Indonesia.go.id - Satgas 115 akan Terus Berpatroli di Natuna Utara

Satgas 115 akan Terus Berpatroli di Natuna Utara

  • Administrator
  • Selasa, 30 Agustus 2022 | 14:48 WIB
LAUT NATUNA
  Penindakan nelayan ilegal asal Vietnam di Kepulauan Natuna oleh TNI AL. DISPEN TNI AL
Berbatasan dengan perairan Vietman dan Tiongkok, Laut Natuna merupakan wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang paling rawan dibandingkan 12 WPP lainnya.

Agenda pemberantasan illegal fishing terus menjadi prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Sejak Oktober 2019 hingga Juli 2022, KKP telah menangkap 74 kapal pelaku penjarahan ikan di Laut Natuna Utara, dan 27 di antaranya ialah  kapal berbendera Vietnam. Pada kurun 2014--2019, dari 294 kapal illegal fishing yang diringkus dan ditenggelamkan oleh KKP, 57 persennya berbendera Vietnam.

Kapal-kapal Vietnam itu sebagian besar diringkus di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 711 atau di wilayah Perairan Laut  Natuna Utara. Bukan saja melakukan penangkapan ikan di wilayah laut yang menjadi sengketa antara Indonesia dan Vietnam itu, mereka bahkan telah merangsek ke kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang nyata-nyata berada di wilayah laut Indonesia. Posisinya sudah di luar zona yang diklaim oleh Vietnam.

Dalam rapat Satgas 115, yakni gugus tugas pemberantasan illegal fishing KKP, pada pertengahan Agustus 2022 di Bandung, isu soal kapal illegal fishing dari Vietnam  itu mengemuka. Direktur Asia Timur dan Pasifik di Kementerian Luar Negari Denny Abdi yang hadir dalam rapat itu menyebut, banyaknya kapal Vietnam yang melakukan illegal fishing tidak terlepas dari adanya tumpang tindih klaim di perairan itu.

“Perundingan tentang (klaim) ZEE itu sudah memasuki tahap pertemuan teknis ke-13, yang digelar  di Hanoi pada November 2019, terkait soal teknis penarikan garis batas kedua negara,” kata Denny, saat menjadi pembicara dalam rapat Satgas 115 itu. Finalisasinya masih alot. Denny berharap  agar percepatan perundingan bisa membawa hasil final yang disepakati kedua belah pihak.

Terlepas dari sengketa perbatasan itu, Denny mengingatkan, illegal fishing tak melulu karena soal perbatasan. Percurian ikan bisa saja terus terjadi sekalipun garis perbatasaan sudah mencapai kesepakatan. Toh, nyatanya illegal fishing tak hanya dilakukan oleh kapal-kapal dari Vietnam. Maka, agar terjaga, Indonesia harus memperkuat industri perikanan tangkap di Natuna Utara.

“Nelayan Vietnam itu menerobos masuk ke (perairan) Natuna Utara karena industri mereka kuat di wilayah selatan negaranya. Kalau kita pingin kuat, ekosistem industri perikanan kita di Natuna pun harus diperkuat,” ujar Denny Abdi, yang akan segera bertugas sebagai Duta Besar RI untuk Vietnam itu, seperti dikutip dalam rilis berita yang diterbitkan KKP.

Langkah lain adalah menjalin kerja sama dengan pelaku usaha perikanan tangkap dari Vietnam. Itu pun  belum cukup. Denny Abdi menggarisbawahi, dalam situasi apa pun penjagaan wilayah laut Natuna Utara harus terus diperkuat, demi menegakkan kedaulatan hukum nasional.

Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) TB Haeru Rahayu menyambut baik gagasan dari pejabat Kemenlu itu. Namun, dalam posisi sebagai Sekretaris Satgas 115, ia harus mengedepankan aspek pencegahan dan penindakan terhadap pelaku illegal fishing. Maka, TH Haeru menyampaikan bahwa agenda Satgas 115 adalah untuk terus bersinergi dan berkoordinasi dengan kekuatan nasional lain untuk menjaga keamanan laut, seperti dengan Polairud dari Polri, TNI-AL, dan Bakamla. Mereka akan terus berpatroli di daerah rawan terutama Natuna Utara.

Satgas 115 itu sendiri dibentuk  berdasarkan Peraturan Presiden nomor  115 tahun 2015. Lembaga ini langsung berada di bawah presiden dan bertugas memberantas illegal fishing di wilayah perairan Indonesia. Komandan Satgasnya adalah Menteri Kelautan dan Perikanan, dengan Kepala Pelaksana Harian Wakil Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut.

Lumbung Ikan

Dalam manajemen sumber daya laut, Pemerintah Indonesia membagi seluruh perairan yang ada ke dalam 12 WPP. Dari jumlah itu, ada dua yang rawan terhadap aksi illegal fishing, yakni WPP 711 yang  terbentang dari Selat Karimata ke Laut Natuna Utara, serta WPP 716 yang membentang dari Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Maluku Utara.

WPP 711 dan WPP 716 itu ada di wilayah perbatasan negara. Dengan sumber daya ikan yang begitu kaya, kedua WPP ini sering menjadi incaran kapal-kapal ikan dari tetangga. Di Natuna, misalnya, tak hanya kapal berbendera Vietnam yang nekat menerobos. Kapal nelayan Malaysia, Filipina, Kamboja, dan Thailand pun seringkali menyelusup ke dalamnya.

Peneliti Ahli Utama Bidang Oseanografi Terapan dan Manajemen Pesisir di KKP Widodo S Pranowo menyebut, Laut Natuna sebagai taman bunga yang selalu menghasilkan madu.  ‘’Banyak lebah yang datang karena mencium harum nektar yang dihembuskan oleh angin hingga mencapai jarak yang jauh," ujarnya, dalam sebuah webinar di Oktober 2021 silam.

Proses geologi ratusan juta tahun lalu, menurut Widodo, telah menghasilkan basin-basin (palung laut), yang memanjang dari Natuna ke perairan Tiongkok sisi selatan. Cekungan-cekungan laut itu merupakan zona jebakan minyak dan gas bumi. Sehingga diyakini, ada potensi minyak dan gas bumi besar di sana.

Kawasan laut itu juga subur menumbuhkan biota. Nutrien dari Sungai Mekong mengalir ke dasar basin-basin itu. Yang khas, di Laut Natuna adalah adanya arus air yang terus-menerus mengangkat nutrien yang kaya mineral, sulfur, dan nitrogen mendekat ke permukaan. Dengan sorotan matahari sepanjang tahun dan oksigen yang tercukupi, plankton melimpah. Tak pelak, perairan itu pun menjadi habitat segala jenis ikan.

Nelayan berdatangan, sepanjang tahun. Lalu-lalang kapal-kapal nelayan itu, menurut Widodo, bisa terpantau melalui jepretan kamera satelit. ‘’Sangat banyak kapal nelayan yang beroperasi di sana, bahkan di sepanjang tahun. Ada yang terpantau sebagai kapal yang berizin, tapi sebagian yang lain tidak,’’ ujar Widodo.

Laut Natuna adalah sumber pangan yang potensial. Di sisi lain, kawasan ini juga diyakini kaya akan sumber daya energi, yakni gas dan minyak. Diplomasi di Laut Natuna, menurut Widodo, adalah hal yang sangat penting dan mendesak. Energi dan pangan mudah memantik konflik di hari-hari mendatang, ketika sumber daya alam makin tipis.

 

Penulis : Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari