Tren ekonomi makro dunia yang masih tidak menentu perang dagang Amerika Serikat Vs Cina yang terus berkepanjangan telah membuat dunia terkena imbasnya, termasuk harga komoditas ikut bergejolak.
Negara yang juga ikut terpengaruh kondisi ekonomi makro global adalah Indonesia. Wajar saja, negara ini sangat tergantung dengan makro global karena sejumlah komoditas unggulan sangat tergantung dari permintaan dunia tersebut. Salah satunya adalah komoditas batu bara.
Namun ada juga yang menyebut situasi saat ini sebagai tahun politik mengacu kepada kondisi Indonesia yang sedang masa pemilihan presiden dan legislatif akan mempengaruhi postur ekonomi negara ini. Pertanyaannya, apa benar seperti itu?
Sinyalemen itu dibantah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM Ignasius Jonan. Wajar saja, sebagai pengampu di sektor ESDM, Jonan wajib terus membangun optimisme. Menurutnya, 2019 yang disebut sebagai momen tahun politik diyakini tidak akan mempengaruhi harga komoditas, termasuk komoditas mineral dan batubara (minerba).
"Tahun politk untuk Indonesia impact-nya ke harga hampir tidak ada. Tren internasional yang jelas mempengaruhi," jelas Jonan di depan peserta Seminar Nasional "Prospek Penerimaan Negara dari Mineral, Batubara, dan Migas di Tahun Politik" yang diselenggarakan di Balai Sidang Universitas Indonesia, Depok, Senin (1/4/2019).
Jonan menguraikan, kondisi penerimaan negara pada 2019 akan lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan pasar global, yaitu gejolak ekonomi dunia yang mengakibatkan fluktuasi harga komoditas.
Selama 2018, sektor yang berada di bawah ampuan Jonan termasuk yang cukup moncer kinerjanya. Wajar saja bila kementerian itu disebut salah satu sektor yang dinilai berkinerja positif dan ikut menahan laju defisit neraca perdagangan negara ini.
Sebagaimana diketahui, Kementerian ESDM menyumbang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor migas dan minerba pada 2018 meningkat tajam bahkan melampaui target.
Migas menyumbang Rp163,4 triliun dari Rp86,5 triliun yang ditargetkan. Sementara itu, minerba sebesar Rp50 triliun dari Rp32,1 triliun, atau lebih tinggi 156% dari target yang ditetapkan APBN 2018 sebesar Rp32,1 triliun.
Porsi pencapaian PNBP dari sektor minerba itu terdiri dari royalti sebanyak Rp29,8 triliun, penjualan hasil tambang Rp19,3 triliun, iuran tetap Rp0,5 triliun, dan jasa informasi Rp0,4 triliun.
Cerita sukses sepanjang tahun lalu itu tentu jangan membuat pengampu di sektor tersebut berpuas diri. Di sektor batu bara misalnya bagian dari mineral dan batu bara harga komoditas itu kini berada di area pelemahan, setelah sempat mengenyam manisnya harga pada tahun lalu.
Bahkan prediksi beberapa analis, harga komoditas itu di sepanjang 2019 akan bertengger di kisaran di level USD90 hingga USD100 per ton. Artinya harga itu masih lebih rendah dari catatan tahun lalu yang mencapai USD105 per ton.
Penyebabnya adalah perang dagang AS dan Cina yang masih terus berlangsung meskipun kedua negara adidaya itu mulai membuka perundingan dagang untuk mengurangi tensi kontraksi makro ekonomi global.
Imbas dari kondisi itu tentu saja menyebabkan potensi pertumbuhan ekomi dunia menjadi melambat. Konsekuensi logis lainnya adalah pertumbuhan konsumsi batu bara global menjadi lesu juga.
Hingga akhir pekan lalu (29/4/2019), harga batu bara untuk kontrak pengiriman Mei 2019 melemah menjadi USD86,5 per ton. Bahkan selama sepekan lalu, harga si hitam itu sudah ambruk 1,70%.
Akibat kondisi itu, wajar saja sejumlah emiten tambang batu bara melaporkan kinerja kuartal I 2019 turun cukup dalam akibat tekanan harga yang tidak mendukung. Itu tercermin dari laporan kuartal I 2019 sejumlah emiten seperti Indika Energy, PTBA, Bumi Resources Minerals.
Pacu Penghiliran
Meskipun negosiasi dagang AS dan Cina masih terus berlangsung. Artinya hubungan dagang kedua negara adi daya itu berpotensi berujung win-win solution yang tentunya akan menggairahkan ekonomi makro global. Namun demikian, pelaku usaha tambang termasuk sektor batu bara tetap harus memulai proses hilirisasi sebagai bagaian peningkatan nilai tambah produk mineral dan batu bara.
Dalam konteks itu, UU No. 4/2009 tentang mineral dan batu bara sebenarnya telah secara jelas menginstruksikan perlunya peningkatan produk bernilai tambah. Khusus untuk produk mineral dan batu bara, Peraturan Pemerintah No. 1/2017 telah memerintahkan adanya kewajiban melakukan pemurnian di dalam negeri.
"Persepsi yang berkembang bahwa pemerintah tidak berkomitmen terhadap hilirisasi mineral dan batu bara adalah tidak benar. Justru kita berkomitmen dan mengawal kesuksesan program hilirisasi ini dengan pertimbangan yang lebih luas dan menyeluruh," ujar Bambang Gatot Aryono, Dirjen Minerba.
Khusus hilirisasi di komoditas batu bara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang mematangkan pedoman untuk hilirisasi dengan skema gasifikasi dan dimethyl ether (DME)—sebuah produk substitusi dari LPG. Ini merupakan upaya melaksanakan amanah UU Nomor 4/2009.
Hal tersebut menjadi kegiatan yang sangat krusial untuk meningkatkan nilai tambah atas komoditas tambang yang dimiliki Indonesia. Menurut Bambang Gatot Aryono, kebijakan yang tengah disusun tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan pembangunan nasional.
Program hilirisasi sudah menjadi keharusan pemangku kepentingan di sektor ini. Tujuannya adalah untuk menekan dampak serius dari penurunan harga komoditas. Ketergantungan ekspor komoditas tak dipungkiri masih sangat tinggi.
Ini bila diibaratkan sama saja dengan mana yang terlebih dahulu, telur atau ayam? Namun, yang jelas, komitmen hilirisasi sudah menjadi keniscayaan sehingga porsi ekspor berupa komoditas akan berkurang dan tergantikan dengan ekspor produk manufaktur.
Direktur Bina Program Minerba Kementerian ESDM Muhammad Wafid Agung mengungkapkan, hilirisasi mineral dan batubara (minerba) merupakan amanah dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 atau UU Minerba.
Namun, hingga kini belum ada regulasi turunan yang secara khusus mengatur tentang peningkatan nilai tambah dalam pemanfaatan batubara tersebut.
Wafid bilang, saat ini pedoman yang dimaksudkan masih dalam proses pembahasan dan ditargetkan bisa selesai pada tahun ini. “Sementara pedoman dulu, selesai tahun ini,” kata Wafid saat ditemui di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, pada Selasa (18/12).
Penyusunan pedoman ini akan berfokus pada hilirisasi yang menghasilkan dimethylether (DME). Sebab, skema ini dinilai paling siap untuk dikembangkan di Indonesia dilihat dari segi teknologi, keekonomian, maupun rantai pasar.
Apalagi, lanjut Wafid, proyek gasifikasi yang tengah dikembangkan PT Bukit Asam (PTBA) bersama sejumlah mitra dipandang layak untuk dijadikan sebagai prototype dalam pengembangan hilirisasi jenis ini.
“Poinnya tahun ini ada pedoman untuk prototype DME. Untuk konversi, lebih ke arah teknisnya,” ujar Wafid.
Meski belum menerangkan detailnya, namun Wafid mengatakan bahwa pedoman ini pada pokoknya ingin mendorong pengembangan batubara agar bisa lebih menarik. Sebab, meskipun dinilai paling siap, namun menurut Wafid, keekonomian pengolahan batubara menjadi DME masih belum menguntungkan jika hanya menghasilkan satu produk dan tidak disiapkan rantai pasarnya dari hulu sampai hilir.
“Kalau hanya DME berat, cost-nya besar. Harus ada satu paket produk lain, seperti amonia dan Polypropylene yang bisa dipakai di manufaktur. Jadi ini nyambung antara hulu, hilir, sampai ke turunan paling akhir,” terangnya.
Wafid mencontohkan kerja sama yang dilakukan oleh PTBA, di mana perusahaan batubara plat merah ini siap memulai dua proyek pengembangan gasifikasi. Pertama di wilayah mulut tambang Tanjung Enim, Sumatera Selatan, dan yang kedua di mulut tambang Peranap, Riau.
Di Tanjung Enim, PTBA bermitra dengan PT Pertamina, PT Pupuk Indonesia, serta PT Chandra Asri Petrochemical, yang akan memproduksi urea, dimethylether(DME) dan Polypropylene.
Sedangkan untuk gasifikasidi Peranap, PTBA bekerjasama dengan Pertamina dan Air Products and Chemicals Inc. untuk mengubah batubara menjadi DME dan syntheticnatural gas (SNG).
“Nah kalau pihak yang terlibat, seperti tadi PTBA, Pertamina, Candra Asih, dan Pupuk Indonesia, ini masing-masing berbisnis, semuanya sudah masuk dari batubaranya hingga di pupuk, dari hulu sampai hilir, itu baru masuk,” imbuhnya.
Agar secara utuh bisa menjadi regulasi untuk hilirisasi batubara, Wafid bilang, Kementerian ESDM pun tengah melakukan diskusi lintas kementerian/lemba terkait. Seperti dengan Kementerian Perindustrian dan Badan Kebijakan Fiskal di Kementerian Keuangan.
Bahkan, untuk semakin mendorong hilirisasi batubara, Wafid menyebut bahwa tak menutup kemungkinan, pemerintah akan memberikan insentif, baik itu insentif fiscal maupun non-fiskal. (F-1)