Tidak seluruh aspek kolonialisme di masa lalu itu berwajah kelam. Setelah mengalami masa-masa pahit pada satu-dua dekade pertama praktek tanam paksa (cultuur stelsel), yang bergulir sejak 1830, rakyat mulai kecipratan menikmati hasil usaha besar perkebunan tanaman industri itu. Rakyat bisa mulai turut menanam kopi, karet, teh, kina, indigo dan tebu, di tanah mereka. Para petani, utamanya di Pulau Jawa, bisa meraih peluang itu karena permintaan pasar internasional begitu tinggi.
Pemerintah Hindia Belanda pun tiba-tiba berkelimpahan uang pajak, uang sewa tanah, dan penerimaan dari kegiatan bisnis lainnya. Pada tahun 1850-1860, Hindia Belanda menyumbang 32% dari penerimaan Kerajaan Belanda. Angka itu terus meningkat setelah Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan investasi swasta pascadiberlakukannya UU Agraria 1870. Bisnis perkebunan bergerak cepat, melakukan ekspansi keluar Jawa.
Infrastruktur jalan muncul menghubungkan kota-kota kabupaten, jembatan dibangun, jalan-jalan antardistrik (kecamatan) diperkeras agar dapat dilewati pedati, bahkan hadir pula jaringan kereta api. Hindia Belanda ramah untuk investasi–meski masih ada diskriminasi untuk warga pribumi. Untuk menunjang ekonomi perkebunan itu, tentu perlu infrastruktur khusus, yakni lembaga penelitian Cultuurtuin, taman budidaya, untuk penelitian tanaman yang memiliki potensi ekonomi.
Maka, lembaga penelitian perkebunan pun hadir di Bogor 1876. Bahwa lembaga baru ini di Bogor, boleh jadi karena Cultuurtuin berada di bawah Lands Plantentuin te Buitenzorg, taman botani yang kini dikenal sebagai Kebun Raya Bogor, yang saat itu juga berfungsi sebagai kebun percobaan. Adapun Lands Plantentuin yang berdiri pada 1827 itu langsung di bawah Gubernur Jenderal yang saat itu berkantor di vila besar yang kini dikenal sebagai Istana Bogor.
Sebelum Cultuurtuin berdiri, Taman Botani di Bogor telah melakukan penelitian budidaya atas sejumlah tanaman tropis seperti vanili, kopi, teh, berbagai kacang-kacangan, tembakau, kelapa sawit, kina, getah perca, tebu, ubi kayu, jagung, kopi, dan mencoba mengadaptasikan buah-buahan subtropis seperti apel, peer, plum, kiwi, cherry, juga anggur. Namun, tanaman sub-tropis sulit beradaptasi di lingkungan tropis basah seperti di sebagian besar Jawa dan Sumatra. Yang lebih menjanjikan adalah introduksi tanaman dari kawasan tropis Amerika Selatan seperti jagung, singkong, nanas, dan sawit serta kopi dari Afrika.
Jagung dan singkong (ubi kayu) sebetulnya sudah dibawa oleh orang-orang Portugis sejak medium 1600-an, dan telah ditanam secara terbatas di kalangan masyarakat. Namun, setelah melakukan seleksi dan mempelajari aspek budidayanya, benih jagung dan bibit singkong itu disebar secara luas di tahun 1850-an. Setelah berdiri, Cultuurtuin pun mengambil alih penelitian atas tanaman-tanaman komersial itu dan Lands Plantentuin te Buitenzorg fokus menjadi taman koleksi bagi penelitian botani. Bahkan, sejak 1880 Lembaga Cultuurtuin itu berdiri terpisah dari Kebun Raya.
Di tengah tumbuhnya industri perkebunan, riset yang dilakukan Cultuurtuin lebih fokus pada tanaman industri seperti kopi, teh, gula tebu, karet, tembakau, vanili, cengkih. Namun, lembaga ini juga mulai melirik ke kakao dan sawit yang menjadi komoditas penting 80 tahun kemudian.
Para peneliti umumnya didatangkan dari Eropa. Selain orang Belanda, sebagian lainnya dari Belgia dan Jerman. Kaum pribumi mulai terlibat di lembaga itu, sebagai tenaga lapangan, setelah muncul sekolah pertanian Landbouw School yang dibuka di Cibalagung, Bogor, untuk anak-anak lulusan sekolah dasar (Volkschool) lima tahun. Rupanya, Landbouwschool memang disiapkan untuk mendukung Cultuurtuin.
Ketika itu riset tentang fisiologi tumbuhan masih terbatas. Bahkan, reaksi kimia fotosintesis pun belum diketahui secara persis. Toh, para ahli sudah mengetahui pentingnya unsur nitrogen, pospor, kalsium, kalium dan sulfur, sebagai nutrisi tumbuhan di luar kebutuhan pokok air, udara dan matahari.
Cultuurtuin melakukan penelitian budidaya dasar, yakni melakukan seleksi galur murni yang produktif, lalu aspek budidayanya dengan penyediaan teknik penanaman stek, okulasi, biji, manajemen pengolahan tanah, pengairan, pemupukan, dan pengendalian hama. Pupuk kandang dan kompos sudah digunakan waktu itu, selain pupuk pospor, amonium dan kaliun-kalsium. Sistem tumpangsari kopi-vanili dengan pohon peneduh lamtoro gung sudah diterapkan saat itu. Peneliti Cultuurtuin mulai meneliti sebaran iklim, jenis tanah, dan pola adaptasinya untuk tanaman industri.
Dalam perkembangannya, Pemerintah Hindia Belanda harus mengurus pertanian dalam arti yang luas, yakni semua kegiatan yang melibatkan pemanfaatan makhluk hidup, maka berdirilah Departement van Landbouw (1905) di Batavia, di bangunan yang kini menjadi Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) di Jl Dokter Soetomo, Jakarta Pusat. Namun, Kantor Gubernur Jenderal tetap di Istana Bogor.
Departemen Pertanian itu memiliki kantor cabang di daerah-daerah dan membawahi pula Cultuurtuin serta Lembaga Boswezen yang melakukan penelitian di bidang kehutanan sejak 1892. Berikutnya, 1905 lembaga riset kehutanan itu naik eselon menjadi Proefstation voor het Boswezen, Balai Penyelidikan Kehutanan. Cultuurtuin pun naik kelas menjadi Algemeen Proefstation voor den Landbouw (Balai Besar Penyelidikan Pertanian) pada tahun 1918.
Sebelumnya, 1905, di Bogor juga sudah berdiri Laboratorium Voor Agrogeologie en Grond Onderzoek (Laboratorium Penelitian Agrogeologi dan Tanah), di seberang Kebun Raya Bogor, dan Laboratorium Penelitian Penyakit Hewan (Veeartsenijkundig Laboratorium) pada 1908. Keempat lembaga penelitian itu semua di bawah Kementerian Landbouw.
Kota Bogor yang saat itu disebut Buitenzorg memiliki empat lembaga riset penting di bidang pertanian, yakni Algemeen Proefstation voor den Landbouw, Proefstation voor het Boswezen, Laboratorium Voor Agrogeologie en Grond Onderzoek dan Veeartsenijkundig Laboratorium. Keempat badan ini tak lekang oleh zaman, terus berkiprah hingga hari ini.
Pascakemerdekaan, Algemeen Proefstation voor den Landbouw beranak pinak. Mula-mula, ia menjadi Badan Penelitian Pertanian yang di bawahnya ada Lembaga Penelitian Perkebunan Lembaga Penelitian Tanah, Lembaga Penelitian Hutan, Lembaga Penelitian Veteriner, dan seterusnya. Sejumlah perubahan terjadi, menyesuaikan dengan kebutuhan untuk menggerakkan perubahan yang fundamental di dunia pertanian. Tujuannya, melakukan lompatan produksi dengan berbekal kemajuan teknologi. Langkah ini lazim disebut gerakan revolusi hijau.
Sukses Indonesia dalam revolusi hijau itu tidak lepas dari peranan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pertanian yang bermarkas di Pasarminggu, Jakarta, di bawah Menteri Pertanian. Balitbang dipimpin pejabat eselon I-A. Di bawahnya ada sederet Puslitbang (Pusat Penelitian dan Pengembangan) yang dipimpin pejabat eselon I-B. Kantor asri Algemeen Proefstation voor den Landbouw di Cimanggu, Bogor, pun kini menjadi Puslitbang Tanaman Pangan, yang di bawahnya ada beberapa Balai Penelitian (Balit) seperti Balit Padi, Balit Srealia, Balit Ubi dan Kacang dan seterusnya.
Sejajar dengan Puslitbang Tanaman Pangan ada pula Puslitbang Hortikultura, Perkebunan, Peternakan, yang semuanya di Bogor. Jejak Veeartsenijkundig Laboratorium masih ada eksis bentuk Balai Penelitian Veteriner. Proefstation voor het Boswezen pun masih lestari sebagai Puslitbang Hutan yangg bernaung di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ada pun Laboratorium Voor Agrogeologie en Grond Onderzoek kini menjadi Balai Penelitian Tanah dan Agroklimat yang langsung di bawah Balitbang Pertanian. Tak kurang dari 25 balai penelitian di bawah Balitbang Pertanian.
Jejak pembangunan pertanian pada era kolonial itu juga ada di sektor perikanan. Setelah membentuk direktorat perikanan, maka Department Landbouw membangun lab. perikanan laut di Jakarta dan lab. Perikanan Darat (Binnenvisserij) di Bogor pula. Kini Balai Risert Perikanan Air Tawar itu berada di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Tak hanya membangun lembaga penelitian. Era kejayaan tanaman industri di akhir abad 19 dan awal abad 20 itu meninggalkan sejumlah lembaga pendidikan. Sekolah pertanian dan kehutanan dibuka di akhir abad 19, dan sekolah perikanan menyusul 30 tahun kemudian. Bahkan, kehadiran ahli-ahli ilmu pertanian itu mendorong berdirinya Sekolah Kedokteran Hewan di 1907, dan Landbouw Middlebare School (Sekolah Menengah Pertanian) di Bogor. Semua berkolaborasi menyiapkan strategi, kebijakan, dan langkah operasional pembangunan pertanian nasional.
Kedua lembaga pendidikan itu kemudian menjadi cikal bakal lahirnya Fakultas Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan dalam lingkungan Universitas Indonesia (UI). Sejak 1963 keduanya memisahkan diri untuk membangun Institut Pertanian Bogor (IPB). Pun sejak awal tahun 2019 IPB me-rebranding dirinya menjadi IPB University. (P-1)