philip Beale berencana untuk menggelar ekspedisi napak tilas pelayaran purba dari Jakarta, Indonesia menuju Madagaskar. Bahkan jika dimungkinkan, ekspedisi itu akan diteruskan hingga melampaui Tanjung Harapan di ujung selatan Afrika hingga menyusuri pantai barat Afrika. Dari sebuah penelitian yang amat cermat, perancangan gambar kapal pun dilakukan oleh kelompok perajin galangan kapal tradisional Indonesia yang berpengalaman. Tim tersebut dibentuk dan dilatih untuk membangun kapal dengan menggunakan teknologi dan teknik perkapalan tradisional.

Di galangan kapal tradisional yang terletak di Kepulauan Kangean, yang berjarak sekitar 60 mil (96,5 km) sebelah utara Bali, Nick Burningham, seorang pakar perahu tradisional Indonesia dan arkeologi kelautan mengawasi dan menjadi konsultan pembuatan kapal tersebut. Kapal itu sendiri kemudian dibuat oleh Assad Abdullah al-Madani, seorang pembuat perahu tradisional Indonesia yang berpengalaman. Bersama para rekannya, Assad yang hanya berbekal beberapa gambar dan model skala kecil kapal Borobudur dari kayu balsa yang dibuat Nick Burningham, berhasil menciptakan kembali kapal kuno ini.

Wujud nyata kapal dari relief Borobudur itu diresmikan di Pelabuhan Benoa, Bali pada 15 Juli 2003, oleh Menteri Pariwisata dan Kebudayaan Republik Indonesia era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, I Gede Ardika, bersama dengan Philippe Delanghe, spesialis budaya kantor UNESCO perwakilan Jakarta.

 

Misi Sempurna

Tugas kapal tersebut sangat berat, karena didaulat untuk melakukan perjalanan napak tilas menyusuri Jalur Kayumanis, persis seperti yang dilakukan para pelaut Dinasti Syailendra, sekitar abad ke-7 hingga abad ke-13 silam. Saat Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri melepas keberangkatan kapal kayu ini di Pantai Marina Ancol, Jakarta pada 15 Agustus 2003, sebagian publik dan kalangan pakar kemaritiman bertanya-tanya, mampukah kapal ini mengarungi Samudra Hindia, memutari Tanjung Harapan, lantas menyusuri Samudra Atlantik untuk menuju sebuah pelabuhan di kota Accra, Ghana, Afrika?

Ketika itu, sama sekali tidak terbersit keraguan di wajah presiden perempuan pertama RI tersebut. Optimistis juga membuncah di wajah Kapten Laut I Gusti Putu Ngurah Sedana, seorang perwira Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil) TNI-Angkatan Laut, yang memimpin ekspedisi “Jalur Kayu Manis” itu bersama ke-12 awak kapalnya. Insting Megawati sebagai pemimpin negeri kala itu terbukti benar. Misi kapal yang dinamainya Samudra Raksa--memiliki arti ‘pembela samudra’-- dapat dengan sempurna dilaksanakan. Tepat pukul 09.30 waktu setempat atau pukul 16.30 WIB, Senin (23/2/2004), kapal Borobudur Samudra Raksa membuang sauh di perairan lepas pantai Pelabuhan Tema, Accra, ibu kota Ghana, yang terletak di pesisir barat daya Benua Afrika.

Itu menjadi akhir pelayaran panjang dan bersejarah dari sebuah kapal yang sebelumnya sempat diragukan kemampuannya untuk menyelesaikan ekspedisi penuh bahaya itu. Hingga tiba di pelabuhan di Accra itu, Samudra Raksa harus mengarungi 11.000 mil laut (20.372 kilometer), melintasi Samudra Hindia dan Atlantik. Momentum itu bertepatan dengan enam bulan delapan hari sejak Presiden Megawati Soekarnoputri melepas keberangkatan Samudra Raksa di Pantai Marina. Fantastis, epik, dan membanggakan adalah ungkapan yang paling banyak terlontar, merespons ekspedisi rute perdagangan kayu manis (The Cinnamon Route), yang serupa dengan aksi nenek moyang bangsa Indonesia 12 abad silam.

Kru Borobudur-Samudra Raksa yang menjalani ekspedisi The Cinnamon Route melalui situs resmi mereka, www.borobudurshipexpedition.com, mengakui bahwa sesungguhnya perjalanan kapal itu mengalami keterlambatan selama 1,5 bulan. Disampaikan, dalam jadwal semula, kapal itu bakal sampai di Accra, Ghana, dalam empat bulan perjalanan, melalui rute Jakarta- Seychelles-Madagaskar-Cape Town-Accra. Keterlambatan tersebut terjadi lantaran keganasan alam, terutama saat menempuh tahapan terberat Madagaskar-Cape Town yang harus memutari Tanjung Harapan. Di masa-masa itu, kendati tidak direncanakan, Kapten (L) I Gusti Putu Ngurah Sedana, selaku kapten kapal, terpaksa memerintahkan kru kapal untuk beberapa kali menyandarkan kapal di sejumlah pelabuhan. Di antaranya, di Mossel Bay dan Port Elizabeth, Afrika Selatan, lantaran ada gangguan badai dan angin mati.

Hingga akhir perjalanan, pemimpin ekspedisi yang mantan anggota Royal Navy (Angkatan Laut Kerajaan Inggris), Philip Beale, mengikutsertakan 27 orang dari berbagai bangsa. Sebagian di antaranya, diganti secara bergiliran di Seychelles dan Durban, Afrika Selatan. Sepuluh di antaranya adalah peserta dari Indonesia, termasuk kapten kapal dan tiga pembuat perahu dari Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, yang turut membangun kapal dari awal, yaitu Julhan, Muhammad Abdu, dan Sudirman.

Sejak kedatangan kapal Borobudur di pelabuhan Kota Accra pada pagi hari, hingga hampir tengah malam, sekitar 200 orang yang hadir dalam acara syukuran itu sama sekali tidak ada yang beranjak pulang. Di antara mereka adalah Menteri Pariwisata dan Kebudayaan I Gede Ardika, penggagas Ekspedisi Jalur Kayu Manis Philip Beale, kru kapal, pejabat dan staf duta besar RI di Ghana, serta komunitas masyarakat Internasional.

Campur aduk ekspresi terpancar dari wajah para peserta acara tersebut. Sebagian bahkan masih menampakkan wajah tak percaya manakala Borobudur-Samudra Raksa akhirnya mampu lolos dari terjangan ganas dua samudra, yakni Samudra Hindia dan Samudra Atlantik, dan menuntaskan misi dengan sempurna. Bagi mereka, keberhasilan ekspedisi itu bagaikan mimpi yang mewujud.

Rasa takjub dan tidak percaya juga sempat menghinggapi sebagian besar anak bangsa yang mengetahui adanya ekspedisi Samudra Raksa membelah lautan. Apalagi, pemberitaan seputar ekspedisi, baik sejak awal perencanaan, pembangunan kapal, hingga perjalanan kapal menempuh misi yang berbahaya, tergolong minim. Respons ketidakpercayaan juga sempat datang dari dunia usaha. Sebagian besar dari mereka menampik pelibatan sebagai sponsor perjalanan lintas samudra itu. Dari 30 sponsor yang disebut dalam website resmi Ekspedisi Kapal Borobudur, hanya dua sponsor berasal dari Indonesia, yaitu Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI dan Hotel Park Lane, Jakarta.

Perjalan maritim itu memang bukanlah sesuatu yang mudah bagi Samudra Raksa. Lantaran ukuran kapal itu tergolong kecil. Dengan panjang hanya 18,29 meter dan lebar 4,25 meter, sejatinya kapal itu bukanlah tandingan Samudra Hindia maupun Samudra Atlantik yang dikenal ganas. Kisah perjalanan perahu Borobudur-Samudra Raksa yang sangat epik itu jadi sangat menarik perhatian dunia. Untuk waktu yang cukup lama, ekspedisi itu sekaligus membuat mata dunia harus kembali tertuju pada sebuah situs candi raksasa di Desa Kedu, Magelang, Jawa Tengah yang bernama Borobudur. Sebelumnya, Candi Borobudur juga pernah menjadi magnet kebudayaan yang sangat kuat ketika Unesco menetapkan Candi Borobudur sebagai sebuah Warisan Budaya Dunia setelah selesainya proyek restorasi kompleks candi pada 1991.

Berpijak pada keyakinan besar dari para kolaborator, terutama dukungan pemerintah RI di bawah kepemimpinan Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri, dalam menciptakan manuver cerdas menyulap dengan sebuah heritage menjadi magnet superkuat, kemudian memang terbukti langkah itu mampu menyedot perhatian turisme internasional. Gelaran ekspedisi “Jalur Kayu Manis” yang merupakan hasil kolaborasi sejumlah pihak, akhirnya menimbulkan dampak yang sungguh luar biasa.

Bagi seluruh warga bangsa, ekspedisi itu tak hanya menjadi momen indah, tapi juga ajang meraih pengalaman dan penguatan jatidiri sebagai sebuah bangsa, melalui pengenalan kembali sejarah dan kejayaan di masa lalu. Ekspedisi Kayu Manis yang juga melibatkan komunitas masyarakat internasional, memberikan pula penguatan bagi kelangsungan kehidupan dunia kepariwisataan di tanah air. Kisah kapal bercadik ganda Borobudur-Samudra Raksa pun sukses menjadi buah bibir di seantero dunia.

 

 

Penulis: Ratna Nuraini
Editor: Eri Sutrisno/Elvira Inda Sari