Indonesia.go.id - Dari Kas Negara ke Kantong Bank: Sebuah Urgensi Ekonomi dan Kepatuhan Konstitusi

Dari Kas Negara ke Kantong Bank: Sebuah Urgensi Ekonomi dan Kepatuhan Konstitusi

  • Administrator
  • Senin, 22 September 2025 | 14:00 WIB
PEREKONOMIAN INDONESIA
  Karyawan menghitung uang di BSI KC Semarang Ahmad Yani, Semarang, Jakarta, Kamis (27/2/2025). Bank Indonesia mencatat likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas (M2) pada Januari 2025 tercatat sebesar Rp9.232,8 triliun atau tumbuh sebesar 5,9 persen (yoy) yang dipengaruhi perkembangan penyaluran kredit dan aktiva luar negeri bersih. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/wpa.
Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa telah menetapkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 276 Tahun 2025. Keputusan tersebut ditetapkan dan mulai berlaku pada Jumat, 12 September 2025.

Di sebuah kios kecil pakaian thrifting di Pasar Senen, Jakarta Pusat, Rudy Sembiring tengah menghitung lagi uang modalnya. Ia baru saja menolak tawaran pembelian grosir karena stok terbatas dan modal berputar tipis.

“Kalau ada tambahan pinjaman, saya bisa lebih banyak ambil barang. Tapi syarat bank berat,” keluh Rudi, Rabu (17/9/2025), dengan raut wajah yang sedikit merengut.

Keluhan seperti Rudy bukanlah cerita baru. Di banyak kota, para pedagang, pelaku UMKM, hingga petani dan nelayan menghadapi kesulitan akses kredit. Sulitnya akses kredit bisa saja terjadi karena memang Rudy belum memenuhi persyaratan untuk mendapatkan kredit.

Tapi, banyak yang beranggapan bahwa kesulitan yang dialami Rudy mungkin saja disebabkan karena adanya keterbatasan likuiditas yang dimiliki perbankan.

Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa telah menetapkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 276 Tahun 2025. Keputusan tersebut ditetapkan dan mulai berlaku pada Jumat, 12 September 2025.

Sesuai KMK ini, penempatan uang negara dilakukan pada lima bank umum mitra, yaitu Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Mandiri, Bank Tabungan Negara (BTN), dan Bank Syariah Indonesia (BSI).

Penempatan uang tersebut dilaksanakan dengan limit mitra kerja pada masing-masing bank umum mitra yaitu: BRI sebesar Rp55 triliun, BNI sebesar Rp55 triliun, Bank Mandiri sebesar Rp55 triliun, BTN sebesar Rp25 triliun, dan BSI sebesar Rp10 triliun.

Polemik Dimulai

Rektor Universitas Paramadina, Didik Junaidi Rachbini, mengkritik langkah Menkeu tersebut. Didik menilai, penempatan dana tersebut melanggar konstitusi dan beberapa undang-undang (UU) yang berlaku.

"Kebijakan spontan pengalihan anggaran negara Rp200 triliun ke perbankan dan kemudian masuk ke kredit perusahaan, industri atau individu merupakan kebijakan yang melanggar prosedur yang diatur oleh Undang-Undang Keuangan Negara dan Undang-Undang APBN, yang didasarkan pada Undang-Undang Dasar," ujar Didik dalam siaran pers awal pekan ini.

Ia menekankan, proses penyusunan, penetapan, dan alokasi APBN diatur oleh tiga hal. Pertama UUD 1945 Pasal 23, berikutnya Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan terakhir UU APBN setiap tahun. Aturan itu adalah prosedur resmi dan aturan main ketatanegaraan yang harus dijalankan.

Menurut Didik, proses kebijakan yang benar harus dijalankan berdasarkan aturan main. Pasalnya, jika tidak maka pada masa mendatang akan menjadi preseden buruk bahwa anggaran publik dipakai seenaknya, semau gue, dan sekehendak pejabatnya secara individu.

Program-program yang disusun teratur ada di dalam nota keuangan yang secara resmi diajukan oleh pemerintah kepada DPR. Karena anggaran negara ialah ranah publik, sambung dia, proses politik lewat legislasi dinilai mesti dijalankan bersama oleh DPR dengan pembahasan-pembahasan di setiap komisi dengan menteri-menteri dan badan anggaran.

Setiap rupiah dari anggaran negara harus lewat pembahasan dengan DPR. Hal itu berdasarkan asumsi yang disepakati komisi-komisi bahas alokasi K/L, dan Badan Anggaran merumuskan secara hasil akhir pembahasan tersebut, untuk kemudian disetujui disetujui DPR dalam sidang paripurna.

Setelah melewati proses legislasi seperti itu, kata Didik, anggaran negara tersebut bisa dialokasikan untuk dilaksanakan di sektor-sektor oleh kementerian/lembaga dan di daerah oleh pemda.

Pengeluaran dana Rp200 triliun juga berpotensi melanggar UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, terutama Pasal 22, ayat 4, ayat 8, dan ayat 9.

Didik menilai, jelas bahwa tujuan dan jumlah penempatan dana pemerintah di bank umum hanya untuk kepentingan operasional pengeluaran APBN yang jumlah dan penggunaannya sudah ditetapkan DPR. Bukan untuk disalurkan oleh bank ke industri melalui skema kredit umum yang lepas dari pembiayaan APBN.

Bantahan Istana: Tuduhan Langgar Konstitusi Keliru

Ekonom Senior sekaligus Tenaga Ahli Utama-Kantor Komunikasi Kepresidenan Fithra Faisal Hastiadi, PhD menanggapi pernyataan ekonom INDEF yang juga akademisi Prof. Didik J. Rachbini.

Fithra menepis kekhawatiran yang menyebut kebijakan penempatan dana Rp 200 triliun akan menjadi preseden pelemahan institusi.

"Logika ini keliru. Penempatan dana bukanlah belanja pemerintah pusat. Belanja adalah pengeluaran yang mengurangi kas negara secara permanen, seperti gaji pegawai, belanja modal, subsidi, dan wajib melalui persetujuan DPR," jelas Fithra.

Penempatan dana, lanjutnya, hanyalah memindahkan lokasi penyimpanan kas pemerintah dari Bank Indonesia ke bank umum (Himbara). Dana tersebut tetap tercatat sebagai kas negara di Rekening Kas Umum Negara (RKUN). Sehingga, bisa ditarik kembali kapan saja, dan tidak menambah program baru.

"Menganggap penempatan kas sama dengan belanja, sama saja dengan menyamakan seseorang yang memindahkan tabungan dari Bank A ke Bank B demi bunga lebih tinggi, dengan seseorang yang menghabiskan uangnya untuk belanja barang. Secara akuntansi dan hukum, keduanya berbeda jauh," papar Fithra.

Fithra juga menegaskan, kritik yang menyebut kebijakan ini melanggar UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara juga tidak tepat. Menurutnya, Pasal 22 ayat (4) justru memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk membuka rekening penerimaan dan pengeluaran di bank umum.

Selama dana yang ditempatkan tidak digunakan untuk membiayai program di luar APBN, maka tidak ada pelanggaran pasal 22 ayat 8–9. Kebijakan ini juga diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan dan diaudit oleh BPK, artinya dijalankan sesuai tata kelola keuangan negara.

"Penempatan dana di bank umum justru merupakan bentuk manajemen kas yang prudent, agar dana mengendap bisa memberi manfaat. Bisa menghasilkan bunga (PNBP) dan menambah likuiditas perbankan untuk menyalurkan kredit produktif ke sektor-sektor prioritas," urai Fithra.

Penempatan kas di bank umum adalah kebijakan manajemen kas yang sah, transparan, dan pro pertumbuhan. Bukan belanja baru yang memerlukan revisi UU. "Publik berhak mendapat informasi yang benar, agar perdebatan kebijakan berlangsung di atas dasar yang solid. Bukan asumsi yang menyesatkan," pungkas Fithra.

Bantahan Menkeu

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjelaskan bahwa alokasi dana sebesar Rp 200 triliun tidak termasuk dalam perubahan anggaran. Kementerian Keuangan telah melakukan konsultasi dengan para ahli hukum sebelum mengambil keputusan tersebut.

"Pak Didik salah undang-undangnya. Saya tadi ditelepon Pak Lambok, ahli undang-undang. Dia bilang sama saya, Pak Didik salah. Dan hal ini [kebijakan penempatan dana] pernah dilakukan sebelumnya," ungkap Purbaya.

"Dulu pernah dijalankan, tahun 2008, bulan September. 2021, bulan Mei, enggak ada masalah setiap hukum. Jadi Pak Didik harus belajar lagi kelihatannya," ujar Purbaya.

Kebijakan ini tidak berhubungan dengan perubahan anggaran, melainkan hanya merupakan pemindahan dana pemerintah untuk mendukung stabilitas keuangan. Dana yang disimpan di bank-bank milik negara dapat dimanfaatkan dengan cara yang fleksibel sesuai dengan kebutuhan masing-masing bank.

Pemerintah tidak memberikan instruksi yang ketat terkait dengan pengalokasian dana tersebut. Sebagai alternatif, pemerintah menyediakan daftar proyek yang berbasis pasar sebagai panduan bagi bank BUMN jika mereka memerlukan arahan. Namun, keputusan akhir mengenai penyaluran dana tetap berada di tangan bank, berdasarkan pertimbangan bisnis yang mereka miliki.

Walaupun memberikan fleksibilitas, Menteri Keuangan menegaskan bahwa terdapat batasan dalam pemanfaatan dana tersebut. Ia menjelaskan bahwa bank-bank BUMN tidak diperkenankan untuk menggunakan penempatan dana mereka dalam membeli surat berharga tertentu.

"Yang kita bilang jangan dipakai beli bond, dan jangan dipakai beli SRB, hanya itu saja. Yang lain, market base, suka-suka mereka," tegas Purbaya.

Selain dari larangan tersebut, bank-bank memiliki kebebasan untuk menyalurkan dana ke berbagai sektor produktif yang berbasis pasar. Diharapkan, langkah ini dapat menjaga likuiditas serta mendukung pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Memacu Likuiditas Perbankan

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai dengan adanya penyaluran dana sebesar Rp 200 triliun dari pemerintah ke perbankan maka akan memacu likuiditas perbankan.

Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan kinerja penyaluran kredit perbankan akan mengalami perbaikan setelah adanya kebijakan ini. Khususnya dengan melihat loan to deposit ratio (LDR).

LDR merupakan rasio keuangan yang mengukur kemampuan bank dalam menyalurkan dana pinjaman terhadap total dana yang dihimpunnya dari nasabah.

Adapun nilai LDR yang ideal berada pada kisaran 70-90 persen karena bank cukup agresif menyalurkan kredit, kata Mahendra, tetapi tergolong masih likuid. Bila berada di atas 90 persen maka bank mulai berisiko karena terlalu banyak kredit sehingga bisa mengancam likuiditas.

“Dengan adanya dana Rp 200 triliun ini maka LDR mereka sekarang turun di bawah 90 persen sehingga memberikan ruang lebih besar bagi bank-bank itu untuk memberikan pinjaman, kredit kepada debitur yang menyampaikan bentuk proposalnya dan juga proyek untuk aplikasi,” kata Mahendra sat ditemui di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Selasa (16/9/2025).

Sementara itu, dana pihak ketiga (DPK) saat ini sudah berada di atas 20 persen. Sebelumnya dana pihak ketiga berada di bawah 20 persen. “Memang 20 persen itu threshold yang baik untuk mengukur likuiditas suatu bank termasuk dari sisi DPK. Nah ini pada gilirannya akan diserahkan kepada bank untuk menilai mana yang baik untuk bisa dilakukan,” ujar Mahendra.

Mahendra memastikan, setiap bank memiliki kewenangan untuk melakukan penyaluran. Nantinya setiap bank akan menjalankan analisis risiko dan sejumlah langkah dalam tahap penyaluran.

“Tentu masing-masing bank memiliki kemampuan untuk melakukan analisis risikonya dan tentu semua pelaksanaannya tetap dalam kaidah prudensial yang berlaku. Saya rasa tidak ada yang dikecualikan ataupun dikorbankan di sana,” tegas Mahendra.

Dukungan BI

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyatakan dukungannya terhadap langkah Menteri Keuangan yang memindahkan dana pemerintah ke dalam likuiditas perbankan. 

Menurutnya, kebijakan fiskal tersebut akan memperkuat upaya injeksi likuiditas yang selama ini telah dilakukan oleh bank sentral.

"Kami menyambut baik [langkah] Pak Menteri Keuangan memindahkan dana ke likuiditas perbankan. Pandangan kami, itu memperkuat injeksi likuiditas yang sudah kami lakukan," kata Perry dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) di Jakarta, Rabu (17/9/2025).

Perry kemudian merinci besaran injeksi likuiditas yang telah digelontorkan oleh BI.  Totalnya mencakup penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) melalui kebijakan SRPI sebesar Rp200 triliun, pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder senilai Rp217 triliun, serta insentif likuiditas makroprudensial mencapai Rp384 triliun.

Selain pemindahan dana, Perry juga mengapresiasi paket program baru yang diumumkan pemerintah serta rencana ekspansi kebijakan fiskal ke depan. 

Ia meyakini sinergi antara kebijakan moneter BI dan fiskal pemerintah akan berdampak positif pada perekonomian.

Menurutnya, langkah-langkah fiskal tersebut akan mendorong pertumbuhan di berbagai sektor dan meningkatkan aktivitas dunia usaha. "Dan ujungnya akan juga mendorong permintaan kredit," pungkas Perry.

Antara Kepercayaan, Harapan dan Risiko

Penempatan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun di bank BUMN, pada akhirnya, bukan hanya soal manajemen kas. Ia adalah cermin dari bagaimana pemerintah mengelola amanah publik: menjaga stabilitas keuangan sekaligus memastikan manfaatnya dirasakan hingga ke lapisan terbawah masyarakat.

“Kalau memang uang itu benar-benar bikin kami lebih mudah pinjam modal, saya dukung,” kata Rahmah sambil merapikan dagangannya. Di balik senyumnya, tersimpan harapan, agar dana Rp200 triliun yang diperdebatkan itu benar-benar menjadi nafas baru bagi rakyat kecil.

Di balik angka-angka dan istilah teknis, sesungguhnya pertaruhan terbesar adalah kepercayaan publik. Apakah Rp200 triliun dana rakyat benar-benar dikelola sesuai tata kelola keuangan negara? Ataukah kritik soal “melanggar konstitusi” akan terus membayangi kebijakan ini?

Bagi sebagian kalangan, kebijakan ini adalah wujud fleksibilitas fiskal untuk menopang pertumbuhan. Bagi lainnya, ini rawan menjadi preseden buruk bila hukum tak dijadikan landasan utama.

Seperti uang yang kini mengalir ke bank-bank besar, perdebatan ini pun terus bergerak: menembus ruang seminar, ruang sidang DPR, hingga meja warung kopi. Satu hal pasti, Rp200 triliun ini bukan sekadar angka di neraca negara—ia adalah potret bagaimana bangsa ini mengelola amanah publik, di persimpangan antara urgensi ekonomi dan kepatuhan konstitusi.

 

Penulis: Ismadi Amrin
Redaktur: Untung S

Berita ini sudah terbit di infopublik.id: https://infopublik.id/kategori/sorot-ekonomi-bisnis/938305/dari-kas-negara-ke-kantong-bank-sebuah-urgensi-ekonomi-dan-kepatuhan-konstitusi