Nisan-nisan tua dan berlumut, tanpa nama, yang berjajar di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, bisa menjadi saksi tentang risiko infeksi kuman penyakit. Menjelang akhir abad 19, Pemerintah Hindia Belanda membangun barak-barak besar sebagai Sanatorium TBC dan karantina pengidap penyakit menular lainnya bagi warga Kota Batavia dan sekitarnya. Beberapa pasien yang meninggal dan tak diurus keluarganya dimakamkan di sana.
Bahkan, ada jejak lebih panjang terkait riwayatnya sebagai tempat karantina. Saat Onrust tumbuh menjadi serambi depan Kota Batavia di abad 18, dengan benteng bastion yang dilengkapi meriam-meriam besar, dok terapung bagi kapal lintas samudra, gudang, barak prajurit, dan kantor-kantor, masih ada lahan untuk klinik kesehatan. Para pelaut yang mengidap penyakit menular dikarantina dan dirawat sebelum diizinkan masuk Kota Batavia.
Pada era puncaknya di akhir abad 18, Onrust yang berjarak 15 km dari Pelabuhan Sunda Kelapa itu pernah dihuni 1.200 pendatang ditambah 300 pekerja pribumi. Ada serdadu, pekerja galangan, pengurus gudang, petugas pajak, dan ada pula dokter serta perawat. Semua tumplek di tanah seluas 7,5 hektare itu. Air bersih dipasok dari Batavia.
Memasuki abad 19, peran Pulau Onrust sebagai Serambi Batavia mulai surut. Pemerintah Kolonial mencoba membangunnya kembali pada pertengahan abad 19. Namun, pamornya tak pernah pulih. Apalagi, gelombang tsunami yang dipicu letusan Gunung Krakatau 1883 merusak segalanya. Kegiatan bisnis di pulau cantik itu pun ditinggalkan. Semua dialihkan ke pelabuhan baru Tanjung Priok.
Ketika itulah, Pulau Onrust yang berhawa segar dijadikan Sanatorium TBC, sekaligus karantina bagi pengidap penyakit menular lainnya. Tapi tak lama kemudian, antara 1911—1933, Pulau Onrust dijadikan karantina bagi jemaah haji asal Hindia Belanda. Kapasitasnya 3.500 orang. Semua jemaah wajib menjalani karantina sebelum berangkat dan sepulang mereka dari Mekah. Setelah karantina haji ditutup, Onrust kosong dan merana bak pulau hantu.
Memanfaatkan fasilitas yang tersisa, Pemerintah RI menjadikan Onrust sebagai tempat karantina penyakit menular 1960-1965. Setelahnya, fasilitas digeser ke Pelabuhan Tanjung Priok dan disebut Stasiun Karantina. Sepanjang 1965-1970, ia melayani sekitar 2.300 pasien dengan berbagai macam penyakit menular. Onrust ditinggalkan dan ditetapkan sebagai pulau bersejarah sejak 1972, bahkan menjadi taman arkeologi sejak 2002. Kini, pulau itu menjadi destinasi wisata.
Penyakit infeksi tak pernah berhenti menyebar. Atas kebutuhan itu, stasiun itu ditingkatkan levelnya menjadi rumah sakit karantina, dengan lokasi tetap di Tanjung Priok. Namun, fasilitas itu menjadi tetap kurang memadai saat kuman-kuman lama dan baru terus menghantui kesehatan masyarakat. Berjangkitnya virus baru HIV, penyebab AIDS, pun menghentak dunia sejak 1985.
Peristiwa itu membuat Pemerintah RI mengambil keputusan membangun rumah sakit baru dengan fasilitas modern untuk penanganan penyakit akibat infeksi. Rumah sakit itu tak hanya memberikan layanan medis, melainkan juga melakukan penelitian dan pengembangan terkait pencegahan serta pengendalian penyakit infeksi yang menular. Pendek kata, rumah sakit itu pun harus memiliki kapasitas menjadi rujukan nasional sekaligus bisa menjadi lembaga pendidikan dan pelatihan.
Rencana besar itulah yang melatarbelakangi pembangunan Rumah Sakit Pusat Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso. Dibangun di atas lahan seluas 3,5 hektare milik Pemprov DKI, RSPI diresmikan pada 1995 dengan menyematkan nama Profesor Dr Sulianti Saroso, dokter pejuang, pakar epidemiologi, inisiator program Keluarga Berencana (KB), yang berjuang sejak masa kemerdekaan hingga akhir hayatnya pada 1991.
RSPI Sulianti Saroso dikelola langsung di bawah Kementerian Kesehatan. Sebagai rumah sakit pusat, levelnya sejajar dengan Rumah Sakit Pusat Jantung Harapan Kita, RS Pusat Kanker Dharmais, dan Rumah Sakit Pusat Otak Nasional di Cawang, Jakarta Timur. Keberadaan RSPI Sulianti Saroso cepat dikenal oleh publik karena ia menjadi rujukan utama bagi penyandang HIV/AIDS. Pada dekade berikutnya, RS ini berada di garis depan di tengah ancaman wabah flu burung, flu babi, SARS, MERS, dan kini Covid-19.
Namun, dalam hal penanganan flu burung alias avian influenza (AI), dunia kedokteran menorehkan prestasi buruk. Catatan Badan Kesehatan Dunia WHO menunjukkan bahwa hingga Mei 2019 telah terjadi 861 kasus kejangkitan virus AI dan mengakibatkan 455 kematian. Sebagian terbesar infeksi terjadi di Indonesia, yakni 200 kasus dan menyebabkan 168 kematian.
Angka itu belum termasuk satu kasus kematian terbaru di RSUP (Rumah Sakit Umum Pusat) Karyadi, Semarang, pada 23 Februari 2020. Seorang suspect Covid-19 meninggal. Pemeriksaan pascakematian mengungkapkan, korban bukan meninggal karena Covid-19 melainkan oleh flu babi (H1N1).
Flu burung ini amat bervariasi karena dibangkitkan oleh spesies virus dari empat marga (genus) dan masing-masing dicirikan oleh tipe protein di permukaannya. Ada virus yang berinang pada manusia dan unggas (avian) lalu disebut sebagai pembangkit flu burung. Ada pula flu babi lantaran virusnya dapat hidup dalam tubuh manusia dan babi. Ada lagi yang hidup pada manusia dan anjing laut. Pada manusia, infeksi virus ini menyerang organ pernafasan terutama paru.
Virus influenza baru ini memiliki gumpalan protein di permukaannya, berupa hemaglutinin (H) dan neuraminidase (N). Kombinasi jenis protein H dan protein N akan menentukan sifat dan penamaan subtipe virus influenza, misalnya H5N1. Saat ini telah ditemukan 18 jenis hemaglutinin (H1 sampai H18) dan 11 jenis neuraminidase (N1 sampa N11). Begitu banyak biotipe virus ini hingga tak mudah membuat pencegahan dan pengendalian penyakit yang secara umum sering disebut flu burung dan flu babi itu.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1583824622_Tambahan_SulliantiSuroso.jpg " />
Dokter memeriksa suhu tubuh warga di Pos Pemantauan Virus Corona RSPI Sulianti Saroso, Jakarta Utara, Selasa (3/3/2020). Menurut Kepala Instalasi Promosi Kesehatan RSPI Sulianti Saroso Tiursani Idawati, pos yang dibuka 24 jam gratis dan mulai dibuka pada minggu ketiga Januari itu mengalami peningkatan empat kali lipat pascapresiden mengumumkan dua orang positif Corona di Indonesia. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Diagnosis Biomolekuler
Meski angka serangannya sudah jauh menyusut, virus flu burung masih ada. Begitu halnya dengan flu babi, lalu ebola, SARS (Severe Acute Respiratory Syndromme), MERS (Middle East Respiratory Syndrome), tak pernah dinyatakan punah. Dan kini, muncul wabah baru Covid-19. Awak RSPI telah dilatih untuk menghadapi kedaruratan penyakit infeksi yang mudah menular ini.
Dalam operasional kesehariannya, RSPI Sulianti Saroso seperti rumah sakit besar pada umumnya. Di situ ada pelayanan medik untuk rawat jalan, rawat inap, rawat darurat, bedah, dan seterusnya. Ada pula unit penunjang radiologi, laboratorium (termasuk lab diagnosis berbasis biomolekuler), farmasi, klinik gizi, serta berbagai pelayananan spesialis mulai dari penyakit dalam, kebidanan, anak, syaraf, paru, bedah umum, bedah orthopedi, mata, THT, gigi, dan banyak lainnya.
Layanan para spesialis di situ diperlukan untuk memperkuat predikat rumah sakit pusat infeksi itu. Bukankah penyandang TBC kronis atau malaria akut bisa sewaktu-waktu memerlukan layanan dari dokter gigi atau dokter syaraf? Hal yang tak terhindarkan.
Para awak medis di RSPI Sulianti Saroso selama ini tak hanya berurusan dengan kuman-kuman baru seperti HIV, ebola, MERS-CoV, SARS-Cov, H5NI, dan kini Covid-19. Mereka juga masih menangani kuman baheula seperti antraks, campak, demam berdarah (DBD), difteri, malaria, TBC, pneumonia (paru basah), tipus, atau rabies.
Data pelayanan medik RSPI Sulianti Saroso menyebutkan bahwa jumlah pasien rawat jalan setahun mencapai sekitar 70.000 orang, dan pasien rawat inap antara 6.000--7.000 orang. Serangan diare dan gatroenteristis, DBD, HIV, tifus, TBC paru, pneumonia, dan radang lambung menduduki peringkat teratas di antara daftar penyakit para pasien rawat inap maupun rawat jalan.
Keunggulan RSPI Sulianti Saroso tentu pada kapasitasnya yang mampu memberikan diagnosis pada level biomolekuler. Piranti medik dan sumber daya manusia yang ada telah disiapkan untuk mampu mengidentikasi kuman-kuman penyerang itu melalui perunutan kode-kode genetiknya. Kapasitas itu terus dikembangkan melalui kegiatan penelitian.
Dengan begitu, awak RSPI bisa mengenali secara cermat adanya serangan HIV, virus flu burung, atau flu babi, dan sekarang Covid-19. Khusus Covid-19, identifikasinya masih dilakukan oleh Laboratorium Biomedik Balitbang Kementerian Kesehatan di Jl Percetakan Negara, Jakarta.
Ruang Rawat Terisolasi
Melengkapi RSPI sebagai fasilitas unggulan, di situ dibangun unit ruang rawat isolasi yang memenuhi standar internasional. Sejauh ini baru ada 11 unit dalam satu klaster di lantai dasar bangunan ukuran 20 x 24 meter2. Lantai itu dibelah menjadi dua bagian. Di satu sisi ada enam unit dan di sisi lainnya ada lima unit ruang rawat isolasi. Jatah satu unit dijadikan beranda sekaligus akses ke selasar yang lebarnya 3 meter. Masing-masing unit luasnya 3,75 x 8,5 meter2, termasuk toilet dan kamar mandi. Dari selasar, ada ruang antara (interoom) sebelum masuk ke ruang rawat isolasi.
Piranti medik yang ada di dalamnya disesuaikan dengan kebutuhan. Bila pasien memerlukan, rumah sakit bisa menyediakan alat bantu pernafasan (ventilator), alat pemindai kinerja jantung, otak, paru, dan yang lain. Kondisi pasien selalu terpantau.
Sirkulasi udara dalam ruang isolasi dikontrol. Sumber aliran udaranya mesin AC, suhunya diatur 20--25 derajat Celsius. Jendela ruang rawat selalu tertutup. Tekanan udara di tiap ruang diatur berbeda dengan cara mengendalikan volume alirannya. Kamar mandi/toilet dibuat bertekanan udara paling rendah, lalu ruang rawat, interoom dan yang tertinggi selasar. Dengan begitu, semburan udara AC terbesar per meter2 lantai yang tertinggi ke arah selasar.
Ketika pintu dari selasar ke interoom dibuka, ada aliran udara dari selasar ke interoom. Begitu pula ketika pintu kamar rawat dibuka, aliran udara masuk dari interoom ke ruang rawat, dan dari ruang rawat udara akan mengalir ke toilet.
Sistem kendali itu membuat udara dari kamar pasien tak bisa mengalir kemana-mana kecuali ke arah toilet. Dengan begitu, jika udara dalam ruang rawat isolasi itu tercemar oleh droplet yang membawa virus, yang terlontar karena pasien bicara, bersin, atau batuk, ia tak akan bisa kemana-mana kecuali ke toilet. Dari toilet udara dibuang keluar dengan exhauster khusus, yang alirannya dilewatkan ke hepafilter. Spesimen ludah atau dahak bercampur virus yang mengambang di udara, dengan ukuran di atas 5 mikron, tak akan bisa menembus hepafirter yang rongganya berukuran 0,3 mikron.
Sistem pengaturan udara di unit ruang isolasi RSPI Sulianti Saroso itu telah terpasang sejak 2011 dan telah teruji keamanannya. Dengan begitu, fasilitas ini dianggap amat memadai untuk merawat para pasien yang terjangkit flu burung dan flu babi, MERS, SARS, atau Covid-19.
Namun, di tengah ancaman wabah Covid-19 saat ini, ruang isolasi di RSPI Sulianti Saroso pun terasa kewalahan menerima pasien suspect. Sejumlah rumah sakit yang tak memiliki ruang isolasi mutakhir memilih mengirimkan pasiennya ke RSPI Sulianti. Lantas, kalau ruang isolasi di sana penuh, ke mana pasien harus dibawa?
Dirawat ke Pulau Onrust jelas tidak mungkin. Maka, rencana Presiden Joko Widodo merevitalisasi eks bangunan Rumah Sakit Pengungsi Vietnam di Pulau Galang, dekat Batam, menjadi masuk akal. Dari Bandar Udara Hang Nadim Batam, rumah sakit pengungsi itu bisa dijangkau dalam satu jam dengan jalan darat melalui jembatan Barelang. Berbeda dari Pulau Onrust, di Galang air bersih lebih melimpah.
Penulis: Putut Tri Husodo
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini