Kehadiran Polisi wanita (polwan) tak sekadar menjadi pemanis Korps Tri Brata. Mereka juga banyak menorehkan prestasi gemilang tak hanya bagi Kepolisian Republik Indonesia (Polri), tetapi juga bagi Indonesia.
Polisi wanita (polwan) menjadi bagian tak terpisahkan dalam struktur kepolisian di Indonesia. Sejak kelahirannya 1 September 1948, polwan sudah menempati jabatan-jabatan strategis di kepolisian. Menurut pengamat kepolisian Adrianus Meliala, saat ini, polwan sudah memiliki kesempatan yang sama dengan personel polisi laki-laki dalam pemenuhan hak dan kewajiban. Termasuk dalam mengemban penugasan, baik di internal kepolisian maupun dalam cakupan lebih luas.
Guru Besar Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia itu mencatat, sejak awal 2021, terdapat tiga polwan berpangkat brigadir jenderal (brigjen), 65 orang berpangkat komisaris besar (kombes), 644 lainnya berpangkat ajun komisaris besar polisi (AKBP). Kemudian ada 959 polwan berpangkat komisaris polisi (kompol), serta 5.672 orang berpangkat perwira pertama.
Selain itu empat polwan juga sedang mengemban jabatan kepala kepolisian resor (kapolres), 14 polwan sedang menjabat wakapolres, dan 32 polwan mengemban jabatan kapolsek. Bahkan salah satu polwan berpangkat bintang satu yakni Brigjen Ida Oetari, Wakil Kapolda Kalimantan Tengah, merupakan Ketua Asosiasi Polwan Dunia (International Association Women Police).
Ida, mantan perwira Analis Kebijakan Utama Bidang Tenaga Pendidikan Siswa Lemdiklat Polri, juga tercatat sebagai polwan termuda yang pernah meraih posisi bintang satu di kepolisian. Lulusan Sekolah Inspektur Polisi Sumber Sarjana (SIPSS) angkatan 1987 ini mendapatkan pangkat jenderalnya pada 2013 saat berusia 49 tahun.
Deretan prestasi polwan di kepolisian juga merambah ke internasional. Srikandi-srikandi kepolisian ini dipercaya Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk ikut dalam misi pasukan perdamaian. Mereka tak hanya sekadar pasukan pendukung, namun untuk pertama kali pada misi Pasukan Garuda Polri 2018 juga diikutsertakan dalam tim taktis untuk kebutuhan SWAT saat patroli kemanusiaan, dan sebagai dokter kepolisian.
Sejak itu, polwan Indonesia telah dikirim bertugas dalam misi perdamaian PBB di Sudan, Kongo, Mali, Sudan Selatan, Afrika Tengah, Yaman, dan Haiti. Sejumlah polwan pun ikut terjun sebagai atlet nasional pada sejumlah cabang olahraga seperti atletik, bola voli, menembak, judo, dan karate. Mereka telah mengecap prestasi di tingkat nasional dan internasional.
Tak terhitung pula pencapaian polisi-polisi wanita dalam pengungkapan tabir kejahatan di masyarakat. Salah satunya adalah Kompol Vivick Tjangkung, perwira penyidik madya Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya. Polwan kelahiran Ende, 15 Maret 1971 itu banyak mengungkap kasus-kasus besar narkotika, terutama yang melibatkan artis-artis. Salah satu pengungkapan paling fenomenal ketika ia berhasil menangkap artis Zarima Mirafsur, penyelundup 29.667 butir ekstasi dari Belanda, Agustus 1996. Vivick juga yang kemudian bersama tim dipimpin Gories Mere, mengejar dan menangkap kembali Zarima usai kabur dari tahanan. Ratu ekstasi itu diciduk di sebuah supermarket di Houston, AS, November 1996.
Menurut Adrianus, sifat kodrati polwan sudah sangat dihargai. Bagi polwan yang telah berkeluarga, Mabes Polri sudah memberikan pilihan berdinas mengikuti di daerah mana suaminya tinggal atau bertugas. Selain itu, polwan juga mendapatkan tunjangan kecantikan sebagai tunjangan khusus kewanitaan.
"Polwan sudah seharusnya bekerja secara profesional, dituntut mempunyai moral yang baik, menjaga citra dan selalu mau mengembangkan diri, tanpa kehilangan sisi femininnya sebagai wajah terdepan yang mewakili Polri," kata Jenderal (Purn) Sutanto, Kapolri era Juli 2005-September 2008 seperti dikutip dari bukunya, Polmas: Paradigma Baru Polri.
Seperti perempuan pada umumnya, dalam berbagai hal polwan dinilai lebih komunikatif dibandingkan polisi laki-laki. Terutama saat melayani masyarakat, apalagi terhadap kelompok perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan, utamanya pada kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual. Begitu juga kasus kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT), peran polwan dibutuhkan untuk menggali informasi terhadap korban perempuan dan anak-anak. Demikian dikatakan Brigjen Ida dalam paparannya, "Perlindungan Polwan dalam Penugasan di Polsek" pada sebuah diskusi beberapa waktu lalu.
Ketika menjadi orang nomor satu di Korps Tri Brata, Jenderal (Purn) Tito Karnavian pernah mengeluhkan masih minimnya jumlah polwan di Indonesia. Dalam catatannya, hingga 2019 awal terdapat 36.595 personel polwan atau hanya 8,3 persen dari total anggota Polri saat itu yang mencapai 443.379 orang. "Saya pribadi belum puas dengan angka ini. Menurut saya belum bisa menggambarkan prinsip equality emansipasi. Perlu adanya kenaikan rekrutmen polwan," kata Tito dalam acara rilis Polri, akhir tahun di Mabes Polri, 27 Desember 2018. Tito juga menyebut, polwan lebih kebal terhadap budaya korupsi.
Dirintis Srikandi Minang
Mengutip laman situs Pusat Sejarah Polri, www.museumpolri.org, sejarah polwan di Indonesia dimulai pada 1 September 1948. Perjalanan tahun 1948 itu diselingi guncangan yang melanda Indonesia. Belum lama merdeka, Belanda sudah datang lagi, berambisi berkuasa kembali. Serangan demi serangan digencarkan, perundingan demi perundingan dilanggar, Indonesia dalam situasi darurat.
Banyak penduduk mengungsi, menjauhi titik-titik pertempuran demi keselamatan diri dan keluarga. Namun, pihak republik juga harus tetap cermat dan siaga lantaran gelombang pengungsi rawan disusupi mata-mata musuh. Masalahnya, banyak pengungsi perempuan menolak diperiksa polisi laki-laki. Organisasi perempuan nasionalis dan religius di Bukittinggi kemudian mengusulkan kepada pemerintah agar kaum hawa diikutsertakan dalam pendidikan kepolisian untuk menangani masalah tersebut.
Cabang Djawatan Kepolisian Negara untuk Sumatra yang berkedudukan di Bukittinggi pun memberi lampu hijau. Akhirnya pada 1 September 1948 secara resmi disertakan enam siswa perempuan berdarah Minangkabau lulusan sekolah menengah untuk ikut pendidikan kepolisian. Mereka adalah Mariana Saanin, Nelly Pauna, Rosmalina Loekman, Dahniar Sukotjo, Djasmainar, dan Rosnalia Taher. Keenamnya kemudian dikenal dalam sejarah kepolisian sebagai cikal bakal polwan di tanah air, sekaligus sebagai prajurit perempuan pertama dalam Angkatan Bersenjata RI, tatkala Polri masih bergabung dalam ABRI.
Para calon polwan pertama di Indonesia itu mengikuti pendidikan inspektur polisi bersama 44 siswa laki-laki di Sekolah Polisi Negara Bukittinggi. Pendidikan calon inspektur polisi di Bukittinggi tadi terpaksa berhenti akhir 1948 setelah pecahnya agresi militer Belanda yang kedua, 19 Desember 1948. Keenam calon polwan ikut terjun berjuang mempertahankan pemerintahan darurat yang berpusat di Bukittinggi.
"Rosmalina, Jasmaniar, dan Nelly Pauna ikut bergabung dalam Kesatuan Brigade Mobil pimpinan Inspektur Polisi Amir Machmud di Bukittinggi pada awal 1949. Tugas mereka mendirikan basis pertahanan dan mengosongkan kota untuk menahan serangan Belanda," tulis Hasril Chaniago dan Khairul Jasmi dalam buku Brigadir Jenderal Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa terbitan 1998.
Diperhatikan Bung Karno
Kemudian pendidikan dilanjutkan kembali di SPN Sukabumi, 19 Juli 1950 yang diikuti oleh keenam calon polwan asal Minangkabau tersebut. Para calon polwan pertama itu tidak hanya diajarkan ilmu-ilmu kemasyarakatan dan pendidikan kejiwaan saja, tetapi juga dibekali latihan militer, bela diri jiujitsu, judo, serta anggar. Usai lulus pada 1 Mei 1951, keenam polwan tadi langsung ditempatkan di Djawatan Kepolisian Negara dan Komisariat Polisi Djakarta Raya. Mereka ditugasi menangani masalah yang terkait perempuan dan anak-anak.
Kehadiran polwan ikut menjadi perhatian Presiden RI pertama, Soekarno saat pembukaan Kongres Wanita Indonesia di Senayan, 24 Juli 1964. Dalam pidatonya seperti dikutip dari Wanita Indonesia Selalu Ikut Bergerak dalam Barisan Revolusioner, Soekarno memuji para polwan asal ranah Minang bak Bunga Kartini. Antusiasme Soekarno kepada srikandi-srikandi kepolisian turut dibuktikan ketika ia turun dari panggung kehormatan, berjalan menuju para prajurit polwan dari Brigade Polisi Wanita dan memberikan selamat. Hal itu dilakukan ketika para polwan turut dalam upacara HUT ABRI, 5 Oktober 1964.
Pada 1965, pemerintah mengintegrasikan pendidikan calon perwira polwan dengan polisi laki-laki di Akademi Angkatan Kepolisian (AAK) di Yogyakarta. Keputusan ini dilakukan pascaterbitnya TAP MPRS nomor II tahun 1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1965.
Dalam TAP MPRS itu disebutkan mengenai keputusan pemerintah bahwa Polri merupakan bagian dari ABRI. Sayangnya, perekrutan perempuan untuk menjadi perwira polwan hanya berjalan satu angkatan. Belakangan, Akademi Kepolisian di Semarang mulai menerima siswa perempuan untuk menjadi perwira polwan pada 2002.
Mabes Polri pun menampung tingginya minat perempuan Indonesia sebagai polwan lewat pendirian Pusat Pendidikan Polisi Wanita di Ciputat, 30 Oktober 1984. Semula Pusdikpolwan ini adalah sebuah kelas khusus bagi bintara polwan yang didirikan 1975 dan menjadi bagian dari Sekolah Kepolisian Komdak VII Jaya, sekarang dikenal sebagai Polda Metro Jaya. Jeanne Mandagi tercatat sebagai polwan pertama berpangkat jenderal pada 1991 dan Dwi Gustiyati menjadi polwan pertama menjabat kapolsek di Pasar Kliwon, Solo, 1987 silam.
Sebagai penanda lahirnya polwan, di Kota Bukittinggi dibangun Monumen Polwan pada 27 April 1993. Monumen itu sempat dipugar dan diresmikan kembali pada 1 September 2015. Semoga kehadiran polwan mampu melembutkan dan menjadi penyeimbang bagi Korps Tri Brata, Esthi Bhakti Warapsari. Selamat Hari Polwan 1 September 2021.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari