Virus SARS COV-2 makin merajalela. Virus ini sudah menyebar sedikitnya ke-90 negara, termasuk Indonesia. Di Indonesia, hingga Senin (9/3/2020) sudah ada 19 orang yang dinyatakan positif terinfeksi virus yang belum ditemukan obatnya itu.
Sejumlah orang sudah dinyatakan suspect. Mereka tersebar di sejumlah daerah. Untuk mengantisipasi membludaknya pasien, pemerintah bahkan telah menyiapkan 132 rumah sakit rujukan.
Rumah sakit rujukan itu memang ada ruangan isolasinya. Tapi, kapasitasnya masih terbatas. Mereka tak akan mampu menampung pasien dalam jumlah besar.
Itulah sebabnya, seperti saat, pemerintah mengkarantina 238 WNI (terdiri atas mahasiswa dan tim penjemput) dari Tiongkok, yang dipilih adalah Pulau Natuna. Demikian juga saat harus melakukan karantina terhadap 188 WNI yang bekerja sebagai awak kapal pesiar World Dream dan 69 ABK Diamond Princess, Pulau Sebaru, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, jadi andalan.
Presiden Joko Widodo, pada Selasa, 3 Maret 2020 memutuskan akan membangun satu rumah sakit khusus untuk penyakit menular yang punya daya tampung besar. Presiden memilih Pulau Galang sebagai lokasinya.
Pulau Galang bukanlah pulau kosong sejati. Jejak-jejak hunian, bahkan pembangunan, jelas terlihat di sana. Pulau itu memang pernah dijadikan sebagai tempat penampungan pengungsi Vietnam, pada 1979-1996.
Para pengungsi itu kabur dari negaranya setelah kemenangan komunis dan kejatuhan Saigon pada April 1975. Karena takut mendapat perlakuan buruk, mereka kabur menggunakan perahu untuk mencari suaka politik. Tak salah jika mereka kerap dijuluki manusia perahu.
Laporan berjudul "Pulau Galang Wajah Humanisme Indonesia: Penanganan Manusia Perahu Vietnam 1979-1996” terbitan Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi (Pustekkom) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat bahwa awalnya ada 24 pengungsi yang mendarat di Pulau Laut pada 22 Mei 1975 atau sebulan setelah kejatuhan Saigon. Mereka ditampung di rumah-rumah penduduk dan beberapa bangunan yang disediakan pemda setempat.
Dalam perjalanannya, gelombang kedatangan manusia perahu makin membesar. Mereka tersebar di beberapa pulau. Melihat masifnya pengungsi itu, Indonesia bersama Badan Pengungsi PBB atau UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) berniat menyatukan mereka dalam satu wilayah.
Soeharto yang kala itu menjabat sebagai presiden, memilih Pulau Galang sebagai lokasi penampungan mereka. Menurut data UNHCR, selama kurun waktu 1976-1989 jumlah pengungsi mencapai 170.000 orang.
Sebagai tempat penampungan, pemerintah bersama UNHCR membangun sarana dan prasarana di pulau itu. Untuk urusan fasilitas boleh dibilang cukup lengkap. Ada rumah sakit, tempat ibadah, rumah tahanan, sekolah bahasa, dan perkuburan. Jejak-jejak itu masih bisa dilihat hingga kini.
Sekitar 1988, Soeharto ingin mengembangkan Batam sebagai kawasan ekonomi yang bisa menyaingi Singapura. Soeharto pun menugaskan Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) kala itu, BJ Habibie. Habibie lantas menggenjot pembangunan di kawasan Batam dan sekitarnya. Bersamaan dengan rencana itu, pada 1989, Indonesia mulai membatasi kedatangan jumlah pengungsi dan secara perlahan mengembalikan mereka yang sudah tinggal di Pulau Galang ke negara asal.
Habibie pun mulai menata tiga pulau, yakni Batam, Rempang, dan Galang. Pada 1992, Habibie menginisiasi pembangunan jembatan yang bisa menghubungkan tiga pulau itu. Jembatan itu diberi nama jembatan Barelang, kepanjangan dari Batam, Rempang, dan Galang. Pada 1996, pemerintah Indonesia dan UNHCR pun benar-benar mengosongkan kamp pengungsian itu.
Ditinggal pengungsi, kamp yang berdiri di atas lahan 80 hektare itu benar-benar kosong. Tinggal bangunan. Tak lagi ada hiruk-pikuk suara manusia perahu di situ. Dibiarkan selama 24 tahun kondisi bangunan itu rusak di sana-sini.
Kini, ketika Corona mewabah, Presiden Jokowi berencana membangun rumah sakit khusus untuk penyakit menular. Sejak Jokowi mengumumkan rencananya, sejumlah pejabat negara sudah bolak-balik meninjau lokasi bekas pengungsian tersebut. Adalah Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahtjanto, Kapolri Jenderal Idham Aziz, dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono yang terpantau belakangan mendatangi lokasi tersebut.
Rumah sakit itu direncanakan bisa menampung sekitar 1.000 pasien. Menurut Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahtjanto, di rumah sakit itu akan disiapkan 50 kamar isolasi yang terbagi atas 20 kamar isolasi ICU (Intensive Care Unit) dan 30 kamar isolasi non-ICU.
Tidak hanya menyiapkan bangunan fisik, pemerintah pun menyiapkan tenaga medisnya. Tenaga medis yang disiapkan pemerintah berasal dari beberapa unsur, tenaga medis dari TNI, Polri, Kementerian Kesehatan, dan kelompok masyarakat yang punya keahlian medis.
Menurut Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, Pulau Galang dipilih karena letaknya strategis. Pulau ini dekat dengan Bandara Hang Nadim, Batam. Butuh waktu 1 jam 15 menit menggunakan kendaraan hingga sampai ke pulau tersebut. Lokasi rumah sakit itu, menurut Basuki, juga jauh dari pemukiman penduduk.
Ia memperkirakan renovasi dan pembangunan itu butuh waktu kurang lebih sebulan.
Galang dan Legendanya
Pulau ini punya legenda. Berdasarkan cerita yang beredar di kalangan masyarakat, ‘galang’ berarti ‘landasan’. Pulau ini dikenal memiliki kayu yang sangat baik untuk digunakan sebagai bahan dasar perahu. Namanya kayu seraya.
Ceritanya, pada abad ke-16, Sultan Malaka memerintahkan pembuatan lancang (bahtera raja). Para prajurit pun mencari bahan untuk pembuatan lancang itu sampai akhirnya mereka menemukan bahan itu di Pulau Galang.
Saat membuat kapal, datang seorang penduduk setempat yang bernama Canang. Merasa tak kenal, para pembuat kapal mengusirnya. Diusir, Canang tersinggung. Ia bersumpah, lancang yang dibuat prajurit itu tidak akan bisa turun ke laut kecuali ada tujuh wanita hamil anak pertama yang sudi menjadi landasan.
Karena perahu harus disetor kepada sang sultan, para prajurit itu mencari tujuh wanita yang hamil anak pertama. Setelah terkumpul, prajurit meminta mereka untuk menjadi galangan. Benar, begitu wanita hamil itu berjajar, kapal turun. Cerita itu tersebar. Sejak itu, pulau itu disebut Pulau Galang.
Penulis: Fajar WH
Editor: Firman Hidranto/Ratna Nuraini/Elvira