Teknologi smart micro grid memungkinkan pembangkit listrik skala kecil di perdesaan bisa mengakses ke jaringan transmisi PLN.
Tugas pemerintah menerangi pelosok negeri terus berlanjut. Kendati rasio elektrifikasi nasional sudah menyentuh 99,20 persen, masih ada sejumlah wilayah terpencil yang belum teraliri listrik. Kualitas sistem jaringan listrik pun terus ditingkatkan.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Kementerian Energi dan Sumber Daya (ESDM) telah memasukkan pembangunan teknologi jaringan listrik pintar (smart grid) dalam pengembangan sistem di Jawa-Bali. Targetnya, setiap tahun mulai 2020 sampai 2024 dipasang sebanyak lima sistem baru di Jawa-Bali.
Dengan demikian, dalam lima tahun ke depan akan dibangun sebanyak 25 sistem smart grid baru. Selain itu, pemerintah menargetkan pemasangan smart meteruntuk satu juta pelanggan sampai tahun 2022.
Smart grid merupakan sistem jaringan tenaga listrik yang dilengkapi dengan teknologi informasi dan teknologi komunikasi canggih yang dapat memungkinkan sistem pengaturan tenaga listrik secara efisien, menyediakan keandalan pasokan tenaga listrik yang tinggi, pemanfaatan sumber energi terbarukan, dan memungkinkan partisipasi pelanggan dalam penyediaan tenaga listrik.
Untuk itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif meyakini pembangunan jaringan smart grid mampu mempercepat proses elektrifikasi bagi masyarakat yang tinggal di wilayah terdepan, tertinggal, dan terluar (3T).
"Teknologi smart grid tidak terbatas hanya pada teknologi informasi dan komunikasi, melainkan juga dapat dimanfaatkan untuk automasi sistem kelistrikan yang efisien di daerah 3T dengan memanfaatkan energi terbarukan setempat melalui konsep smart micro grid," jelas Arifin Tasrif, Minggu (28/2/2021).
Pemanfaatan teknologi smart grid tidak terbatas pada konsumen listrik perkotaan dan skala besar. Teknologi smart micro grid ini memungkinkan pembangkit listrik skala kecil di perdesaan dan daerah terpencil bisa mengakses ke jaringan transmisi PLN.
Diharapkan pola konsumen akan berubah menjadi prosumer atau konsumen yang bisa memproduksi listrik mereka sendiri, baik menggunakan tenaga surya (solar home system) atau tenaga air (mikrohidro).
Kebijakan memenuhi rasio elektrifikasi yang ditempuh pemerintah selama ini di antaranya dengan perluasan jaringan di wilayah yang sudah on-grid untuk peningkatan keandalan dan efisiensi. Sementara khusus daerah 3T, pemerintah melakukan pendekatan off-grid untuk memperluas akses tenaga listrik di antaranya dengan solar PV, tabung listrik (talis), dan pemanfaatan energi terbaru lainnya.
Bagi Kementerian ESDM, beragamnya topografi Indonesia bukan dianggap sebagai hambatan pemerintah dalam menyediakan akses listrik ke masyarakat. Beberapa strategi dalam penyediaan listrik dilakukan secara on-grid maupun off-grid.
Untuk itu, peran pemerintah daerah juga dinilai penting dalam pengembangan smart grid untuk meningkatkan rasio elektrifikasi di daerah masing-masing. Hal ini sejalan dengan amanat Peraturan Pemerintah (PP) nomor 25 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang ESDM sebagai turunan Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Salah satu amanat di PP tersebut adalah pemerintah daerah menyediakan anggaran/dana untuk masyarakat kurang mampu dan dapat menggunakan dana tersebut untuk membangun teknologi smart grid untuk mempercepat capaian rasio elektrifikasi di wilayah masing-masing.
Implementasi smart grid sendiri sudah dirintis oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sejak 2013 di Sumba, Nusa Tenggara Timur dengan skala kecil. Pembangunan tersebut merupakan hasil integrasi antara pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD), pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH), PLTS dan baterai, serta Jaringan Tegangan Menengah (JTM) 20 kV. Sistem tenaga listrik di Sumba beroperasi secara otomatis sesuai program algoritma untuk menyuplai beban. Beban dasar pemakaian listrik di Sumba 1.200 kW dengan beban puncak 2.100 kW.
Jika dilihat dari besarnya selisih antara beban puncak dan beban dasar mencerminkan konsumsi listrik masyarakat Sumba masih didominasi oleh rumah tangga. Oleh karena itu, PLTS digunakan siang hari sekitar 5 jam, sekaligus untuk mengisi baterai 500 kWh. Ketika beban puncak pada malam hari, baterai digunakan untuk menyuplai jaringan di Sumba. Otomatis sistem smart grid mengurangi beban PLTD atau pun PLMTH. Kalau pun ada hujan atau cuaca mendung bisa langsung digantikan pembangkit diesel.
Selain di Sumba, smart grid juga diterapkan di Baron Techno Park, Gunung Kidul, Yogyakarta serta Floating PV (PLTS Terapung)-Battery PLTA Cirata, Jawa Barat.
PT PLN juga berhasil memodernisasi infrastruktur ketenagalistrikan melalui digitalisasi dengan penerapan advanced metering infrastructure (AMI) di Jakarta dan penerapan digital substation di proyek Sepatan II. Pengembangan smart grid juga telah dilakukan melalui remote engineering, monitoring, diagnostic & optimization center (REMDOC) dan reliability efficiency optimization center (REOC).
Satu hal, smart grid dapat mengurangi susut (losses) pada jaringan distribusi serta dapat digunakan sebagai langkah dalam pengembangan distributed generation. Manfaat lain yang tak kalah penting adalah meningkatkan integrasi energi terbarukan dalam skala yang besar dan mampu menurunkan tarif listrik dengan mengendalikan beban puncak listrik.
Ke depan, tentu sudah saatnya tumpuan ketenagalistrikan nasional diarahkan kepada sumber-sumber energi baru dan terbarukan (EBT). Pusat Data dan Informasi Kementerian ESDM melaporkan bahwa pada 2020 porsi energi terbarukan naik menjadi 11,51 persen dari 9,2 persen (2019) dalam bauran penyediaan energi nasional.
Indonesia selama ini memang belum maksimal menggarap potensi energi terbarukan. Dari potensi sebanyak 400.000 MW atau 400 GigaWatt, Indonesia baru memakai sekitar 10.467 MW atau 2 persen. Ketika EBT dimanfaatkan dengan teknologi smart grid maka niscaya tarif listrik semakin efisien, polusi udara menurun, dan ekonomi bertumbuh.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari