Sepanjang 2021 terjadi 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan di mana 15,2 persennya berupa kekerasan seksual. Sebanyak 45,1 persen dari 14.517 kasus kekerasan terhadap anak berupa kekerasan seksual.
Tepuk gemuruh terdengar dari Ruang Rapat Paripurna DPR RI, Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (12/4/2022) usai Ketua DPR Puan Maharani mengetukkan palu tanda disetujuinya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang.
Kemeriahan yang terjadi di ruang sidang berkapasitas 500 tempat duduk itu menjadi puncak penantian panjang hadirnya produk hukum yang mampu membentengi kaum perempuan, kaum disabilitas, dan anak-anak di Indonesia dari para predator seksual yang selama ini masih bergentayangan. Perwakilan berbagai kelompok masyarakat sipil, akademisi perguruan tinggi, mahasiswa, dan para penyintas kekerasan seksual turut hadir dan bersuka cita menyaksikan momentum bersejarah ini.
Melansir data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), pada 2021 terdapat 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan yang 15,2 persennya adalah kekerasan seksual. Pada 14.517 kasus kekerasan terhadap anak di 2021, sebanyak 45,1 persen atau sekitar 6.547 kasus adalah kekerasan seksual terhadap anak.
UU TPKS terdiri dari 8 Bab dan 93 pasal. Menurut Menteri PPPA Bintang Puspayoga menunjukkan keberpihakan negara terhadap para korban kekerasan seksual. Regulasi itu juga sejalan dengan komitmen Indonesia meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW).
"Ini upaya negara mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi, dan memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum, merehabilitasi pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, dan menjamin tidak berulangnya kejadian kekerasan seksual," ujar Menteri PPPA dalam keterangan persnya.
Undang-undang ini juga menjadi payung hukum atau legal standing bagi aparat penegak hukum untuk menangani setiap jenis kekerasan seksual. Menteri Bintang juga berharap UU TPKS ini memberi manfaat luas ketika dimplementasikan. Terdapat beberapa hal penting yang dicantumkan dalam UU TPKS dan belum terdapat pada produk hukum sejenis.
Misalnya pengkategorian kekerasan seksual sebagai tindak pidana kekerasan seksual. Kemudian adanya pengaturan hukum acara yang komprehensif, mulai tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Tentunya dengan tetap memperhatikan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, dan tanpa intimidasi.
Selanjutnya adalah adanya pengakuan dan jaminan hak kepada korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan, sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual. Ini merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban.
Perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak. "Undang-undang ini memuat tentang victim trust fund atau dana bantuan korban sebagai langkah yang maju bagaimana kita hadir dalam memberikan perlindungan bagi warga negara Indonesia," ujar Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS, Willy Aditya.
UU TPKS mencantumkan sembilan jenis kekerasan seksual yaitu pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi. Kemudian, pemaksaan perkawinan, kekerasan seksual berbasis elektronik, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, dan perbudakan seksual.
Kesembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual itu tercantum di dalam Pasal 4 ayat 1 UU TPKS. Bukan itu saja, UU TPKS pun memberikan hukuman pidana berupa kurungan dan denda material kepada para pelaku kesembilan jenis pelanggaran kekerasan seksual tadi. Seperti tercantum dalam Pasal 5-14 UU TPKS, terdapat sanksi pidana mulai kurungan sembilan bulan hingga 15 tahun serta denda dari Rp10 juta hingga Rp1 miliar untuk tiap pelanggaran jenis-jenis kekerasan seksual.
Dibandingkan dengan usulan awal, ada dua poin dalam jenis-jenis kekerasan seksual yang dihapus, yaitu pemerkosaan dan aborsi. Menurut Willy yang juga Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, keputusan itu diambil karena pidana pemerkosaan akan diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan aborsi telah ada dalam Undang-Undang Kesehatan.
Puan Maharani menyebut disetujuinya UU TPKS merupakan kado istimewa bagi para perempuan di tanah air sekaligus sikap tegas bangsa bahwa tidak ada tempat untuk kekerasan seksual. Hal serupa juga disuarakan Anggota Panja RUU TPKS, Christina Aryani. Ia menilai, kehadiran undang-undang tersebut menjadi wujud semangat perjuangan perempuan Indonesia, khususnya para korban dan penyintas kekerasan seksual.
Bagi Luluk Nur Hamidah, Anggota DPR RI lainnya yang turut dalam Panja, adanya UU TPKS menunjukkan bahwa DPR masih memiliki sense of crisis dan mendengar suara yang tak sampai dari ratusan ribu korban dan penyintas kekerasan seksual yang hak-haknya terabaikan selama ini. "DPR RI siap mencegah dan bahkan menyelamatkan jutaan warga lainnya khususnya kaum perempuan yang rentan menjadi korban kekerasan seksual,” tegas Luluk.
Pembentukan Direktorat PPA Polri
Sementara itu, terbitnya UU TPKS dijadikan momentum bagi Mabes Polri untuk mengembangkan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak menjadi direktorat tersendiri di tingkat Badan Reserse Kriminal Polri dan tiap kepolisian daerah (polda). Ini merupakan komitmen Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo dalam memberikan pelayanan kepolisian terbaik untuk penanganan serta penegakan hukum tindak pidana dengan korban perempuan dan anak.
Demikian dikatakan Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Pol Dedi Prasetyo seperti dikutip Antara. Saat ini prosesnya dalam pengajuan atau usulan yang akan dibahas bersama dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Kementerian Hukum dan HAM, Sekretariat Negara dan lainnya.
Menurutnya, Polri tetap konsisten mempercepat usulan Direktorat PPA di tingkat Bareskrim Polri dan ditindaklanjuti juga sampai polda dan kepolisian resor (polres). "Diharapkan para penyidik dapat menjerat siapa saja yang terbukti melakukan perbuatan pidana seperti diatur dalam undang-undang tersebut. Guna dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku dan dapat memitigasi masalah kekerasan seksual terhadap korban," kata Dedi.
UU TPKS ini pertama kali diinisiasi oleh Komnas Perempuan pada 2012, dengan nama awal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Namun, DPR RI baru meminta naskah akademiknya pada 2016, empat tahun setelahnya. Di tahun yang sama DPR sepakat memasukkannya ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. Presiden Joko Widodo pun menyatakannya dukungannya.
Pada 2017, DPR sempat menyepakati RUU PKS sebagai RUU inisiatif DPR. Namun, pada 2018, DPR memutuskan menunda pembahasan RUU yang dinilai kontroversial itu hingga Pemilu 2019 selesai. Pembahasan RUU PKS pun tidak selesai di masa periode 2014-2019 dan akhirnya dilanjutkan ke DPR periode 2019-2024 sebelum akhirnya disahkan 12 April 2022.
Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Hibnu Nugroho mengatakan UU TPKS merupakan langkah progresif negara untuk melindungi korban kekerasan seksual dan perluasan terminologi sehingga tidak terjadi multitafsir. UU TPKS ini juga mengizinkan lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat ikut berperan dalam proses pendampingan dan perlindungan korban kekerasan seksual.
Selain itu, ada juga ketentuan yang melarang pelaku kekerasan seksual mendekati korban dalam jarak dan waktu tertentu selama berlangsungnya proses hukum. "Ketentuan ini menjadi ujung tombak keselamatan korban kekerasan seksual agar korban aman dan tidak harus melarikan diri dari pelaku," tulis Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) dan Forum Pengada Layanan (FPL) dalam keterangan persnya.
Semoga kehadiran UU TPKS menjadi jawaban bagi para pencari keadilan terutama korban dan penyintas kekerasan seksual untuk mendapatkan kepastian hukum agar hak-hak mereka terlindungi.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Elvira Inda Sari