Indonesia.go.id - Memenuhi Kebutuhan Rakyat Prioritas Tertinggi

Memenuhi Kebutuhan Rakyat Prioritas Tertinggi

  • Administrator
  • Kamis, 28 April 2022 | 16:47 WIB
MINYAK GORENG
  Presiden Joko Widodo saat melakukan sidang minyak goreng di Yogyakarta. SETPRES
Pemerintah akhirnya menghentikan ekspor CPO, RBD Palm Olein, dan bahan minyak sawit lainnya. Negara perlu pajak dan devisa. Tapi, kebutuhan pokok rakyat lebih diprioritaskan.

Sungguh ironis, bila Indonesia sebagai negara produsen minyak sawit paling besar di dunia, rakyatnya justru kesulitan mendapatkan minyak goreng. Faktanya, sudah empat bulan pasar domestik ini kekurangan pasokan karena kuatnya tarikan ekspor. Padahal, jumlah untuk kebutuhan pasar dalam negeri itu relatif kecil, dan masih menyisakan volume yang besar untuk pasar ekspor.

Pandangan itu disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pernyataan pers secara live, lewat kanal Youtube Sekretariat Presiden RI, Rabu (27/4/2022) malam. Presiden Jokowi merasa perlu menyampaikan sikap pemerintah, setelah ia mengamati secara seksama dinamika dalam masyarakat terkait urusan pelarangan ekspor minyak goreng dan bahan baku minyak goreng, yang akan diberlakukan per jam 00.00 WIB, Kamis, 28 April 2022.

‘’Saya ingin menegaskan, bagi pemerintah, kebutuhan rakyat adalah hal yang utama. Prioritas yang tertinggi bagi pemerintah dalam membuat keputusan,’’ ujar Presiden Jokowi.

Sejumlah kebijakan pemerintah telah dilakukan, tapi tak kunjung efektif, dan kelangkaan minyak goreng murah masih terus berlangsung. ‘’Sebagai presiden, saya tidak mungkin membiarkan itu terjadi,’’ kata Presiden Jokowi.

Pernyataan presiden itu menegaskan bahwa pemerintah tidak setengah hati mengendalikan harga minyak goreng, meskipun ada sejumlah risiko, termasuk kemungkinan turunnya harga buah sawit petani karena susutnya serapan oleh industri pengolahan. Maka, Presiden Jokowi mengajak para pelaku usaha sawit melihat persoalan secara lebih jernih. ‘’Prioritaskan kebutuhan dalam negeri. Penuhi kebutuhan rakyat!’’ kata Presiden.

Pernyataan Presiden Jokowi itu juga menjadi penegasan pernyataan sebelumnya, pada Jumat (22/4/2022), usai memimpin rapat kabinet terbatas (Ratas) tentang bahan pangan pokok menjelang Idulfitri 1443. Pada hari itu, Kepala Negara sudah mengambil keputusan yang cukup mengagetkan dengan menutup keran ekspor minyak goreng dan bahan bakunya.

“Saya putuskan, pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis 28 April 2022, sampai batas waktu yang akan ditentukan kemudian,’’ ujar Presiden Joko Widodo.

Ketika itu Presiden Jokowi tak merinci tentang bahan baku minyak goreng yang dimaksud. Keputusan pelarangan ekspor itu berdasarkan pada situasi terakhir bahwa harga minyak goreng di pasar secara umum tinggi.

Target harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng curah bersubsidi Rp14.000 per liter meleset. Harga di pengecer (rata-rata nasional), menurut pemantauan Kemendag, Rp17.700. Bahkan mencapai Rp19.500, menurut Pusat Infomasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), lembaga di bawah BI.

Bukan hanya mahal, ketersediaannya pun terbatas. Banyak warga yang kecele tak bisa mengakses migor curah ini dan harus rela membeli yang kemasan botol atau polybag dengan harga Rp23.500--Rp25.000. Padahal, pemerintah telah menyediakan subsidi migor curah itu sekitar Rp6.300 per liter. Dananya dari pungutan ekspor CPO, untuk pembiayaan hilirisasi sawit. Pungutan hanya ditarik ketika harganya melonjak di atas USD750 per ton.

Dana itu diurus oleh Badan Pengelola Keuangan Perkebunan Kelapa Sawit (BPKPKS). Untuk subsidi selama enam bulan, disediakan dana subsidi lebih dari Rp7,2 triliun. Hanya untuk migor curah. Untuk minyak goreng kualitas tinggi, yang dijual dalam kemasan botol dan polybag, minyak goreng dapat diperdagangkan sesuai dengan nilai keekonomiannya. Namun, target HET minyak goreng curah itu tak tercapai.

Subsidi besar itu ternyata belum cukup merangsang industri sawit untuk menghilirkan migor curah dalam jumlah yang cukup dan dengan harga terjangkau. Godaan harga ekspor tetap memabukkan. Walhasil, ketentuan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obigation (DPO), yang intinya ialah kewajiban penyediaan barang dengan harga terjangkau untuk pasar dalam negeri, tak terpenuhi. Kepatuhan atas tuntutan yang lazim dilakukan di dunia usaha itu sulit ditegakkan.

Yang terjadi setelah pengumuman Presiden Jokowi pada Jumat (22/4/2022) itu justru kesimpangsiuran informasi. Beredar spekulasi luas bahwa yang akan dihentikan termasuk pula ekspor minyak sawit mentah atau CPO (crude palm oil). Serta-merta, sejumlah industri CPO mengeluarkan surat edaran ke masyarakat tentang turunnya harga beli tandan buah segar (TBS) sawit. Beberapa pemerintah daerah kabupaten pun menurunkan harga patokan TBS.

Sejumlah Dinas Pertanian di daerah pun melaporkan situasi itu ke Kementerian Pertanian (Kementan). Secara umum, laporannya menyatakan harga jual TBS petani anjlok antara 30–50 persen. Padahal, porsi sawit petani cukup besar, sekitar 35 persen dari 14 juta hektare dari kebun sawit nasional.

Buru-buru Kementan melakukan klarifikasi. Surat edaran Kementan, yang diteken oleh Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perkebunan Kementan Ali Jamil menyatakan, yang dilarang ekspornya per 28 April 2022 nanti kemungkinan bukan CPO, melainkan bahan baku minyak goreng, yakni minyak RBD Olein. Surat yang ditandatangani 25 April 2022 itu dikirim ke para gubernur di 22 provinsi yang memiliki area kebun sawit.

Namun, heboh isu pelarangan ekspor itu telanjur menyebar ke berbagai penjuru, termasuk dunia transportasi  darat dan laut, jaringan perdagangan retail, perbankan, bahkan pasar modal. Dalam tempo singkat, kehebohan melanda rantai bisnis CPO. Isu pelarangan ekspor CPO terus bergulir.

Pada akhirnya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto pun hadir memberikan kepastian. Lewat keterangan pers yang berlangsung singkat, dan dilakukan secara daring, Menko Airlangga Hartarto memastikan bahwa dalam daftar larangan ekspor bahan baku minyak goreng itu terdapat CPO.

‘’Kebijakan pelarangan kini didetailkan, yaitu  berlaku untuk seluruh produk, CPO, RBD Palm Olein, pomade, dan used cooking oil. Seluruhnya sudah tercakup dalam Peraturan Menteri Perdagangan [Permendag] dan akan diberlakukan malam ini, pukul 00.00 WIB,” ujar Airlangga.  

Tujuannya, mendorong ketersediaan bahan baku dan minyak goreng di dalam negeri sehingga bisa mendorong harga minyak goreng curah kembali turun ke Rp14.000 per liter. “Dan ini akan berlaku sampai harga minyak curah bisa dicapai di Rp14.000 per liter,” ujar Airlangga.

Pelarangan ini tentu akan memberikan dampak luas. Menurut data di Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), produksi minyak sawit Indonesia (dengan segala bentuk dan turunannya) pada 2021 mencapai 51,3 juta ton. Dari jumlah itu, 65 persen untuk ekspor. Ekspor CPO sendiri tak terlalu besar hanya 2,73 juta ton. Porsi ekspor terbesar adalah  produk olahan CPO yakni 25,7 juta ton, yang hampir separuhnya ialah RBD Palm Olein.

Dengan begitu, ada paling tidak 16--17 juta ton produk minyak sawit yang akan terhenti ekspornya. Buah sawit  produksi kebun rakyat, perkebunan BUMN dan swasta akan merosot harganya, bahkan bisa tak terserap sementara waktu. Kebutuhan minyak goreng sendiri tak lebih dari 4 juta ton per tahun. Bila dipersempit kebutuhan minyak goreng curah, jumlahnya diperkirakan tidak lebih dari 2 juta ton.

Presiden Joko Widodo melihat, ada kelebihan kapasitas yang masih besar untuk ekspor, meski harus mencukupi kebutuhan dalam negeri secara melimpah. ‘’Jika kita mau, jika kita punya niat, akan mudah memenuhi kebutuhan rakyat sebagai prioritas, dengan mudah kebutuhan dalam negeri bisa dicukupi,’’ ujar Presiden Jokowi.

Bila kebutuhan rakyat sudah tercukupi, kata Presiden Jokowi, kebijakan pelarangan ekspor itu bisa segera dicabut, dan industri sawit dapat kembali leluasa bergerak. ‘’Karena negara juga perlu pajak, perlu devisa, perlu surplus perdagangan. Tapi, memenuhi kebutuhan pokok rakyat adalah prioritas yang lebih penting,’’ Presiden Jokowi menegaskan.

 

Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari