Pesawat kepresidenan sudah ada sejak era Presiden Soekarno. Berbagai jenis, ukuran, dan tipe pernah masuk dalam list pesawat kepresidenan. Namun, Indonesia One memang spesial.
Indonesia One adalah call sign bagi pesawat Boeing 737-800 Kepresidenan Republik Indonesia (RI). Kode registrasinya A-001. Secara legal pemiliknya ialah Sekretariat Negara RI dan operatornya ialah TNI-Angkatan Udara. Dari sisi protokoler, yang berhak menggunakannya ialah Presiden dan Wakil Presiden RI.
Pesawat Indonesia One itulah yang selama tujuh tahun belakangan menemani Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kerja blusukan ke berbagai pelosok tanah air. Jarak Jakarta–Jayapura 3.800 km dapat ditempuhnya selama 5 jam langsung, tanpa transit. Indonesia One mampu terbang tanpa isi ulang bahan bakar sejauh 8.600 km selama 10–12 jam.
Menyambut hari ulang tahun ke-76 Republik Indonesia, 17 Agustus 2021, Indonesia One mengubah penampilannya. Badan yang sebelumnya berwarna biru langit berpadu putih, dengan list warna merah-putih, berubah menjadi merah putih penuh. Penampilan yang menyolok, penuh percaya diri.
Pengadaan pesawat RI-1 ini dilakukan sejak anggaran 2010/2011. Harganya USD91,2 juta. Ia tergolong Boeing Business Jet 2 (BBJ2). Dengan desain BB Jet itu, konfigurasi kabinnya lebih lapang. Interiornya kabin terdiri atas sebuah meeting room VVIP, kamar kenegaraan (state room) VVIP, yaitu ruang tidur untuk 2 orang, 12 kursi eksekutif, dan 54 kursi staf, dan beberapa seat untuk kru kabin.
Dengan interor khusus itu kapasitas penumpang dibatasi hanya 67 orang, tak sampai separuh dari konfigurasi komersialnya. Dengan beban yang berkurang itu, dan Indonesia One mampu terbang 1.500 km lebih jauh ketimbang tipe komersialnya. Sebagaimana umumnya Boeing 737-800, Indonesia One dengan sepasang mesin CFM56-7 itu memerlukan landasan pacu setidaknya 2.000 meter untuk take off dan landing.
Indonesia One itu baru siap dioperasikan April 2014. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono sebagai pemrakarsa pengadaan pesawat justru hanya sempat beberapa bulan menggunakannya. Presiden Jokowi yang menjabat sejak Oktober 2014 punya kesempatan lebih banyak memanfaatkannya.
Dalam situasi mendesak, jika Indonesia One harus menjalani perawatan, presiden atau wapres bisa menggunakan pesawat VIP dari TNI-AU. Sejak lama TNI-AU memiliki skadron VIP yang siap melayani perjalanan presiden, wakil presiden, dan menteri-menteri negara. Satuan ini adalah Skadron Udara 17, berkedudukan di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, dan mengoperasikan pesawat yang sudah cukup berumur seperti Boeing 737-200, Boeing 737-400, Fokker F28-1000, dan Lockheed C-130 Hercules.
Meski bukan pesawat kepresidenan yang pertama, Indonesia One ini memiliki interior yang sangat cocok untuk perjalanan VVIP. Pada era sebelumnya, sejak Presiden BJ Habibie, Presiden KH Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati, hingga Presiden SBY (kecuali beberapa bulan terakhir), tak satu pun bisa menikmati fasilitas sekelas Indonesia One Boeing BJ-2 ini.
Sebelum Indonesia One datang, Presiden SBY biasa menggunakan pesawat Boeing 737-800 Garuda Indonesia, untuk perjalanan domestik atau penerbangan regional jarak pendek. Untuk perjalanan lintas benua, Presiden Yudhoyono sering menggunakan Airbus A 330-300. Ada pun, saat kunjungan kerja ke daerah yang hanya memiliki fasilitas sederhana, Presiden SBY memilih pesawat BAE 146-200 British Aerospace milik Pelita Air Service, anak perusahaan Pertamina.
Pesawat buatan 1993 itu merupakan warisan dari era Presiden Soeharto. Dengan empat engine jet pada kedua sayapnya, pesawat itu mampu take-off di landasan pacu berukuran pendek sekitar 1.500 meter. Ia termasuk pesawat berukuran kecil. Pada versi komersialnya, BAE 146-200 itu bisa mengangkut 90-100 penumpang. Untuk keperluan VVIP, ia dirancang hanya membawa 30 penumpang saja. Namun daya jelajahnya rendah, kurang dari 2.500 km. Dengan ukuran dan bentuknya yang sederhana BAE 146-200 Pelita memang kurang cocok menyandang call signIndonesia One.
Pada era Presiden Megawati Soekarnoputri juga tak ada pesawat khusus kepresidenan. Presiden ke-5 RI itu biasa menggunakan MD-11, Boeing 737-500, atau Airbus A 330-300 yang semuanya berasal dari era Pak Harto. Untuk perjalanan menuju daerah dengan fasilitas bandara yang masih sederhana, Presiden Megawati memilih pesawat TNI-AU seperti Fokker 28-1000 atau Hercules C-130.
Dalam masa jabatannya yang relatif pendek, Presiden BJ Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid tak terlalu pusing dengan urusan pesawat kepresidenan. Keduanya menggunakan pesawat yang ada dari Garuda Indnesia, Pelita Air Service, atau TNI-AU.
Seulawah
Kebutuhan akan pesawat kepresidenan itu dirasakan sejak awal kemerdekaan. Dengan wilayah yang begitu luas dan berpulau-pulau, kebutuhan transportasi udara adalah kebutuhan mutlak. Pada masa awal revolusi kemerdekaan.
Rencana pembelian pesawat transport sudah muncul sejak awal 1948. Rencana itu dibawa Presiden Soekarno dalam sebuah rapat umum di Hotel Kutaraja, Banda Aceh, 16 Juni 1948.
Rapat umum itu pun menjadi aksi penggalangan dana. Dari masyarakat Aceh terkumpul sumbangan yang nilainya setara emas 20 kg. Uang yang terkumpul kemudian digunakan untuk membeli sebuah pesawat baling-baling DC-3 Dakota.
Pesawat yang memiliki panjang 19,66 meter dan rentang sayap 28.96 m, dengan dua mesin Pratt & Whitney itu mampu terbang dengan kecepatan maksimum 346 km/jam. Dengan bahan bakar penuh, Dakota mampu terbang sejauh 2.430 km.
DC-3 Dakota yang diberi nama Seulawah, dalam bahasa Aceh artinya gunung emas, itu jadi pesawat angkut pertama milik Pemerintah RI. Ia pun terbang melayani alur penerbangan reguler Yogyakarta-Jambi-Payakumbuh-Kuraraja (Banda Aceh) pp, dengan penumpang maksimum 22 orang.
DC-3 Seulawah ini mencatatkan penerbangan epiknya ketika mengantar Presiden Soekarno kembali dari Yogyakarta ke Jakarta pada 28 Desember 1949. Ribuan massa menunggu Seulawah di Bandara Kemayoran untuk menyambutnya.
Dalam perjalanannya, Pemerintah Uni Soviet pernah menghadiahkan pesawat angkut Ilyushin Il-18 kepada Bung Karno di akhir 1950-an untuk menjadi pesawat kepresidenan. Pesawat ini dioperasikan oleh TNI-AU. Pesawat berbadan sedang, untuk 60--100 penumpang itu tak dirancang sebagai pesawat kepresidenan.
Bung Karno memberinya nama khusus, Dolok Martimbang. Tak lama kemudian, dua unit pesawat jet mungil Lockheed JetStar untuk 12 penumpang masuk daftar pesawat kepresidenan RI. Semua dioperasikan TNI-AU.
Semuanya tak sesuai untuk penerbangan jarak jauh. Ditambah bentuknya yang tak cukup besar dan berwibawa, maka call sign resmi “Indonesia One” pun tak disematkan bagi mereka. Untuk keperluan perjalanan lintas benua, Bung Karno memilih menggunakan pesawat sewaan Convair 990 atau DC-8, keduanya pesawat jet buatan Amerika Serikat.
Pada awal pemerintahan Presiden Soeharto, pesawat kepresidenan tidak banyak disebut. Pak Harto lebih sering menggunakan pesawat DC-9 untuk perjalanan domestik, atau DC-8 untuk penerbangan internasional, yang keduanya dioperasikan Garuda Indonesia. Untuk kunjungan kerjanya ke daerah yang belum memiliki bandara yang besar, Pak Harto sering menggunakan Hercules C-130 TNI-AU.
Memasuki pertengahan 1970-an, ada pesawat kepresidenan Fokker-28 yang biasa digunakan untuk kunjungan domestik. Pesawat jet buatan Belanda itu telah dirancang dengan interior eksekutif, dari 70 seat untuk komersial hanya diisi separuhnya. Fokker-28 kepresidenan ini dioperasikan oleh Pelita Air Service (PAS). Untuk kunjungan internasional, Presiden Soeharto memilih pesawat besar DC-10 Garuda Indonesia. Hingga akhir 1980-an, pilihan itu tak berubah.
Memasuki 1990-an, pesawat DC-10 digantikan oleh MD-11 atau Airbus A-330. Keduanya juga dioperasikan PT Garuda Indonesia. Untuk penerbangan domestiknya, Presiden Soeharto mengganti Fokker-28 itu dengan pesawat tangguh bermesin empat BAE 146-200, yang dioperasikan oleh Pelita Air Service. Pesawat ini masih beroperasi hingga era Presiden SBY.
Untuk mengelola wilayah seluas Indonesia, yang jarak dari Sabang hingga Merauke sampai 5.250 km, pesawat kepresidenan adalah kebutuhan. Ia bukan kemewahan.
Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari