Indonesia.go.id - Tren Ekspansi Munculkan Optimistis Pebisnis

Tren Ekspansi Munculkan Optimistis Pebisnis

  • Administrator
  • Kamis, 3 Februari 2022 | 06:56 WIB
MANUFAKTUR
  Pekerja menyelesaikan pembuatan perangkat alat elektronik rumah tangga di Bogor, Jabar. ANTARA FOTO
Tren ekspansi manufaktur telah berjalan sejak September 2021. PMI Manufaktur Indonesia berada di fase ekspansif selama lima bulan berturut-turut.

Industri pengolahan dalam negeri menorehkan catatan apik pada awal tahun, seiring dengan Purchasing Managers’ Index atau PMI manufaktur yang mampu mempertahankan laju ekspansinya. Berdasarkan data yang dirilis IHS Markit, PMI Manufaktur Indonesia pada Januari 2022 tercatat sebesar 53,7, naik tipis dari raihan Desember 2021 sebesar 53,5.

Adapun, tren ekspansi manufaktur tersebut telah berjalan sejak September 2021. Dengan demikian, PMI Manufaktur Indonesia berada di fase ekspansif selama lima bulan berturut-turut. Tahap ekspansif sektor manufaktur ditandai oleh angka PMI yang berada di atas 50. 

Sebagai informasi, PMI Manufaktur Indonesia berada di atas angka 50 sejak September 2021. PMI bahkan mencatat rekor tertingginya pada Oktober 2021 (57,2). Dalam laporannya, IHS Markit mengatakan, ekspansifnya PMI Manufaktur pada Januari 2022 mewakili perbaikan kondisi bisnis di seluruh sektor manufaktur Indonesia dalam lima bulan berturut-turut.

"Sektor manufaktur Indonesia terus berekspansi pada tingkat solid di awal 2022. Kondisi permintaan secara umum menguat, sebagian karena kenaikan penjualan dari luar negeri yang mendukung peningkatan lebih tajam pada output manufaktur," tulis IHS Markit, dalam laporannya, Rabu (2/2/2022).

Menurut IHS Markit, angka tersebut mewakili perbaikan kondisi bisnis di seluruh sektor manufaktur Indonesia dengan tingkat pemulihan terkuat sejak November 2021. Kenaikan permintaan barang buatan Indonesia pada bulan lalu juga menjadi yang tertinggi dalam tiga bulan, dengan pesanan ekspor mencatatkan angka rekor.

“Permintaan klien berekspansi pada kisaran lebih tajam, didukung oleh catatan pertumbuhan permintaan baru dari luar negeri. Sementara itu, kenaikan tingkat ketenagakerjaan dan aktivitas pembelian juga terlihat, sekaligus menggambarkan kondisi ekonomi yang lebih baik,” kata Jingyi Pan, Direktur Asosiasi Ekonom IHS Markit dalam keterangannya, Rabu (2/2/2022).

Berkaitan dengan catatan tersebut, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita sebagai penanggung jawab kinerja sektor industri menyebut, ini sangat menggembirakan dirinya. Laporan IHS Markit itu, sambung dia, merupakan sinyal atau indikator bahwa pelaku industri makin optimistis terhadap kondisi ekonomi saat ini.

 

Level Kondusif

Agus meyakini dengan kebijakan penanganan pandemi yang terkendali meski di tengah ancaman gelombang ketiga Covid-19, iklim usaha dapat dipertahankan pada level yang kondusif.

Berbagai kebijakan strategis juga telah dijalankan dalam rangka mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional, termasuk insentif stimulus bagi pelaku usaha agar bisa berproduksi dan berdaya saing.

“Peran penting [industri] dapat dilihat dari kinerja makro sektor industri manufaktur di beberapa indikator, misalnya dari realisasi investasi, capaian ekspor, dan penambahan tenaga kerja,” ungkapnya.

Dari sisi ekspor, industri manufaktur tetap memberikan kontribusi yang paling besar. Nilai ekspor industri manufaktur sepanjang 2021 senilai USD177,1 miliar atau menyumbang hingga 76,49 persen dari total pengapalan nasional.

Senada, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai, sektor industri berada pada jalur pemulihan yang ditunjukkan sejumlah indikator makro, salah satunya PMI manufaktur.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Industri Bobby Gafur Umar mengatakan, dengan capaian vaksinasi Covid-19 dosis kedua di atas 60 persen dan dosis booster yang sudah mulai terdistribusi, ancaman penyebaran varian Omicron bisa ditanggulangi.

Terlebih, angka kematian masih terkendali meski jumlah lonjakan kasus cukup tinggi. “Yang penting mobilitasnya tinggi, kemudian consumer index-nya juga tinggi di atas 100, inflasi rendah. Semua memperlihatkan bahwa industri on the right track,” ujarnya.

Jalur pemulihan manufaktur, lanjut Bobby, juga didukung upaya pemerintah untuk penghiliran industri, terutama di sektor yang berbasis sumber daya alam.

Pembangunan kawasan industri untuk mendorong klaster-klaster pertumbuhan baru juga sejalan dengan tujuan tersebut. Sementara itu, hal yang menjadi tantangan ke depan bagi industri adalah lonjakan inflasi, terutama pada biaya pengapalan dan bahan baku akibat ketidakseimbangan suplai dan permintaan selama pandemi.

Pada industri yang lahap energi, kenaikan harga batu bara juga berpotensi menahan pertumbuhan. Hal-hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah agar pemulihan tetap berada di jalurnya.

“Tentu produk-produk akan jadi mahal. Ini akan lebih besar dampaknya daripada Omicron,” kata Bobby.

Terlepas dari itu, patut diwaspadai adalah penyebaran varian Omicron akan berdampak pada aktivitas manufaktur jika pemerintah menetapkan pembatasan ketat, sebagaimana puncak varian Delta pada tahun lalu.

Dalam laporan Indef belum lama ini, jika hal itu kembali diterapkan, produksi industri dan daya beli masyarakat jadi taruhannya. “Kalau tidak terjadi pembatasan, pemerintah dengan kebijakannya untuk hidup bersama Covid, tidak akan terlalu besar dampaknya ke penurunan kinerja manufaktur. Kalaupun ada penurunan, recovery-nya lebih cepat,” tulis laporan itu,

Yang justru menjadi tantangan adalah ketika gelombang pandemi selanjutnya menyebabkan restriksi ketat di negara-negara mitra dagang Indonesia. Hal ini berisiko menekan kinerja ekspor manufaktur. Seperti telah dialami Vietnam pada awal bulan lalu, tatkala ribuan truk pengangkut buahnya tertahan di perbatasan pengiriman barang Tiongkok, setelah Beijing memperketat aturan barang impor karena Covid-19.

Pelbagai kondisi itu telah menyebabkan kalangan pengusaha berusaha melakukan beberapa opsi, seperti mengefisienkan biaya produksi mereka kendati terjadi peningkatan permintaan barang dari pasar domestik dan luar negeri. Manuver itu terlihat dari kecilnya realisasi serapan tenaga kerja di tengah solidnya ekspansi sejumlah industri manufaktur pada awal tahun ini.

Dengan adanya pandemi ini semua perusahaan itu dipaksa untuk melakukan efisiensi. Kondisi itu berpotensi kapasitas produksi industri bisa berkurang.

Penyesuaian itu bakal tetap berlangsung hingga tahun depan. Dengan demikian, serapan tenaga kerja bakal terkoreksi seiring dengan penyesuaian perusahaan akibat pandemi 2 tahun terakhir.

Menurut data Kemenperin, kementerian itu optimistis serapan tenaga kerja pada industri pengolahan nonmigas dapat memenuhi target mencapai 20,84 juta orang pada tahun ini. Target itu naik 11,8 persen dari torehan 2021 di posisi 18,64 juta orang.

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari