Indonesia.go.id - Riset dan Inovasi Maju, Daya Saing Terpacu

Riset dan Inovasi Maju, Daya Saing Terpacu

  • Administrator
  • Selasa, 23 Februari 2021 | 21:13 WIB
IPTEK
  Alat deteksi Covid-19 GeNose hasil riset di Universitas Gajah Mada. Andreas Fitri Atmoko/Antara
Pandemi Covid-19 menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperkuat inovasi.

Peranan riset dan inovasi sangat dibutuhkan bagi satu bangsa bila ingin maju sektor ekonomi dan industrinya. Demikian pula dengan Indonesia yang kini tengah memacu industri manufakturnya.

Melalui riset dan inovasi, industri nasional diharapkan mampu memacu peningkatan daya saing. Wajar saja untuk memenangkan daya saing, pelaku industri kini dituntut untuk menguasai teknologi terkini dan aktif melakukan penelitian dan pengembangan (research and development).

Dalam konteks Indonesia, negara ini sebenarnya sudah memiliki Undang-Undang nomor 11 tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (SNIPT). Salah satu bunyi UU itu mengamanatkan perlu segera didirikannya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Berkaitan dengan itu, Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BRIN Bambang PS Brodjonegoro dalam sebuah focus group discussion (FGD), Selasa (9/2/2021), mengemukakan bahwa Indonesia harus cepat membangun BRIN yang kuat untuk menghasilkan inovasi berbasis iptek, yang menjadi kunci pertumbuhan ekonomi tinggi agar menjadi negara maju (high income country) pada 2045.

Menurutnya, litbang-litbang yang ada di kementerian dan lembaga (K/L) harus digabungkan dan diintegrasikan agar hasilnya bisa diadopsi oleh industri dan didukung pemerintah, sehingga betul-betul menjadi inovasi yang meningkatkan daya saing ekonomi.

“Penggabungan litbang-litbang yang ada di K/L itu agar kegiatan penelitian terintegrasi dan terorganisasi di bawah Kementerian Riset dan Teknologi/BRIN.”

Dengan demikian, Indonesia bisa menjalankan skenario ekonomi berbasis inovasi. Sehingga negara ini dapat keluar dari middle income trap dan menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2045. “Saya menilai saat pandemi Covid-19 ini justru merupakan momentum kita untuk memperkuat inovasi,” ujar Bambang Brodjonegoro.

Pertanyaannya, seberapa besar satu negara perlu menyediakan dana untuk kepentingan riset? Data Kemenristek/BRIN menyebutkan, Tiongkok yang mengalokasikan 2,10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk kepentingan risetnya pada 2017. Setahun kemudian, naik lagi menjadi 2,11 persen dari PDB dan 2,14 persen (2019).

Bahkan, Korea Selatan dan Jepang sudah di atas 3 persen dari PDB alokasi dana untuk kepentingan risetnya. Di sisi lain, dana untuk kepentingan riset di Indonesia masih rendah, yakni 0,21 persen (2017), 0,28 persen (2018), dan bahkan turun menjadi 0,25 persen pada 2019.

Harus diakui, keterbatasan dana juga menyebabkan kementerian di bawah komando Bambang Brodjonegoro menjadi terbatas untuk pengembangan lebih lanjut temuan riset. Perlu diketahui, Kemenristek/BRIN hanya mendapatkan anggaran sekitar Rp2,7 triliun.

“Padahal, hasil temuan atau riset jangan sampai terhenti di laboratorium atau publikasi. Tapi, harus dilanjutkan ke arah industri. Itulah inovasi sebenarnya. Inovasi yang langsung disukai masyarakat,” tandasnya.

Tentunya, dengan adanya kelembagaan yang bernama BRIN diharapkan bisa menghasilkan inovasi yang diperlukan. Pertama, untuk memacu pertumbuhan ekonomi, karena pertumbuhan ekonomi tidak cukup hanya didukung demand atau permintaan, melainkan juga supply yang kuat dari hasil inovasi produk dalam negeri.

Tidak hanya itu, demand yang kuat, selain karena penduduk yang besar, juga income harus tinggi. Itulah sebabnya, Tiongkok yang berpenduduk sekitar 1,4 miliar kini ekonominya hebat karena pasokan dari dalam negeri kuat didukung banyaknya inovasi.

Demikian pula India yang kini berpenduduk sekitar 1,3 miliar, bahkan diperkirakan 20 tahun ke depan akan mengalahkan Tiongkok dengan jumlah penduduk lebih besar dan banyak inovasi.

Kedua, dalam berbagai survei dapat disimpulkan bahwa untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tidak hanya karena faktor demand, tapi juga investasi yang mengaplikasikan inovasi.

Di negara-negara maju, investasinya bagus. Perbaikan investasi ini diperlukan, karena tanpa investasi berarti tidak ada produk dihasilkan. Jika tidak ada produk, berarti tidak ada ekspor. Dan bila tidak ada ekspor, berarti tidak ada pertumbuhan ekonomi.

Investasi ini harus betul-betul menghasilkan produk-produk dengan brand lokal yang kompetitif, dengan kunci adalah inovasi, bukan hanya substitusi. Dengan demikian, kita secara berkelanjutan tidak tergantung pada impor.

 

Investasi Butuh Inovasi

Ketiga, investasi yang memiliki multiplier effect tinggi atau bernilai tambah besar adalah investasi yang memerlukan inovasi. Ini misalnya dalam memproduksi mobil, juga mampu menghasilkan blok mesin yang bernilai mahal.

Sebagai gambaran, bagaimana satu negara sangat memperhatikan riset dan inovasi terjadi di pelbagai negara. Di Amerika Serikat, misalnya, Negeri Paman Sam itu dulunya hanya bisa melakukan ekspor komoditas saja, kini mereka sudah cukup jauh menguasai teknologi high tech industries.

Demikian pula Jepang dan Korea. Kedua negara itu kini menguasai industri elektronik dan otomotif yang kuat. Inovasi dan kerja keras adalah keberhasilan mereka sehingga mampu menciptakan produk yang berdaya saing tinggi dan laku di dunia.

Indonesia akan menjadi maju dan bisa meniru cara-cara yang dilakukan Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan dengan melakukan investasi besar pada inovasi berbasis research and development (R&D).

Oleh karena itu, terintegrasinya berbagai lembaga riset, baik di perguruan tinggi, k/L LIPI dan lainnya, tentunya bisa dikaji di hilir oleh BPPT dan kemudian diuji coba.

Setelah hasilnya teruji maka langsung bisa digunakan perusahaan untuk basis berinvestasi menghasilkan produk bernilai tambah tinggi dan didukung pemerintah, sehingga kompetitif dan digemari oleh masyarakat. Hasil riset yang dapat dikapitalisasi inilah yang disebut inovasi.

Harus diakui, setelah UU 11/2019 lahir, masih ditunggu peraturan presiden (Perpres) sebagai tindaklanjut dari UU tersebut. Melalui perpres, regulasi turunan yang menjadi dasar penataan lembaga riset dan inovasi di Indonesia.

Dalam satu kesempatan terpisah, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mengemukakan, pihaknya sangat berharap agar ada peningkatan pemanfaatan produk-produk hasil inovasi dari kegiatan penelitian, pengembangan, pengkajian, serta penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi karya anak Indonesia untuk kebutuhan masyarakat luas.

Dengan demikian, terwujud transformasi produk inovasi menjadi produk komersial yang dimanfaatkan di dalam negeri. Akselerasi produk litbangjirap (penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan) dan adanya keterlibatan sektor swasta dalamnya tentu akan mendorong transformasi produk inovasi ke produk komersial.

 

 

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari