Di masa yang belum begitu lama, cara pemerintah atau penguasa untuk melakukan sensor adalah dengan menutup aliran informasi. Cara itu pun saat ini masih digunakan walaupun sama sekali tidak populer. Tetapi di zaman kini, menurut Yuval Harari, cara paling efektif adalah membanjiri orang dengan informasi yang "tidak ada juntrungan-nya" (irrelevan).
Merebaknya berita palsu, kabar bohong, ujaran kebencian, hingga berita sampah pada saat ini adalah fenomena sehari-hari. Revolusi teknologi informasi saat ini telah membawa manusia pada sebuah keadaan baru. Keadaan yang belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah manusia.
Saat wawancara dengan The Guardian, Harari mengatakan bahwa ide tentang 'informasi yang bebas' adalah hal yang sangat berbahaya. Bahaya dalam konteks perkembangan industri berita pada saat ini.
Keberlimpahan informasi atau “banjir bandang’ kata-kata membawa konsekuensi ekonomis. Jika dilihat dalam kacamata komoditi alias barang jualan, maka barang yang begitu mudah didapat menjadi tidak ada harganya.
Dalam konteks berlimpahnya informasi, barang yang tidak ada harganya sama dengan makanan yang tidak bergizi. Makanan yang tidak bergizi jika dikonsumsi dengan sembarangan tentu berakibat fatal. Efek paling cepat adalah berkembangnya penyakit.
Padahal industri berita pada saat ini hanya laku jika menarik perhatian orang. Fenomena 'menjual judul' sudah sangat lumrah. Fenomena 'jurnalisme satu baris' bahkan muncul sebelum zaman media sosial. Sensasi, manipulasi, hingga desepsi (tipuan) adalah isinya.
Banjirnya informasi dalam kehidupan masyarakat pada saat ini bisa diibaratkan seseorang yang terkatung-katung kehausan di tengah samudera. Air laut yang berlimpah ibarat informasi yang sangat mudah didapat. Tetapi orang butuh air tawar. Perlu usaha yang luar biasa berat hanya untuk memuaskan dahaga.
Hal itulah yang membuat Daniel Zuchron beserta kawan-kawannya dari Lakpesdam (Lembaga Kajian Sumber Daya Manusia) Nahdlatul Ulama perlu membuat terobosan. Di zaman keberlimpahan informasi yang tidak bergizi bahkan beracun, perlu usaha yang lebih untuk mengolah dan memasaknya menjadi makanan yang sehat.
Lakpesdam dalam sejarahnya telah banyak dikenal sebagai ajang kader-kader muda Nahdlatul Ulama melakukan berbagai kajian, hingga kepeloporan sosial. Persentuhan Lakpesdam dengan masyarakat dari berbagai latar belakang menjadikan dirinya peka terhadap berbagai perubahan.
Jika banjirnya berita palsu, ujaran kebencian, dan kebohongan telah membuat masyarakat sakit, Zuchron berkeinginan menemukan obatnya dalam perbendaharaan klasik. Khazanah keilmuan pesantren yang selama ini terabaikan harus mampu menemukan penyembuhnya. Khazanah keilmuan pesantren harus mampu mengolah samudera informasi menjadi air tawar keilmuan.
Khazanah Klasik Bernama Mantiq
Ilmu mantiq atau logika yang diajarkan di pesantren adalah ilmu yang sama tuanya dengan keberadaan pesantren di Indonesia. Tradisi yang berlaku di dunia pesantren Indonesia menempatkan logika sebagai ilmu yang harus dikuasai, setelah terlebih dahulu menguasai berbagai ilmu pokok.
Ilmu pokok yang dimaksud adalah ilmu gramatika (nahwu-sharaf), ilmu yurisprudensi hukum Islam (fiqih dan ushul fiqih), contoh dan perkataan nabi (hadits), metode keilmuan hadits (musthalah), ilmu ketuhanan (tauhid), hingga sastra (adab).
Syarat penguasaan ilmu yang sedemikian lebar membuat kajian mantiq di Indonesia menjadi sangat terbatas. Hanya santri-santri senior atau keturunan langsung dari kyai yang berkeilmuan yang mampu belajar ilmu mantiq.
Penerapannya pun menjadi terbatas. Logika yang dipelajari dalam ilmu mantiq yang ada di pesantren hanya dipakai dalam kajian-kajian diskursus tekstual yang menjadi domain para ulama. Jarang sekali ilmu logika yang diajarkan digunakan untuk melakukan diskursus sosial. Hanya kyai atau ulama dengan 'skill' tinggi yang mampu menyajikan kemampuan logika mantiq dalam pengajaran-pengajaran kemasyarakatan.
Padahal dalam sejarahnya, ilmu logika yang diajarkan di pesantren-pesantren Indonesia sebenarnya berangkat dari akar yang sama. Ilmu logika yang diajarkan di pesantren tidak jauh berbeda dengan ilmu logika yang diajarkan dalam sekolah-sekolah filsafat di zaman klasik.
Buku-buku yang menjadi sumber pembelajaran mantiq di pesantren pada saat ini umumnya bersumber dari buku-buku yang dipelajari ulama-ulama pendiri pesantren. JIka rata-rata pendirian pesantren bermula dari akhir abad 19 Masehi maka dapat dipastikan kurikulum pesantren yang ada saat ini mengacu pada keilmuan yang ada pada saat itu.
Azyumardi Azhra, dalam bukunya "Jaringan Ulama", melihat keberadaan pesantren di Indonesia pada saat ini sangat berkait dengan berlanjutnya tradisi kajian keilmuan Islam yang pernah sangat berkembang di "Dua Tempat Suci". Mekah dan Madinah, pada periode abad 18 hingga permulaan abad 20 pernah menjadi ladang subur keilmuan Islam.
Ngaji Teknologi Bersama Kyai
Daniel Zuchron, bersama dengan forum "Ngaji Teknologi" bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi, mengadakan kajian bersama memunculkan khazanah ilmu mantiq dalam konteks zaman kini. Kajian itu bertajuk "Ngaji Mantiq untuk Penguatan Literasi Publik."
Inisiatif itu telah berlangsung sejak beberapa waktu yang lalu. Kajian pertama berlangsung di Pondok Pesantren Roudhoh Al-Hikam, Cibinong, Bogor. Acara yang berlangsung pada Kamis, 14 Maret 2019 menghadirkan pengasuh pondok pesantren, KH Zein Djarnuzi, sebagai tuan rumah.
Kajian kedua, berlangsung dua minggu berikutnya bertempat di Pondok Pesantren Al Istiqomah, Maruyung, Kecamatan Pacet, Bandung. Kegiatan yang berlangsung pada Selasa, 26 Maret 2019 bertempat di aula pesantren yang saat ini dipimpin oleh KH Ahmad Fauzi Imron.
Kajian ketiga, berlangsung keesokan harinya pada hari Rabu, 27 Maret 2019. Pondok Pesantren Raudhotut Tholibin, Rajagaluh, Majalengka menjadi tempat berkumpulnya kyai-kyai muda dari sekitar Cirebon dan Majalengka untuk mengkaji kembali ilmu mantiq.
Seminggu kemudian kajian keempat berlangsung di Aula PCNU Kabupaten Garut. Mustasyar NU Kabupaten Garut, KH Irfan Nauval ketiban sampur sebagai tuan rumah.
Acara yang berlangsung pada hari Selasa, 2 April 2019, sedianya berlangsung di Pondok Pesantren Riyadlul Alfiyah, Sadang, Garut. Karena pengasuh pondok pesantren sedang berhalangan, acara diselenggarakan di tempat yang mudah dijangkau.
Menurut rencana, kajian kelima, atau putaran terakhir akan dilakukan di Kabupaten Sukabumi dalam waktu dekat.
Fuad Bahari, kordinator lapangan acara Ngaji Teknologi, mengisahkan suka-dukanya menggelar kerja sama dengan pesantren-pesantren ‘klasik’ yang ada di Jawa Barat. Berhubungan dengan ulama-ulama senior dan tokoh masyarakat yang sangat dihormati membutuhkan kesabaran dan ketekunan tersendiri. Salah-salah bersikap bisa menimbulkan antipati dan bisa berakibat buruk bagi kerja sama selanjutnya.
Staf khusus, Kemenkominfo Bidang Komunikasi Publik Dedy Hermawan yang berkesempatan hadir dalam forum ini menjelaskan, pentingnya khazanah pesantren untuk menghadapi perubahan besar yang terjadi saat ini.
Banjir hoax, ujaran kebencian, hingga manipulasi informasi hanya bisa diatasi dengan mengangkat kembali khazanah keilmuan nusantara. Ilmu mantiq beserta dengan tradisi pesantren yang berakar panjang dalam sejarah adalah salah satu warisan keilmuan yang mampu mengatasi kesesatan informasi yang marak belakangan ini. (Y-1)