Harmonisasi nada slendro dan pelog menghasilkan suara unik dan menenangkan jiwa serta memberi energi baru bagi siapa saja yang memainkan dan mendengarkan instrumen-instrumen dalam seperangkat gamelan.
Bengawan Solo
Riwayatmu ini
Sedari dulu jadi
Perhatian insani
Sepenggal lirik Bengawan Solo meluncur lancar dari bibir Jack Flesher. Suara bariton pria tambun berjanggut ini menggema di ruangan kecil bawah tanah gedung Fakultas Musik Universitas Washington. Lagu karya maestro musik Indonesia, mendiang Gesang itu menyeruak di antara tingkah polah lantunan bonang, kenong, gong, slenthem, gambang, gender dan gendang.
Dalam rekaman video berdurasi tiga menit 30 detik produksi VOA dan ditayangkan pada 2 Agustus 2019 terlihat bagaimana Flesher bersama sejumlah rekannya yang notabene adalah warga asing, belajar memainkan instrumen gamelan. Mereka adalah mahasiswa Program Etnomusikologi dari universitas di negara bagian Seattle yang sedang mengikuti kelas gamelan Jawa semester musim semi 2019.
Flesher dan kawan-kawan dibimbing pengajar tamu asal Solo, Jawa Tengah bernama Heri Purwanto. Mereka baru enam minggu diperkenalkan dengan perangkat gamelan, namun sudah lancar memainkan aneka instrumen dan menghasilkan harmonisasi indah dari nada pelog dan slendro khas alat musik tradisional.
"Instrumennya, pola-pola penekanan dan naik-turun tempo telah membuat saya terpesona," kata James Wenlock, rekan Flesher. Wenlock tertarik memainkan slenthem dan gender. Kedua instrumen itu berupa bilah-bilah besi pipih yang disusun berderet di atas sebidang penyangga kayu dengan kotak resonator berada di bawah bilah besi tadi.
Christina M Sunardi adalah sosok di balik kehadiran kelas gamelan Jawa di Universitas Washington. Ia adalah profesor musik pada Program Etnomusikologi Fakultas Musik di Universitas Washington. Ketertarikan Christina pada gamelan Jawa bermula ketika ikut program pertukaran mahasiswa Amerika Serikat di Indonesia pada 1997.
Perempuan yang fasih berbahasa Indonesia ini telah jatuh hati pada gamelan Jawa sejak pandangan pertama. "Saya senang dengan suaranya dan larasnya beda dengan musik Barat," ujarnya. Lewat gamelan, ia juga belajar banyak mengenai budaya Indonesia. Kecintaannya pada gamelan Jawa berlanjut hingga mendapatkan gelar doktor musik dari Universitas Berkeley, California pada 2007. Setahun kemudian perempuan yang mahir menari Jawa ini berkesempatan mengajar di Universitas Washington dan ikut membantu pendirian Departemen Tari di sana.
Sejumlah karya ilmiah internasional telah dihasilkannya mengenai gamelan dan budaya Jawa. Saat ini ia memimpin kelompok Gamelan Pacifica yang berpusat di Seattle. Para anggotanya didominasi warga Seattle dan kerap mengadakan pertunjukan kesenian di festival-festival budaya lokal. Ia sendiri lebih memilih peran sebagai penari Jawa dalam kelompok gamelan tersebut.
Gamelan tidak hanya dipelajari di Universitas Washington. Di Universitas Berkeley, telah ada kelompok gamelan Jawa Sari Raras yang eksis sejak 1988 silam. Di kampus ini, alat musik gamelan sudah ada sejak 1972, sayangnya hanya teronggok sebagai pajangan budaya saja dan tidak pernah dimainkan. Alasannya sederhana, tidak ada yang mengajarkan.
Hingga akhirnya pengelola kampus bersua dengan dalang sekaligus pemerhati gamelan, Ki Midiyanto dan bersedia mengajarkan selama 15 tahun lamanya. Saat ini Sari Raras menjadi salah satu kelompok gamelan Jawa terkemuka di Negara Paman Sam. Mereka telah berkeliling dunia mementaskan kemahiran warga AS memainkan gamelan Jawa.
AS termasuk memiliki banyak komunitas kampus pegiat gamelan. Misalnya Ensembel Musik Gamelan Jawa Universitas Minnesota dengan pengajar bernama Joko Sutrisno. Di University of Michigan terdapat Kyai Telaga Madu di mana perangkat gamelannya sudah ada sejak 1966. Perangkat itu dibeli oleh profesor musikologi mereka, Wiiliam P Malm untuk keperluan perkuliahan.
Peralatan serupa juga sudah dimiliki pihak Wesleyan University di Midletown, Connecticut sejak 1960-an. Mereka juga telah membentuk grup gamelan Jawa dan kelas khusus gamelan di kampus itu. Kelas gamelan Jawa juga diadakan di Seattle Pacific University. Pengajarnya doktor musik spesialis gamelan, Mas Peter Park--begitu warga asli AS ini menyebut dirinya. Ada lagi sanggar Sekar Kembar (San Jose University), Kyai Guntur Sari (Lewis and Clark College), juga di Wiscounsin, Northern Illionis, Oberlin dan masih banyak lagi yang menggemari dan berlatih gamelan Jawa di kampus mereka.
Tak hanya gamelan Jawa. Kampus-kampus di AS ikut mempelajari gamelan Bali dan Sunda. Contohnya Cahaya Asri di Lawrence University, sebuah grup gamelan Bali dari kalangan kampus. Pengajar tetapnya yakni I Dewa Ketut Alit Adnyana, guru dan ahli gamelan Bali. Mata kuliah ini diajar tiga jam per minggu. Kemudian Saraswati, grup gamelan Bali dari Universitas Maryland yang dibentuk 2001 dan diajar oleh I Wayan Beratha. Di Universitas Santa Clara juga ada grup gamelan Bali.
Milik Masyarakat Dunia
Sedangkan di Memorial University of Newfoundland, Kanada ada Segara Asih, grup kesenian yang memainkan gamelan Sunda. Mereka dibentuk pada 2013 dan Tentrem Sarwanto dipilih sebagai pengajarnya. Hal serupa juga terjadi di Universitas Pittsburg ketika kelas pertama musik etnik gamelan Sunda mulai dibuka pada 1997 oleh profesor musik setempat, Andrew Weintraub. Kampus di Hawaii pun tak mau kalah. Pengelola University of Hawaiʻi at Mānoa di Honolulu pun membangun kelas gamelan dengan pengajar yaitu Hardja Susilo.
Kecintaan pada gamelan tak hanya menguasai kampus-kampus di AS. Di Inggris, kesenian gamelan sudah mendarah daging bagi sebagian warga kampus. Sebut saja komunitas Duta Laras yang terbentuk di kampus ternama Cambridge University sejak 1983. Bahkan ada dua komunitas gamelan kampus yang namanya melejit di benua Eropa dan acap konser berkeliling dunia, yakni Nogo Abang (Cardiff University) dan Sekar Petak (University of York).
Di Plymouth University, mata kuliah gamelan Bali selalu disesaki mahasiswa. Pengajar mata kuliah ini, Mike McInerney mengaku setiap semester, kelasnya selalu diikuti oleh sedikitnya 100 mahasiswa dan 98 persen merupakan warga Inggris dan Eropa. Hal unik terjadi di University of Manchester. Tiap kelas musik gamelan justru dibatasi pesertanya, tak boleh lebih dari 16 orang saja. Waktunya pun tergolong singkat, 40-45 menit saja per sesi. Pengelola kampus bilang, strategi ini terpaksa diambil mengingat tingginya animo terhadap gamelan.
Di Jerman, kampus Universitas Passau bisa dibilang sebagai pelopor kelas gamelan. Andrew Varsanyi, doktor etnomusikologi setempat menjadi pengajarnya. Pak Andrew, demikian para mahasiswa memanggilnya, memilih gamelan Bagi sebagai fokus mata kuliahnya. Ia juga membentuk kelompok gamelan bernama Tidak Apa-Apa. Seperti dikutip dari blog pribadinya, ia menyebut gamelan dapat membangkitkan energi para pemainnya meski mereka datang dari beragam latar belakang. Ini adalah tradisi budaya yang begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Di Chikushi Jogakuen University, Fukuoka, Jepang ada profesor musik Fumi Tamura yang siap membagikan pengetahuannya mengenai gamelan kepada mahasiswa yang berminat belajar di kelas gamelan. Di Kuntachi College of Music terdapat kelompok gamelan Sekar Jepung, lalu kelompok Dharma Budaya (Osaka University).
Sementara itu, grup gamelan Lambang Sari milik Tokyo University Fine Art and Music merupakan salah satu kelompok seni budaya asing terbaik Jepang. Berdiri sejak 1985, grup yang beranggotakan seluruhnya orang Jepang ini sering diundang pada acara-acara festival kebudayaan di Negara Matahari Terbit itu.
Kemudian di Australia ada mata kuliah gamelan Jawa di University of Melbourne dan perkuliahan gamelan Jawa di University of Sydney. Di New Zealand School of Music (NZSM) ada mata kuliah gamelan. Kode mata kuliahnya PERF250-Special Indonesian Gamelan. Pelajaran gamelan di kampus ini sudah ada sejak 1975 silam, buah kesepakatan KBRI Wellington dan NZSM.
Maka patutlah kita berterima kasih kepada Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) karena telah menobatkan gamelan sebagai Warisan Budaya Takbenda milik dunia. Karena dari harmonisasi nada-nada indah yang dihasilkannya, ada begitu banyak warga dunia terpesona dibuatnya.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari