Ancol merupakan kawasan yang terletak di bagian Utara, Ibu Kota Negara DKI Jakarta. Dikenal memiliki sejarah yang panjang, kawasan itu disebut-sebut tumbuh sejak abad ke-17, manakala seorang Gubernur Belanda yang bernama Adrian Valckenier membangun tempat peristirahatan yang indah di sana yang dinamai Ancol Vaart.
Kemudian, catatan lain juga menunjukkan bahwa Belanda pernah membangun sebuah benteng di sana. Konon benteng yang dibangun pada 1920 oleh Koninklijk Leger (KL) dengan biaya yang ditanggung oleh Pemerintah Hindia Belanda itulah yang kini dinamai warga sebagai Benteng Ancol. Benteng Ancol yang terletak Jl Pasir Putih II, Ancol, Jakarta Utara, disebutkan situs resmi Pemprov DKI Jakarta, sengaja dibangun untuk melindungi Kota Batavia di bagian pesisir pantainya.
Kemudian pada 1950, saat Armada Cheng Ho berlabuh di Jakarta, dibangunlah sebuah klenteng bernama An Xu Da Bo Gong Miao (sekarang Klenteng Toapekong Ancol/Vihara Ancol). Pada 1958, kawasan berawa seluas 552 hektar yang dikenal juga sebagai Rawa Ancol itu secara berangsur-angsur ditinggalkan penduduknya. Warga kawasan itu pindah ke Weltevreden dan merasa nyaman di tempat baru.
Alhasil, muara Sungai Ciliwung itupun jadi rawa-rawa, penuh lumpur, kotor, tak terawat, dan kumuh. Dan kondisi kawasan itu kian mengenaskan tatkala pada masa pendudukan Jepang tempat itu juga sering dipakai sebagai tempat eksekusi.
Ide untuk memanfaatkan Ancol, mengutip karya ilmiah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta FZ Fadheri, tercetus pada 1960-an. Ketika muncul rencana pembangunan Kota Jakarta. Dalam master plan yang ada, diketahui bahwa semula kawasan Ancol akan dijadikan daerah industri.
Namun Presiden RI Ir Soekarno mengagas ide lain. Peruntukan kawasan Ancol pun diubah sebagai kawasan wisata. Dan demi merealisasikan rencana itu, Presiden Soekarno menerbitkan Keppres bernomor 338 pada 1960, yang memutuskan untuk membentuk sebuah “Panitia Negara dengan nama panitia Perentjana Pembangunan Ancol” yang diperbaharui dengan keputusan Presiden RI Nomor 389 Tahun 1965 tanggal 31 Desember 1965.
Sesuai Keppres 338 /1960 Gubernur kepala Daerah Jakarta Raya yang ditetapkan sebagai penanggung jawab atas kelancaran pelaksana pembangunan Ancol, dalam rangka pelaksana keppres tersebut. Gubernur kepala Daerah Jakarta Raya melalui keputusannya Nomor 11/Seker/Ancol tanggal 30 Maret 1961 membentuk Badan Pelaksana dan Badan Pengontrol Pembangunan proyek Ancol.
Pada 1966, Gubernur Kepala Daerah Jakarta Raya melalui Keputusan Nomor 1b.3/1/26/1966 tertanggal 19 Oktober 1966 menunjuk PT Pembangunan Ibu Kota Jakarta Raya, sebagai Badan Pelaksana Pembangunan Proyek Ancol. Surat Keputusan Gubernur tersebut diperbaharui dengan keputusan Nomor 1b.3/1/59/66 tertanggal 25 November 1966 dan terakhir dengan keputusan Nomor 1b.3/1/5/70 tertanggal 14 Januari 1970. yang menunjuk Pemda DKI Jakarta, dalam hal ini Gubernur Soemarno Sosroatmodjo sebagai pelaksana.
Pada 1966 pula, gubernur pengganti Soemarmo Sosroatmodjo, yaitu Ali Sadikin, yang akrab disapa Bang Ali itu memanggil Ciputra. Momentum itu dipakai Bang Ali untuk berdiskusi dengan pengusaha properti tersebut tentang rencana mewujudkan Ancol sebagai kawasan wisata terpadu.
Bang Ali memang ingin kawasan itu disulap menjadi seperti Ipanema atau Copacabana. Baik Bang Ali ataupun Ciputra menyadari bahwa mewujudkan mimpi itu bukanlah hal yang mudah. Kendati kontur rawa-rawa sudah sempat disulap oleh kontraktor Perancis jadi lahan, konsultan yang dipakai Ali Sadikan tetap tidak merekomendasi pembangunan Ancol menjadi kawasan wisata. Alasannya, tidak feasible atau tidak bisa dilaksanakan.
Namun Ciputra pantang surut. Sebagai pemimpin PT Pembangunan Jaya Tbk (PJAA), pria asal Parigi, Sulsel, memulai langkahnya dengan membentuk otorita dan melengkapi berbagai surat izin dan sertifikat. Langkah berikutnya, dengan surat-surat izin, aset, dan jaminan, Pemerintah Daerah DKI Jakarta mengajukan modal dari bank dan pihak-pihak lain. Lalu, dilakukan rekonstruksi yaitu mengubah kawasan yang semula tidak berharga menjadi kaveling mahal.
Selanjutnya dibuatlah perjanjian antara Ciputra dengan Ali Sadikin. Pada momen inilah, tampak betapa konsep bisnis Ciputra sekaligus mencerminkan kecintaannya terhadap negeri. Dalam perjanjian itu disebutkan, bahwa jika rugi maka lelaki asal Parigi, Sulawesi Tengah itu akan menanggung sendiri kerugiannya. Namun jika kemudian keuntungan datang menghampiri, itu akan dibagi secara rata untuk kedua belah pihak. Dalam hal ini Pemda DKI Jakarta dan Ciputra.
Satu hal lagi, dalam penggarapan proyek prestisius itu, alih-alih menggunakan anggaran pemda atau negara, pria yang juga aktif berkegiatan di bidang sosial kemasyarakatan, antara lain, dengan menularkan semangat entrepreneurship, pengembangan olahraga, dan penyelenggaraan pendidikan itu lebih memilih untuk meminjam dana dengan berbagai mata uang dari dolar AS, mata uang Perancis, dan rupiah.
Direncanakan ketika itu, dari luas total kawasan Ancol, selain dijadikan sebagai daerah rekreasi, maka areal itu akan dibagi-bagi menjadi beberapa peruntukan lain. Yakni, menjadi daerah dagang 93 hektar, daerah industri 38 hektar, daerah perumahan 171 hektar, dan daerah semi sosial 43,6 hektar. Selebihnya Ciputra juga mengajukan pembuatan jalan, lapangan, dan ruang terbuka hijau.
Dalam pembangunan awal, yang memakan waktu kurang lebih dua tahun, dana yang dikeluarkan telah mencapai sekitar Rp4 miliar. Di rentang waktu itulah, pria yang diketahui sangat mencintai dunia seni, terutama seni lukis dan seni patung, itu mengirim proposal ke Disneyland sebagai bentuk ajakan kerja sama. Namun, gayung tak bersambut. Tawaran itu pun ditolak.
Tak justru menyurutkan langkahnya, Ciputra yang diketahui menjalani masa kecil yang sulit karena harus kehilangan ayahnya yang ditangkap dan ditahan tentara penjajah sehingga harus menjadi tulang punggung keluarga itu malah terpacu untuk menuntaskan tugas dari Ali Sadikin baik mungkin. Dia menyebar sejumlah timnya untuk mengobservasi kawasan-kawasan rekreasi yang ada di berbagai belahan dunia. Selanjutnya, hasil dari observasi itu, Ciputra pun meramu konsep wisata yang sesuai kebutuhan masyarakat Indonesia.
Kemampuan untuk memadukan berbagai model rekreasi dengan kebutuhan masyarakat memang menjadi kunci kesuksesan pembangunan kawasan wisata Ancol. Contohnya, mengembangkan Gelanggang Renang Ancol dan Gelanggang Samudra Ancol, yang diresmikan pada 1974, menjadi Atlantis Water Adventure dan Acean Dream Samudra membuat Ancol senantiasa digemari.
Ya, dari kilas kisah tentang pembangunan Ancol ini, kiranya dapat dipetik satu pesan positif dari seorang Ciputra. Bahwa selaku pengusaha, Ciputra tidak melulu mencari keuntungan. Proyek pembangunan Ancol nyatanya memang memberi manfaat bagi Ibu Kota, yaitu menata kawasan menjadi lebih baik, memberi pelayanan publik, mendatangkan lapangan kerja, dan juga bagi hasil untuk Pemda DKI Jakarta.
Pendeknya, Ciputra, lelaki yang dalam banyak kesempatan selalu menyebut bahwa harapannya adalah memberikan peninggalan karya dan jejak prestasi yang baik untuk diteruskan oleh generasi mendatang itu berhasil menyulap rongsokan menjadi emas. Yang boleh jadi, proyek itupun berjalan dengan berlandaskan cara dan cita-cita yang baik. Selamat jalan Pak Cip! (E-1)