Harimau Sumatra di ambang kepunahan! Populasi terancam akibat perburuan, habitat terdegradasi, dan konflik dengan manusia. Upaya konservasi dan kolaborasi semua pihak menjadi kunci kelangsungan hidup sang raja rimba.
Setiap 29 Juli, masyarakat internasional memperingati Hari Harimau Sedunia. Hewan bernama Latin Panthera tigris ini adalah bagian dari keluarga kucing besar yang terbagi ke dalam sembilan subspesies di mana tiga subspesies tercatat pernah ada di Indonesia yaitu harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae), harimau jawa (Panthera tigris sondaica), dan harimau bali (Panthera tigris balica).
Namun, hanya harimau sumatra yang masih bertahan hidup sampai hari ini sedangkan harimau jawa dan harimau bali telah dinyatakan punah karena sudah tidak ditemukan lagi di habitat aslinya. Mengutip data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hingga tahun 2023 populasi hewan berkulit belang tersebut berkisar di angka 603 ekor tersebar pada 23 bentang alam di Pulau Sumatra dengan lingkup mulai dari kecil hingga besar bergantung dari daya dukung lingkungannya.
Sepertiga dari populasinya hidup di Provinsi Riau. Lebih dari 150 ekor di antaranya hidup di kawasan hutan dalam lingkup Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang tersebar dalam empat provinsi meliputi Sumatra Barat (Sumbar), Jambi, Sumatra Selatan (Sumsel), dan Bengkulu. Mirisnya, populasi satwa bertaring ini justru terancam oleh ulah manusia.
Misalnya saja makin meningkatnya perburuan, berkurangnya pakan seperti babi hutan yang juga menjadi buruan warga, serta masifnya pembabatan hutan sebagai habitat harimau. Kawasan hutan produksi dan hutan lindung merupakan habitat paling disukai oleh harimau atau dikenal pula sebagai inyiak balang oleh masyarakat suku Minangkabau di Sumbar.
Sayangnya, habitat tersebut terdegradasi karena banyak diubah menjadi perkebunan sawit dan pengelola acap abai terhadap keberadaan harimau sumatra. Akibatnya, harimau tersingkir dan memilih hidup di luar habitat asli dan menyebabkan timbulnya konflik dengan manusia karena keberadaan harimau kerap bersinggungan dengan kawasan permukiman warga.
Mengutip infografis dari Forum HarimauKita, dijelaskan bahwa dalam tiap bentang alam di Sumatra yang menjadi habitat harimau, maka dibutuhkan minimal 35 individu harimau dengan komposisi lebih banyak betina dibandingkan jantan agar keberadaannya tetap lestari. Jika hal itu tidak terjadi, maka dalam kurun kurang dari 100 tahun, ancaman kepunahan terhadap harimau sumatra bakal terjadi.
Menurut Kepala Bidang Pengelolaan TNKS Wilayah III Bengkulu-Sumatra Selatan M Mahfud, populasi harimau sumatra di dalam kawasan seluas 1.389.509,87 hektare tersebut masih terbilang lumayan bagus. "Sebarannya di Jambi, Sumsel, Bengkulu, dan Sumbar, kalau perkirakan antara 150 hingga 180 ekor," kata dia seperti diwartakan Antara.
Jumlah populasi harimau sumatra tersebut diketahui dari penghitungan menggunakan metode kamera jebak, kemudian juga melalui identifikasi jejak, kotoran dan cakaran. Perhitungan paling akurat berasal dari data kamera jebak (trap camera) karena bisa langsung mengindentifikasi jenis kelamin dan menentukan nama bagi inyiak balang.
Harimau sumatra paling mudah ditemui dalam kawasan TNKS yang masuk Provinsi Bengkulu seperti di wilayah Kabupaten Lebong seperti di Rimbo Pengadang, Ladang Palembang, Ketenong, Bukit Resam. Sedangkan daerah lainnya di wilayah Kabupaten Mukomuko. "Mereka jarang sekali masuk ke kampung, berarti satwa mangsanya itu masih cukup," lanjutnya.
Itulah sebabnya pihak pengelola TNKS membuat program pemulihan ekosistem, supaya ekosistem dalam kawasan TNKS itu terus berjalan dan pasokan pakan bagi harimau sumatra seperti babi dan rusa tetap tersedia. Setiap bulannya sebuah tim khusus yang dibentuk pengelola TNKS akan berpatroli di dalam kawasan hutan taman nasional guna membersihkan jerat harimau.
Pasalnya, harimau kerap menjadi korban jerat berbahan tali (sling) baja tersebut dan tak jarang berujung dengan kematian. Ada pula apa yang disebut sebagai jerat ratus yang terbuat dari kawat ban truk dengan tali induk sepanjang 10 meter sebagai pagar. Umumnya, jerat ratus ini dibuat sebagai perintang oleh warga di perkampungan agar harimau tak masuk ke kampung mereka.
Bahkan, di Nagari Cubadak, Kabupaten Pasaman (Sumbar) terdapat 5--10 perajin jerat ratus. Data Forum HarimauKita menyebut, dalam kurun 20 tahun terakhir, ada lebih dari 130 harimau mati akibat terkena jerat kendati jumlah kasus yang sebenarnya mungkin saja lebih besar lantaran tidak terpantau seluruhnya.
Konflik harimau dengan manusia dan kematian akibat terkena jerat menjadi fenomena gunung es bagi konservasi harimau sumatra. Oleh karena itu, pihak KLHK melakukan beragam upaya penyelamatan termasuk translokasi, rehabilitasi, pelepasliaran satwa, dan kebijakan penghentian pemberian izin baru untuk kawasan hutan.
Pemerintah juga telah berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan terkait konservasi satwa dalam kurun 10 tahun terakhir. Hal tersebut dikatakan Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik (KKHSG) KLHK Nunu Anugrah dalam acara diskusi di kanal Indonesia Green TV milik KLHK, Kamis (11/7/2024).
Nunu menyebut, kebijakan penghentian konversi hutan primer dan hutan gambut dilakukan melalui kebijakan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB). "Ini sangat mendukung upaya-upaya konservasi bagaimana tumbuhan satwa liar mempunyai ruang hidup," jelas Nunu.
Tidak hanya itu, dilakukan pula kegiatan pembinaan habitat dan populasi di kawasan konservasi dan wilayah di luarnya. Selain itu, juga dilakukan penanggulangan konflik dan penguatan kebijakan regulasi dan pengembangan best practices bagi upaya konservasi spesies. Diharapkan kebijakan-kebijakan yang mengusung aspek konservasi tadi dapat mendukung upaya tetap terjaganya satwa-satwa endemik Indonesia termasuk inyiak balang dari ancaman kepunahan.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari