Salah satu langkah konkret untuk menurunkan emisi adalah dengan melakukan diversifikasi energi fosil dengan energi terbarukan.
Pemerintah Indonesia sudah menegaskan komitmen penurunan emisi pada momen COP 26 2 November 2021. Indonesia akan dapat berkontribusi lebih cepat bagi net-zero emission dunia. Salah satu langkah konkret untuk menurunkan emisi adalah dengan melakukan diversifikasi energi fosil dengan energi terbarukan sesuai dengan yang sudah ditetapkan, yakni 23% pada 2025.
Tahun 2020 bauran energi primer energi baru terbarukan (EBT) Indonesia baru mencapai 11,2%. Sedangkan target bauran 3% terjadi pada 2025.
Dalam rangka mempercepat pembangunan EBT dan dengan mempertimbangkan waktu pembangunan yang cepat dan kompetitif dari segi harga, Kementerian ESDM sedang mendorong pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), baik PLTS Atap skala kecil, PLTS Terapung, maupun PLTS dengan skala besar yang tersebar di seluruh Indonesia.
Rencana pengembangan PLTS terdiri dari pengembangan PLTS Atap dengan target 2025 sebesar 3,61 giga watt (GW). PLTS terapung berpotensi dikembangkan sebesar 26,65 GW, serta PLTS Skala Besar ditargetkan sampai dengan 2030 mencapai 4,68 GW.
Langkah selanjutnya yang dilakukan Kementerian ESDM adalah menetapkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2021-2030 yang merupakan Green RUPTL dengan penambahan Kapasitas EBT 20,9 GW (51,6%) dan dikembangkan secara merata di semua sistem kelistrikan dengan memperhatikan neraca daya sistem.
RUPTL ini membuka peran IPP lebih besar termasuk dalam pengembangan pembangkit berbasis EBT, yakni akan mengembangkan 63,7% dari total 4.680 MWP pembangkit listrik tenaga surya PV. Khusus untuk PLTS on-grid, swasta akan mengembangkan 54,4% dari total 3.236 MWP. Dalam RUPTL ini juga tidak ada lagi rencana PLTU baru kecuali yang sudah committed dan konstruksi, hal ini juga membuka ruang yang cukup besar untuk pengembangan EBT menggantikan rencana PLTU dalam RUPTL sebelumnya.
Sementara itu, kegiatan prioritas ESDM tahun 2022 bidang EBTKE dan ketenagalistrikan di antaranya pemasangan 79 unit PLTS Atap, 22.000 paket Penerangan Jalan Umum Tenaga Surya (PJU-TS), 3 unit Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH), 11.347 paket Alat Penyalur Daya Listrik (APDAL), revitalisasi 11 unit pembangkit listrik EBT, dan bantuan sambung baru listrik sebanyak 80.000 sambungan di yang tersebar di 32 provinsi.
Sebagai upaya pemerintah dalam mencapai target energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral nomor 26 tahun 2021 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang Terhubung Pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU).
Peraturan Menteri ini merupakan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya dan upaya memperbaiki tata kelola dan keekonomian PLTS Atap. Peraturan ini juga sebagai langkah untuk merespons dinamika yang ada dan memfasilitasi keinginan masyarakat untuk mendapatkan listrik dari sumber energi terbarukan, serta berkeinginan berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca.
"Permen ESDM nomor 26 tahun 2021 tentang PLTS Atap ini dapat dilaksanakan dan telah didukung oleh seluruh stakeholder sesuai hasil rapat koordinasi yang dipimpin oleh Bapak Menteri Koordinator bidang Perekonomian pada 18 Januari 2022", ujar Direktur Jenderal EBTKE Dadan Kusdiana di Jakarta, Jumat (21/1/2022).
Pada rapat tersebut telah disepakati beberapa hal yang menjadi perhatian dalam implementasi Permen ESDM nomor 26 tahun 2021, yang berdampak nasional di antaranya potensi kenaikan biaya pokok pembangkitan (BPP), subsidi dan kompensasi, potensi kehilangan penjualan PT PLN serta potensi pendapatan dari capacity charge.
Dampak APBN yang berkaitan dengan potensi peningkatan subsidi dan kompensasi dipengaruhi oleh pertumbuhan pemintaan listrik. Semakin besar permintaan listrik maka dampak terhadap subsidi dan kompensasi semakin kecil. Hal ini menjadi penting agar program pemerintah berkenaan creating demand listrik dapat dipercepat.
Berdasarkan proyeksi yang dilakukan oleh Kementerian ESDM, target PLTS Atap sebesar 3,6 GW yang akan dilakukan secara bertahap hingga tahun 2025, akan berdampak positif pada hal-hal di antaranya:
- Berpotensi menyerap 121.500 orang tenaga kerja;
- Berpotensi meningkatkan investasi sebesar Rp45 triliun sampai dengan Rp63,7 triliun untuk pembangunan fisik PLTS dan Rp2,04 triliun s/d Rp4,1 triliun untuk pengadaan kWh Exim;
- Mendorong tumbuhnya industri pendukung PLTS di dalam negeri dan meningkatkan daya saing dengan semakin tingginya Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN);
- Mendorong sektor jasa produk hijau dan industri hijau untuk menghindari penerapan carbon border tax di tingkat global;
- Menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 4,58 Juta Ton CO2e;
- Berpotensi mendapatkan penerimaan dari penjualan nilai ekonomi karbon sebesar Rp0,06 triliun/tahun (asumsi harga karbon 2 USD/ton CO2e).
Adapun substansi pokok dari Permen ESDM nomor 26 tahun 2021 yaitu:
- Ketentuan ekspor kWh listrik ditingkatkan dari 65% menjadi 100%;
- Kelebihan akumulasi selisih tagihan dinihilkan, diperpanjang dari 3 bulan menjadi 6 bulan;
- Jangka waktu permohonan PLTS Atap menjadi lebih singkat (5 hari tanpa penyesuaian Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) dan 12 hari dengan adanya penyesuaian PJBL);
- Mekanisme pelayanan berbasis aplikasi untuk kemudahan penyampaian permohonan, pelaporan, dan pengawasan program PLTS Atap;
- Dibukanya peluang perdagangan karbon dari PLTS Atap;
- Tersedianya Pusat Pengaduan PLTS Atap untuk menerima pengaduan dari pelanggan PLTS Atap atau Pemegang IUPTLU; dan
- Perluasan pengaturan tidak hanya untuk pelanggan PLN saja tetapi juga termasuk pelanggan di Wilayah Usaha non-PLN (Pemegang IUPTLU).
Sebagai informasi, proses pelayanan sistem PLTS Atap selama masa transisi masih dilakukan secara manual, belum berbasis aplikasi.
Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari