Presiden meminta Polri membuat pedoman interpretasi terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk menghindarkan multitafsir.
Presiden Joko Widodo meminta kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk membuat pedoman interpretasi terhadap pasal-pasal yang terkandung dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Langkah tersebut dinilai perlu ditempuh lantaran sejumlah pasal dipandang multitafsir.
"Buat pedoman interpretasi resmi terhadap pasal-pasal dalam UU ITE, biar jelas," kata Presiden Jokowi saat berpidato di Rapat Pimpinan TNI-Polri, Rabu (18/2/2021).
Presiden Jokowi juga meminta agar kapolri dan jajarannya lebih selektif dalam menerima laporan yang memakai UU ITE sebagai rujukan hukumnya. Tujuannya, kata dia, agar implementasinya konsisten, akuntabel dan berkeadilan. Tak hanya itu, revisi juga dimungkinkan demi menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa diinterpretasikan berbeda oleh banyak pihak.
Sehari kemudian Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menerbitkan surat edaran (SE) yang berisi 11 pedoman penanganan kasus UU ITE. Jajaran Polri diminta senantiasa mengedepankan edukasi dan langkah persuasif sehingga dapat menghindari dugaan kriminalisasi terhadap orang yang dilaporkan, serta dapat menjamin ruang digital agar tetap bersih, sehat, beretika, dan produktif.
Surat edaran bernomor SE/2/11/2021 itu ditandatangani Kapolri Listyo Sigit pada Jumat, 19 Februari 2021. Dalam SE itu disebutkan bahwa dalam melakukan penanganan dugaan pelanggaran UU ITE, penyidik Polri diminta memedomani hal-hal sebagai berikut:
- mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital yang terus berkembang dengan segala macam persoalannya;
- memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisasi berbagai permasalahan dan dampak yang terjadi di masyarakat;
- mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber;
- dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat dengan tegas membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana untuk selanjutnya menentukan langkah yang akan diambil;
- sejak penerimaan laporan, penyidik berkomunikasi dengan para pihak terutama korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi;
- melakukan kajian dan gelar perkara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani dengan melibatkan bareskrim/dittipidsiber (dapat melalui zoom meeting) dan mengambil keputusan secara kolektif kolegial berdasarkan fakta dan data yang ada;
- penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimatum remidium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara;
- terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme;
- korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan, tapi bila tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali;
- penyidik agar berkoordinasi dengan JPU dalam pelaksanaannya, termasuk memberikan saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan; dan
- agar dilakukan pengawasan secara berjenjang terhadap setiap langkah penyidikan yang diambil dan memberikan reward serta punishment atas penilaian pimpinan secara berkelanjutan.
Sementara itu pada hari yang sama, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md menyatakan, telah membentuk dua tim terkait polemik pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dua tim tersebut masing-masing bertugas membuat pedoman interpretasi dan mengkaji kemungkinan revisi UU nomor 11 tahun 2008 itu.
"Satu tim yang bertugas untuk membuat interpretasi yang lebih teknis dan membuat kriteria implementasi dari pasal-pasal yang selama ini sering dianggap pasal karet," kata Mahfud, pada 19 Februari 2021.
Menurut Mahfud, tim pertama itu melibatkan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate dan kementerian lain di bawah koordinasi Kemenkopolhukam. Adapun yang kedua adalah tim rencana revisi UU ITE yang akan mendiskusikan kemungkinan revisi.
Tugas tim rencana revisi itu, kata Mahfud, sejalan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang mempersilakan agar didiskusikan kemungkinan revisi. Mahfud mengatakan, diskusi ini bakal melibatkan para pakar dan kelompok masyarakat sipil prodemokrasi. Ia mengklaim pemerintah akan mendengarkan semua masukan dari masyarakat.
Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari