Pemerintah melaksanakan penanganan 31 rumah rekomendasi penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM di Aceh. Beberapa di antaranya merupakan rumah adat.
Wajah pria asal Aceh bernama Ayyub bersemburat senyum. Pria kelahiran 61 tahun silam itu menghuni sebuah rumah di Desa Paloh Tinggi, Kecamatan Mutiara Timur, Kabupaten Pidie.
Betapa tidak, Ayyup merupakan salah satu dari sekian banyak warga yang menerima bantuan perbaikan rumah dari pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Hari itu, proses perbaikan rumah Ayyub selesai dilakukan.
Dimulai dari pendempulan tiang pondasi, peremajaan cat bangunan, hingga pergantian balok kayu lantai telah dilakukan oleh pihak Kementerian PUPR, tanpa mengubah struktur dan nilai adat dari rumah itu sendiri. “Terima kasih atas bantuan Kementerian PUPR yang telah merenovasi rumah adat masyarakat di Desa Paloh Tinggi ini. Semoga program perbaikan ini terus berlanjut sehingga rumah adat ini terus lestari,” katanya dengan mata berbinar riang.
Rumah adat tradisional merupakan salah satu identitas daerah di Indonesia. Karena selain memiliki ciri khas, unik, juga sarat dengan simbol dan mengandung filosofi khusus. Sadar akan kekayaan budaya tanah air, pemerintah pun berupaya untuk terus mempertahankan keberadaannya.
Langkah yang dilakukan pemerintah, antara lain, memperbaiki atau merenovasi rumah adat yang rusak. Desain yang unik dijadikan rujukan dalam membangun sejumlah bangunan, baik untuk kepentingan melestarikan budaya nenek moyang maupun untuk ciri khusus.
Urusan membangun rumah adat di Kementerian PUPR menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Perumahan. Di bawah direktorat itu, pemerintah melakukan perbaikan atau renovasi atas rumah-rumah adat tersebut.
Pihak Ditjen Perumahan juga memanfaatkan desain rumah adat dalam Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Yang mana kemudian, rumah-rumah itu didorong menjadi sarana hunian pariwisata (sarhunta), di antaranya di Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) Mandalika, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Pemerintah secara khusus juga melakukan perbaikan rumah adat dengan alasan tertentu. Salah satu wujudnya adalah perbaikan rumah adat yang terdampak dalam insiden pelanggaran HAM di Provinsi Aceh.
Proses perbaikan program ini dilaksanakan dengan mengedepankan nilai arsitektur tradisional khas Aceh. Tujuannya, agar generasi muda bisa memahami filosofi rumah adatnya.
“Penanganan perbaikan rumah adat yang terdampak korban pelanggaran HAM di Aceh dilaksanakan dengan mengedepankan nilai arsitektur tradisional. Kami ingin masyarakat Aceh tetap bangga akan budayanya dan generasi muda bisa memahami filosofi bangunan yang ada,” jelas Direktur Jenderal Perumahan Kementerian PUPR Iwan Suprijanto dalam keterangan tertulis, Sabtu (1/7/2023).
Pelestarian Budaya
Menurut Iwan, pelestarian berbagai nilai budaya dan tradisional bangunan khas daerah sebagai prioritas dalam membangun infrastruktur bagi masyarakat. Adapun yang dimaksud rumah adat adalah bangunan yang memiliki ciri khas khusus dan digunakan untuk tempat tinggal oleh suatu suku bangsa.
Rumah adat merupakan salah satu representasi kebudayaan yang paling tinggi dalam sebuah komunitas suku atau masyarakat. Di 2023, merujuk pernyataan Dirjen Iwan, pemerintah sedang melaksanakan penanganan 31 rumah rekomendasi penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM di Aceh yang beberapa di antaranya merupakan rumah adat.
Dalam proses pembangunan di lapangan, kata Iwan, para pekerja konstruksi membangun rumah adat Aceh berbentuk panggung dengan serambi depan, tengah, dan belakang. Rumah juga dibangun cukup tinggi dengan jarak sekitar 2,5 meter dari tanah.
Selain untuk beraktivitas, adanya jarak antara tanah dan lantai rumah adat Aceh adalah untuk menghindarkan warga dari serangan binatang buas. Mengingat di masa lalu, mereka tinggal di dalam kawasan hutan.
Pembangunan rumah panggung juga bertujuan untuk meminimalkan dampak bencana alam, seperti banjir, bagi penghuninya. Selain mengandung nilai keselamatan, filosofi dari arsitektur rumah adat Aceh itu juga terkait dengan nilai kehidupan sosial masyarakat.
Di mana, rumah berbentuk panggung ini didirikan agar orang-orang tetap bisa beraktivitas di bawah rumah. Diketahui, dahulu masyarakat Aceh banyak melaksanakan aktivitasnya di bawah rumah.
Bagian bawah atau kolong rumah adat Aceh dapat dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan hasil tani atau hasil melaut, karena memang sebagian besar warga berprofesi sebagai petani dan nelayan. Mereka juga menyimpan alat melaut seperti jaring dan jala serta alat pertanian di areal bawah rumah. Sedangkan anak-anak juga acap bermain di bawah rumah dan para ibu seringkali menumbuk beras di lokasi tersebut.
Adapun bagian pintu rumah adat Aceh dibuat sedikit lebih rendah dan diberi balok melintang. Tujuannya agar setiap orang yang hendak masuk harus menunduk terlebih dahulu. Filosofinya itu memiliki makna penghormatan tamu terhadap tuan rumah dengan tidak mendongakkan kepala saat bertandang.
Selain itu, sisi rumah adat Aceh selalu menghadap ke timur dan barat daya. Hal itu menjadi kebiasaan masyarakat karena mayoritas masyarakat Aceh menganut agama Islam. Sehingga, salah satu sisinya dibuat menghadap kiblat. Dengan desain itu pula, angin kencang yang kerap bertiup antara dua arah tersebut, membuat bangunan bisa terselamatkan bila terjadi badai.
Bagian atap rumah adat Aceh sendiri terbuat dari daun rumbia yang dianyam oleh masyarakat. Daun rumbia dipilih karena ringan dan memberikan hawa sejuk. Selain itu pada bagian barat luar rumah biasa ditanam pohon besar dan rindang. (*)
Penulis: Dwitri Waluyo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari