Indonesia.go.id - Indonesia Berpotensi Mengubah Peta Kekuatan Global

Indonesia Berpotensi Mengubah Peta Kekuatan Global

  • Administrator
  • Kamis, 1 Desember 2022 | 16:12 WIB
EKONOMI NONBLOK
  Ilustrasi: Dalam pandangan The Economist, salah satu sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia ialah bisnis layanan digital yang berkembang dinamis.ANTARA FOTO/ Yulius Sstria Wijaya
The Economist menulis bahwa Indonesia sudah berada dalam jalur yang kuat. Bila tetap di jalur yang sama, Indonesia bisa masuk dalam 10 kekuatan ekonomi dunia. Suksesi jadi isu penting.

Majalah The Economist terkenal pelit memuji. Dengan reputasinya yang tinggi, majalah mingguan yang berbasis di London itu biasa mengulas berbagai kebijakan ekonomi dan praktek bisnis semua negara. The Economist adalah satu dari segelintir media cetak yang masih bisa bertahan di tengah  gelombang media digital itu. Usia majalah itu sudah hampir 180 tahun.

Pelanggannya sekitar 1 juta (versi cetak) dan 995 ribu subscriber di sirkulasi digitalnya. Dari semua platform digital, pembacanya diperkirakan 35 juta, dari kalangan pebisnis, intelektual, politisi, dan para pimpinan pemerintahan. Ulasan The Economist terkenal tajam dan berpengaruh secara global.

Dengan cara pandang barat yang serba kritis, The Economist jarang memberikan apresiasi kepada pemerintah negara-negara berkembang dan emerging, termasuk  Indonesia. Tapi mendadak saja, The Economist menerbitkan ulasan yang antusias tentang Indonesia, dengan memanfaatkan news peg penyelenggaraan KTT G20 di Bali.

Why Indonesia matters (mengapa tentang Indonesia) menjadi judul artikel di halaman depan edisi  media itu pada 17 November 2022. Indonesia disebut telah kembali menarik perhatian dunia. Dalam dekade terakhir telah tumbuh lebih cepat dari pada negara emerging lainnya, terkecuali India serta Tiongkok. Indonesia digarisbawahinya sebagai salah satu negara dengan gross domestic product (GDP) yang  melampaui angka USD1 triliun.

Bank Dunia menyebut GDP Indonesia akan mencapai USD1,25 triliun di 2022 dan kemungkinan terkerek ke USD1,4 triliun di akhir 2024. Indonesia disebut sebagai negara mayoritas Muslim terbesar di dunia, demokrasi terbesar ketiga, dan negara terpadat keempat.

Dengan 276 juta orang yang tersebar di ribuan pulau yang teruntai dari Samudra Hindia hingga Pasifik, Indonesia termasuk yang terjebak dalam pertarungan strategis antara Amerika dan Tiongkok. Namun, seperti India, Indonesia bisa beradaptasi dengan tatanan dunia baru di mana globalisasi dan supremasi barat mengalami kemunduran.

Dalam pandangan The Economist, salah satu sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia ialah bisnis layanan  digital yang berkembang dinamis. Ekonomi digital itu disebutnya dapat  membangkitkan konsumen yang lebih terintegrasi, dengan lebih dari 100 juta orang secara kolektif membelanjakan 80 miliar dolar per tahun. E-commerce dan e-money berlaku dari urusan belanja online hingga aplikasi pemesanan truk besar.

Katalis ekonomi lainnya, yang khas Indonesia adalah nikel. Dengan modal seperlima cadangan nikel dunia, Indonesia memainkan nikel dalam mata rantai pasokan kendaraan listrik. Saat negara barat, Tiongkok dan India menaikkan subsidi dan insentif untuk menarik investasi dalam negeri, menurut The Economist, Indonesia melihat sebuah peluang dengan nikel tersebut.

Alih-alih menjadi Arab Saudi di masa lalu, yang menjual putus emas hitamnya (minyak), Indonesia mengejar kebijakan “hilirisasi”. Presiden Joko Widodo melarang ekspor bahan mentah nikel untuk memaksa perusahaan global membangun pabrik di Indonesia. ‘’Ini bukan kebijakan yang ortodoks.  Sejauh ini lebih dari 20 miliar dolar investasi telah ditanamkan,’’ tulis majalah Inggris itu. Maksudnya, investasi pada hilirisasi itu mencapai USD20 miliar.

The Economist mengapresiasi transformasi energi di Indonesia. Energi baru dan terbarukan (EBT) didorong untuk menggantikan batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Termasuk di dalamnya, kemungkinan pensiun dini bagi  banyak PLTU. Kebijakan ini dipandang bisa mendorong industri baru yang mendatangkan investasi dan membangkitkan ekonomi.

Aspek kedua yang membuat prospek kuat ialah Indonesia telah merakit cara untuk menggabungkan demokrasi dengan reformasi ekonomi. Sistem politik yang pluralis itu telah jauh berkembang seraya menekankan kompromi dan harmoni sosial.

Presiden Joko Widodo yang memerintah melalui koalisi besar itu telah merangkul banyak lawannya. Namun, keuangan publik dijalankan dengan ketat. Perbaikan bertahap termasuk infrastruktur baru, pembersihan perusahaan negara, dan beberapa modernisasi undang-undang pendidikan dan tenaga kerja. Korupsi, menurut The Economist, tetap menjadi masalah, tetapi ekonomi lebih terbuka dari pada sepuluh tahun yang lalu.

Alasan ketiga yang disebut The Economist bisa meningkatkan pengaruh Indonesia adalah kebijakan geopolitik. Lokasi yang strategis, ukuran (penduduk), dan sumber daya alam, menjadikan Indonesia teater utama dalam kontes negara adidaya. Mencerminkan tradisi nonblok sejak 1950-an, Indonesia ingin netral. Negeri ini  mengumpulkan modal  dari kedua sisi, dan menjadi arena di mana investor Amerika dan Tiongkok bersaing secara langsung di jalur teknologi mutakhir.

Di industri baterai, Tiongkok berinvestasi dalam proyek senilai 6 miliar dolar. Namun, Presiden Jokowi toh masih merayu-rayu Tesla dan Elon Musk. Dalam diplomasi, ia berusaha menjadi penyelenggara dan pembawa damai. Indonesia mengkritik sanksi barat atas Rusia. ‘’Jokowi mungkin satu-satunya orang yang pernah bertemu dengan Presiden Joe Biden, Xi Jinping, Vladimir Putin, dan Volodymyr Zelensky tahun ini,’’ tulis The Economist.

Isu Suksesi

Indonesia disebut sudah berada di jalur yang benar. “Jika tetap berada di jalur ini pada satu dekade berikutnya, Indonesia dapat menjadi salah satu dari sepuluh ekonomi terbesar dunia. Ini akan tetap cukup tangguh terhadap guncangan: mata uangnya telah mengungguli beberapa negara kaya tahun ini meskipun terjadi gejolak keuangan global,’’ tulis The Economist.

Standar hidup di Indonesia terus meningkat. Hanya 4% penduduk yang sekarang ini hidup dengan 2,15 dolar sehari atau kurang.  Angka itu jauh lebih baik dibanding 2012. Meskipun Indonesia tak akan menciptakan keajaiban manufaktur gaya Tiongkok, kelas menengah yang besar akan muncul di Indonesia.

Bahaya terbesar adalah geopolitik. Perang atas Taiwan dapat memblokir jalur laut yang diandalkan Indonesia, sementara sanksi barat bisa menyerang perusahaan Tiongkok yang menjadi tumpuan ekspor-impor Indonesia. Diplomasi Joko Widodo, menurut The Economist, disambut oleh Presiden Joe Biden dan Presiden Xi Jinping dengan pertemuan bilateral di tengah KTT G20 di Bali.

Mengubah Peta Global

India dan Indonesia adalah bintang terang Asia. Keduanya harus memuaskan para pemilih di dalam negeri dan menemukan cara untuk tumbuh, bahkan saat globalisasi sedang mundur. India memilih pembangunan yang dipimpin teknologi dan manufaktur, didorong oleh subsidi, politik chauvinistik, dan pemisahan dari Tiongkok. Indonesia mengandalkan sumber daya, proteksionisme terbatas, politik tenda besar, dan netralitas.

Keduanya adalah taruhan raksasa. Negara adikuasa akan mengawasi dengan cermat, seperti halnya banyak negara lain yang ingin menjadi lebih kaya, tetapi memilih untuk tidak memihak. Jika berhasil, Indonesia akan meningkatkan taraf hidup seperempat miliar warganya, dan ikut mendorong dunia yang kekurangan tenaga untuk pertumbuhan ekonominya. Bahkan, sukses itu bisa mengubah peta keseimbangan dalam kekuatan global.

 

Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari