Pengenaan PPN 12 persen dilakukan untuk menciptakan azas keadilan.
Pemerintah resmi menetapkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen, yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Kebijakan itu tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara melainkan juga memastikan keseimbangan ekonomi di tengah tantangan global.
Pasalnya, strategi ini dinilai menjadi jurus ampuh untuk mendongkrak penerimaan negara seperti disampaikan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu. Menurutnya, kenaikan tarif PPN tersebut akan memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara.
Namun, menurut Febrio, pemerintah tetap mempertahankan prinsip keadilan dengan membebaskan PPN pada sejumlah kebutuhan pokok seperti beras, telur, dan daging. Hal itu bertujuan agar dampak kenaikan PPN tidak membebani masyarakat, terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah.
“Dari kenaikan PPN ini, estimasi penerimaan diperkirakan mencapai Rp75 triliun. Ini akan membantu memperkuat fiskal kita di tahun depan,” ujar Febrio, dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (16/12/2024).
Dengan estimasi tambahan penerimaan sebesar Rp75 triliun, pemerintah optimis kenaikan ini akan mendorong penguatan fiskal. Di sisi lain, daya beli masyarakat juga tetap terjaga melalui berbagai insentif dan stimulus ekonomi.
Tulang Punggung Penerimaan
Tak dipungkiri, PPN merupakan salah satu sumber pendapatan negara terbesar yang berperan penting dalam mendanai pembangunan nasional. Penggunaan instrumen pajak, termasuk menaikkannya, ditujukan agar pendapatan negara naik. Dengan begitu, pembiayaan program pembangunan pun bisa tetap berjalan. Demikian pula, pelayanan publik.
Berkaitan dengan kebijakan kenaikan PPN 12 persen, Menkeu Sri Mulyani Indrawati, di acara Konferensi Pers Paket Kebijakan Ekonomi, menilai bahwa kebijakan itu bertujuan menciptakan keadilan pajak. Tarif PPN 12 persen akan diberlakukan terutama untuk barang dan jasa mewah yang dikonsumsi masyarakat kelas atas.
Kelompok itu mencakup:
Bahan makanan premium, yakni beras premium, buah-buahan premium, ikan salmon, udang king crab, dan daging wagyu.
Jasa pendidikan dan kesehatan premium, yakni layanan sekolah elite dan perawatan medis kelas atas.
Listrik rumah tangga kelas atas, yaitu pelanggan dengan daya listrik 3.500--6.600 VA.
Dengan demikian, kebijakan tersebut tidak hanya berfokus pada penerimaan negara melainkan juga memastikan bahwa masyarakat dengan pendapatan lebih tinggi berkontribusi lebih besar terhadap pembangunan.
“Pengenaan PPN 12 persen ini dilakukan untuk menciptakan azas keadilan. Kelompok masyarakat yang berada di desil 9--10, yang mengonsumsi barang-barang mewah, akan dikenakan tarif PPN yang sesuai,” ujar Sri Mulyani.
Stimulus Ekonomi
Menyadari potensi dampak kenaikan tarif PPN terhadap daya beli masyarakat, pemerintah telah menyiapkan paket stimulus ekonomi dengan alokasi anggaran mencapai Rp 265,6 triliun. Stimulus ini mencakup berbagai segmen masyarakat, dari rumah tangga berpenghasilan rendah, kelas menengah, hingga pelaku usaha.
- Dukungan untuk Rumah Tangga Berpenghasilan Rendah
- PPN Ditanggung Pemerintah (DTP), yakni untuk barang kebutuhan pokok seperti minyak goreng, tepung terigu, dan gula industri. Semua itu tetap dikenakan tarif PPN 11 persen, dengan selisih 1 persen ditanggung pemerintah.
- Bantuan Pangan, yaitu sebanyak 16 juta penerima bantuan pangan akan menerima 10 kg beras setiap bulan, pada Januari dan Februari 2025.
- Diskon listrik untuk pelanggan dengan daya listrik hingga 2.200 VA akan mendapatkan diskon 50 persen untuk biaya listrik selama dua bulan awal penerapan kebijakan.
- Stimulus bagi Kelas Menengah
Pemerintah melanjutkan berbagai program insentif seperti subsidi kredit rumah, dukungan pendidikan, dan kebijakan penyesuaian tarif pajak penghasilan untuk menjaga daya beli segmen ini.
- Dukungan untuk Dunia Usaha
Sektor usaha, terutama UMKM dan industri pengolahan, juga mendapat perhatian. Insentif fiskal akan diberikan untuk meringankan beban pelaku usaha dan mendorong pertumbuhan industri yang menjadi tulang punggung perekonomian.
Tantangan di Tengah Kenaikan PPN
Tentu kebijakan kenaikan PPN 12 persen mendapat respons yang beragam dari sejumlah pengamat ekonomi. Eko Listyanto, Wakil Direktur Indef, menilai bahwa kebijakan tersebut berpotensi menggerus konsumsi masyarakat dan memperlambat pertumbuhan ekonomi, terutama di tengah kondisi ekonomi yang sedang melambat.
Hal senada disampaikan peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus. Menurut dia, kenaikan PPN bahkan memicu kenaikan biaya produksi di sektor industri. Hal itu dikhawatirkan akan mempengaruhi utilisasi tenaga kerja dan merembet pada penurunan pendapatan masyarakat.
Harus diakui, kenaikan tarif pajak bukanlah fenomena yang baru di kawasan ASEAN. Beberapa negara tetangga telah mengambil langkah serupa, dengan pendekatan yang berbeda.
Singapura, misalnya. Negara jiran itu memberikan cash voucher (goods and services tax voucher) untuk meringankan beban kelompok berpenghasilan rendah saat GST dinaikkan. Sementara itu, Malaysia menggunakan pendekatan subsidi bahan bakar dan kebutuhan pokok serta bantuan tunai langsung (bantuan sara hidup).
Thailand menggunakan pendekatan co-payment scheme. Di mana, pemerintah menanggung sebagian biaya konsumsi masyarakat. Sementara itu, Vietnam mengarahkan kebijakan pada investasi infrastruktur dan subsidi sektor pertanian.
Terlepas dari semua itu, kebijakan pemerintah dengan fokus pada stimulus ekonomi komprehensif diharapkan dapat menjaga keseimbangan antara peningkatan penerimaan negara dan perlindungan terhadap daya beli masyarakat.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Taofiq Rauf