Desa Lingsar dikenal dengan toleransi tinggi dari warganya yang mayoritas beragama Islam, terhadap saudara mereka pemeluk Hindu Bali di Pulau Lombok. Mereka merupakan contoh nyata dari kebinekaan yang menyatukan bangsa Indonesia.
Perang biasanya identik dengan kebencian, amarah, pertumpahan darah, dan bahkan berakhir dengan kematian. Siapa pun tidak suka dengan perang, karena akan menyebabkan kerugian. Bagi warga Desa Lingsar di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, perang justru mereka ubah maknanya menjadi sebuah pesta nan menyenangkan.
Tidak akan ada air mata menetes. Tidak ada pula tubuh terluka, apalagi hingga mengorbankan nyawa. Sebaliknya, mereka justru akan bersuka cita, saling melempar canda tawa, bersorak sorai di "perang" yang diadakan setahun sekali. Senjata utama perang ala warga Lingsar adalah ketupat atau topat dalam bahasa Sasak, suku asli Pulau Seribu Masjid itu.
Ketupat untuk kebutuhan "perang" dibuat berbeda. Makanan berbahan beras dilapisi daun kelapa ini umumnya berukuran dua kepalan tangan orang dewasa dan beratnya mencapai 150 gram. Tetapi sebagai "amunisi perang", ketupat buatan ibu-ibu Lingsar itu hanya seukuran kepalan anak-anak. Kira-kira seberat 30 gram saja.
Lokasi perang topat ini ada di Pura Lingsar, sebuah tempat peribadatan umat Hindu paling besar seantero Lombok. Pura membentang dari barat ke timur seluas 26 hektare, mengikuti posisi Gunung Agung dan Rinjani, dua puncak tertinggi di Bali serta Lombok. Pura terdiri dari dua bangunan utama, yakni Pura Gaduh di sisi selatan dan Kemaliq di utara.
Pura Lingsar berdiri di sebuah desa berpenduduk 4.612 jiwa, di mana 70 persennya menganut Islam dan 25 persennya Hindu serta sisanya umat beragama lain. Pada lambang pemerintahan desa turut dicantumkan gambar pura dan masjid sebagai simbol dua agama mayoritas di Lingsar. Mayoritas penduduk desa berasal dari Sasak Muslim. Dalam sistem kekerabatannya terdapat warga Sasak Muslim penganut Islam Wetu Lima atau lima waktu dan Islam Wetu Telu atau tiga waktu.
Perang topat diadakan saat perayaan Pujawali pada purnamaning sasih keenem (enam) kalender Bali atau setiap tanggal 15 purnama sasi kepitu (tujuh) dalam warige (penanggalan) suku Sasak. Pada kalender Masehi, kegiatan ini biasanya jatuh di bulan Desember atau pertengahan November. Tahun ini, perang topat diadakan pada 19 November 2021.
Kerukunan Beragama
Menurut Suparman, pemangku Sasak di Desa Lingsar seperti dikatakannya dalam film dokumenter "Perang Topat", acara ini dilakukan pada sore hari. Yakni saat raraq atau berjatuhannya kembang pohon waru, biasanya selepas waktu salat Asar bagi umat Islam. Pohon-pohon waru ditanam warga di lingkungan desa dan pura. Budayawan I Wayan Sutama di dalam penelitian mengenai perang topat mengatakan, tradisi ini mencerminkan kerukunan antarumat beragama di Lombok, utamanya antara penganut Hindu Bali dan suku Sasak yang beragama Islam.
"Ini sebagai media dalam menjaga dan mewujudkan nilai-nilai religius dan norma-norma sosial masyarakat. Budaya agraris yang menjadi roh bagi atraksi budaya masyarakat menguatkan makna keragaman dan kebersamaan di tengah pluralitas," tulis Sutama.
Jumlah ketupat sebagai alat "perang" bisa mencapai ribuan buah dan saat digunakan sebagai wadah perang, semua dalam kondisi sudah matang. Sebelum dimulai perang topat, ada serangkaian upacara adat diikuti ratusan warga desa. Misalnya nampah kaoq, yaitu mengarak seekor kerbau jantan mengelilingi pura sebelum disembelih.
Kerbau dipilih sebagai bentuk penghormatan umat kedua agama karena tidak mengonsumsi hewan babi dan sapi. Kemudian ada arak-arakan ribuan warga Sasak Wetu Telu dan Hindu sambil membawa puluhan wadah yang dijunjung di atas kepala. Wadah atau rombong berisi sesaji, kebon odek (nampan besar berisi aneka hasil bumi disusun rapi), dan ribuan topat.
Semua wadah dinaungi payung agung warna merah, kuning, dan putih. Mereka diiringi suara gendang beleq (kendang besar), tawaq-tawaq (gong), ceng-ceng, pareret (terompet kayu), dan cungklik. Semua alat musik tadi dimainkan oleh sebuah orkes sambil berjalan mengikuti arakan. Laki-laki dan perempuan, tua-muda, anak-anak dan dewasa ikut di dalam arak-arakan, dipimpin para pemangku adat Sasak dan Hindu. Tak sedikit pula turis asing ikut arak-arakan.
Usai upacara, perang topat pun dimulai. Pemimpin daerah, biasanya Bupati Lombok Barat melakukan lemparan ke halaman tengah pura. Ini menjadi semacam kode dimulainya "perang". Ribuan topat dalam wadah sudah lebih dulu dibagikan kepada peserta "perang". Warga Sasak Muslim yang berdiri di halaman bangunan Kemaliq akan melempar ketupat sekuat tenaga ke kerumunan warga Hindu di pelataran Pura Gaduh.
Wajah-wajah ceria, ditingkahi sorakan penonton membuat perang ini lebih seperti festival lempar ketupat. Atau mirip La Tomatina, sebuah festival perang tomat di Kota Bunol, Valencia, Spanyol, yang sangat terkenal. Perang saling lempar ketupat berlangsung selama 30 menit dan diakhiri dengan suara peluit dari tokoh adat kedua agama.
"Perang topat ini sudah menjadi agenda budaya tahunan Kabupaten Lombok Barat. Kegiatan ini merupakan atraksi wisata yang menarik bagi turis, baik domestik maupun mancanegara," kata Bupati Fauzan Khalid, seperti dikutip dari situs resmi Pemkab Lombok Barat.
Sebagian peserta "perang" memilih menyimpan topat hasil lemparan dari pihak "musuh" untuk dibawa pulang. Biasanya, topat-topat itu akan mereka tebar di lahan persawahan, kebun, digantung di pohon-pohon buah, atau disimpan di tempat mereka berdagang. Menurut pemuka Hindu Pura Lingsar Jero Mangku Putra, topat-topat itu diyakini warga desa membawa berkah karena berisi beras sebagai hasil bumi dari Sang Pencipta.
Sejarah Pura Lingsar
Keberadaan Pura Lingsar tak lepas dari pengaruh budaya Hindu Bali di tanah Lombok. Agama Hindu dibawa masuk saat Kerajaan Karangasem memperluas jangkauan kekuasaannya ke seberang Bali, yakni Lombok. Ketika itu di Pulau Lombok hanya ada agama Islam. Anak Agung Ngurah Made Karang menjadi raja pertama dari percabangan Kerajaan Karangasem di Lombok yang memerintah pada 1720. Demikian seperti dikutip dari penjelasan pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dalam situs resmi mereka.
Pura Lingsar mulai dibangun pada 1759 masa kekuasaan Raja Anak Agung Ngurah. Bangunan pura juga memiliki keterikatan dengan warga dari kedua agama tadi. Bagi umat Hindu di Lombok, Pura Gaduh menjadi tempat paling disucikan. Pada hari-hari suci tertentu bagi umat Hindu Bali di Lombok, mereka selalu memadati Pura Gaduh untuk melakukan persembahyangan.
Pura Gaduh ditandai oleh bangunan pagar tembok penyengker setinggi 351 sentimeter dengan ketebalan 85 cm. Ada sejumlah bangunan penunjang di dalamnya seperti Bale Banten, Penyungsungan Betara Gunung Agung, Penyungsungan Betara Alit Sakti, Bale Pararianan, dan Bale Pawedaan.
Sedangkan bagi Sasak Wetu Telu, mereka menghormati bangunan Kemaliq, di mana pada waktu-waktu tertentu dipakai untuk upacara adat. Dalam bahasa Sasak, Kemaliq berasal dari kata maliq yang artinya keramat atau suci. Di kompleks berpagar tembok bata setinggi 150 sentimeter ini terdapat beberapa bangunan penting.
Misalnya, Bethara Lingsir, tempat masyarakat Sasak berdoa untuk mengharapkan berkah. Lalu ada Bale Sekepat, tempat tokoh agama Sasak memimpin upacara adat dan Bale Pesanekan, tempat beristirahat bagi masyarakat yang akan beribadah di Pura Lingsar dan Kemaliq.
Di Kemaliq ini pula ada Telaga Ageng atau Aik Mual, sebuah kolam besar persegi panjang berukuran panjang 468 cm, lebar 350 cm dan kedalaman sekitar 155 cm. Isi kolam bersumber dari mata air berdebit sangat besar yang berada di dasar kolam. Airnya sangat jernih sehingga menampakkan dasar kolam berupa batu-batu besar. Limpahan air sepanjang tahun dimanfaatkan untuk mengairi kebun dan persawahan penduduk desa.
Di tempat ini pula nama desa dan kawasan Lingsar bermula. Menurut kisah rakyat, dahulu kala mereka mengalami kekeringan dan menyebabkan kebun dan sawah tak lagi menghasilkan. Seorang ulama setempat bergelar Datuk Abdul Malik dan diyakini sebagai keturunan wali, membantu mencari sejumlah titik sumber air bagi warga.
Pada suatu lokasi, Raden Mas Sumilir, demikian nama asli ulama tersebut, berhasil menancapkan tongkatnya ke tanah. Saat tongkat dicabut, tiba-tiba muncul air menyembur dengan sangat derasnya dari dalam tanah. Warga setempat menyebutnya sebagai ai mual atau air yang menyembur deras.
Sementara bagi pihak kerajaan, ai mual mereka sebut sebagai lingsar. Ini diambil dari kata ling atau wahyu. Lalu kata sar diartikan sebagai sah atau jelas. Sehingga lingsar dapat diterjemahkan sebagai wahyu yang jelas. Itu sebabnya daerah ini dikenal subur dan warganya selalu menikmati panen hasil bumi sepanjang tahun. Karena mereka tidak kesulitan mendapatkan air dari sumber Kemaliq di Pura Lingsar.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari