Simontana, teknologi inovatif berbasis satelit, membantu menjaga kelestarian hutan Indonesia dengan pemantauan real-time. Kini, langkah menjaga paru-paru dunia semakin kuat dan terukur.
Hutan menjadi bagian penting bagi keberlangsungan makhluk hidup di muka bumi. Karena itu hutan kerap dijuluki sebagai paru-paru dunia dan wajib dijaga kelestariannya. Indonesia adalah salah satu pemilik hutan terluas di dunia. Menurut data Organisasi Pangan Dunia (FAO) tahun 2022, Indonesia menempati urutan kedelapan negara dengan tutupan hutan terluas di dunia. FAO mencatat, luas hutan Indonesia mencapai 92 juta hektare (ha).
Sedangkan melansir data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) per 2023, luas hutan Nusantara ditetapkan seluas total 125,7 juta ha atau 65,5 persen dari luas daratan. Sebanyak 57,1 persen berupa hutan produksi, 24,5 persen berbentuk hutan lindung, dan 18,4 persen adalah hutan konservasi. Menurut Undang-Undang nomor 41 tahun 1999, hutan produksi adalah kawasan hutan yang berfungsi memproduksi hasil hutan seperti kayu, rotan, bambu, getah, buah, madu, daun, dan lainnya.
Selanjutnya, hutan lindung adalah kawasan hutan yang berfungsi sebagai perlindungan dan bagian dari sistem penyangga kehidupan seperti untuk mengatur tata air, mencegah banjir dan instrusi air laut, mengendalikan erosi, dan fertilisasi tanah. Kemudian, hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri tertentu yang berfungsi sebagai tempat pengawetan dan pelestarian keanekaragaman flora dan fauna serta ekosistemnya.
Pada kenyataannya, hutan Indonesia terkadang berkurang luas tutupannya. Pembukaan lahan baru, pembalakan liar ditambah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi penyebab terjadinya deforestasi tersebut. Namun, sejak 2020, laju deforestasi turun drastis. Jika pada 2019 terjadi deforestasi pada lahan seluas total 462,5 ribu ha, maka di 2020 mengalami penurunan menjadi tak lebih 115,5 ribu ha dan 113,5 ribu ha di 2021. Kemudian di 2022 berkisar di angka 104 ribu ha saja.
Salah satu kunci berkurangnya laju deforestasi hutan Nusantara adalah kehadiran Sistem Monitoring Hutan Nasional (Simontana). Bentuknya berupa aplikasi digital yang dapat diunggah pada platform Google Play Store. Isinya berupa informasi data terkini (realtime) bagi publik mengenai kondisi dan kawasan hutan di Indonesia. Data pada Simontana di antaranya akan menampilkan acuan kebijakan, invetarisasi lahan dan hutan, indeks kualitas lingkungan hidup, pengendalian deforestasi, penanganan lahan kritis, dan tata kelola hutan primer.
Seperti dikutip dari website KLHK, Simontana telah dikembangkan sejak 1990 silam. Awalnya, Simontana dimulai dengan interval enam tahunan untuk menyuplai data berbentuk archive dimulai pada 1990. Setelah itu, interval tiga tahunan dimulai pada 2000 dan interval tahunan sejak 2011 hingga sekarang. Aplikasi ini dikembangkan agar mampu menghasilkan data hutan dengan lebih cepat, akurat, dan disajikan secara transparan sebagai sarana pengawasan data hutan secara berkala.
Pada 2015, Simontana dipakai KLHK untuk memanau area bekas karhutla, dan pada 2017, pemantauannya dilakukan secara bulanan. KLHK juga menggandeng Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) guna membuat data change detection untuk produksi penutupan lahan secara semiotomatis. Sejak 2018, untuk menghitung luas lahan terdampak karhutla secara akurat, KLHK mulai menggunakan citra satelit beresolusi tinggi.
Simontana adalah sebuah platform pemantauan terintegrasi yang menampilkan teknologi penginderaan jarak jauh dan terestrial berbasis satelit milik Landsat. Hal tersebut diucapkan oleh Menteri KLHK Siti Nurbaya ketika menjadi pembicara diskusi terkait peningkatan fungsi hutan berkelanjutan di sela-sela mengikuti pertemuan tahunan Komite Kehutanan (COFO) FAO ke-27 di Roma, Italia, Selasa (23/7/2024).
Menteri Siti menguraikan, Simontana menjadi platform pendukung pencapaian pengelolaan hutan lestari dan ketahanan iklim. "Simontana menyediakan data penting yang mencakup sumber daya hutan, jenis tutupan, perkiraan volume, laju pertumbuhan, penilaian hutan nasional, dan status keanekaragaman hayati di dalam kawasan hutan,” jelas Siti Nurbaya.
Sebagai tempat penyimpanan data tutupan hutan nasional, Simontana sangat penting untuk pelaksanaan perencanaan kehutanan dan strategi mitigasi iklim. Ketersediaan data secara realtime di Simontana menjadi bekal penting untuk para pemangku kepentingan bagi perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan secara tepat waktu. Terutama dalam upaya Indonesia mengejar target FOLU Net Sink saat2030 mendatang.
Pakar penginderaan jarak jauh Indonesia, Indroyono Soesilo yang juga ketua umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dalam kesempatan sama menambahkan, data pada Simontana menjadi panduan berguna untuk anggota APHI dalam menjalankan aktivitas di lapangan. Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman pada Kabinet Kerja tersebut, data pada Simontana dapat dijadikan basis perencanaan kehutanan, pemantauan perlindungan hutan, pemantauan penanaman dan produksi, inventarisasi gambut, serta sebagai aksi mitigasi.
Untuk perencanaan kehutanan, data Simontana dipakai untuk pengecekan lapangan menggunakan citra satelit resolusi tinggi. Kegiatan itu untuk memastikan akurasi dan validitasnya yang kemudian hasilnya dipetakan dan dilakukan digitalisasi. Karena itu, Simontana dapat menjadi media interaktif dan dinamis yang menawarkan daa komprehensif mengenai tren deforestasi dan degradasi hutan sejak 1990.
Terobosan yang masuk dalam jajaran Top 99 Inovasi Pelayanan Publik 2020 versi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) ini mendapat pujian dari Wakil Sekretaris Jenderal FAO, Maria Helena Semedo. Ia mengatakan, FAO menghargai inovasi Indonesia dalam menjaga kelestarian hutan. Menurut data FAO, dalam rentang 1990--2020, dunia telah kehilangan 420 juta ha lahan hutan.
Oleh sebab itu, menjaga kelestarian hutan Nusantara sebagai paru-paru dunia menjadi tanggung jawab bersama setiap elemen bangsa. Karena hutan menjadi faktor penting dalam menghadapi perubahan iklim dan dampak ikutan lain jika hutan tidak dipertahankan kelestariannya.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari