Industri kehutanan kini telah mengalami pergeseran. Industri kehutanan yang kini sudah bergeser menjadi industri berbasis hutan lestari sudah patut untuk diteruskan dan menjadi pijakan dasar kebijakan Presiden Joko Widodo untuk periode kedua 2019-2024.
Indikator itu bisa bisa terlihat dari kinerja yang moncer dari industri berbasiskan kehutanan. Berdasarkan catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), devisa dari industri ini tahun lalu mencapai angka USD12,17 miliar. Capaian tersebut adalah yang tertinggi sejak 10 tahun terakhir.
Rekor sumbangan devisa negara dari sektor kehutanan tersebut bisa dikatakan sebagai wujud keberhasilan para pemangku kebijakan (stakeholder) menjalankan langkah-langkah koreksi (corrective actions) yang disepakati bersama. Artinya, kebijakan yang sudah dijalankan selama ini wajib diestafetkan di periode kedua Joko Widodo.
Pasalnya, salah satu wujud keberhasilan corrective actions tergambar dengan pergeseran penggunaan bahan baku bagi industri kehutanan. Kalau pada masa lalu, industri perkayuan nasional lebih banyak mengandalkan bahan baku kayu dari hutan alam, kini sudah bergeser dengan pemanfaatan pasokan kayu dari hutan tanaman industri (HTI) dalam jumlah yang besar.
Menurut catatan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), hutan tanaman telah menyumbangkan sekitar 37 juta m3 kayu untuk kepentingan pemenuhan bahan baku industri sedangkan yang kayu bersumber dari hutan alam tinggal sekitar 5,6 juta m3.
Sejatinya, peningkatan sumbangan pasokan bahan baku dari HTI untuk pabrikan perkayuan bukan sekadar hitung-hitungan dolar yang meninggi dalam catatan devisa dan kinerja ekspor negara. Yang lebih penting dari angka-angka itu, penggunaan kayu dari HTI lebih menjamin kelestarian hutan di Indonesia.
Tak dipungkiri, bila mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor plywood pada kuartal pertama tahun ini tercatat naik 7,10% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu menjadi hanya 105,41 juta ton. Namun, dari sisi nilai mengalami penurunan 27,79% menjadi hanya USD110,62 juta.
Bahkan, adanya perang dagang Amerika Serikat Vs Cina, industri ini masih belum bisa mengoptimalkan peluang dari ekses dari perang dagang tersebut. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sejak 2017 ekspor kayu lapis Indonesia mengalami penurunan. Pelambatan kinerja tersebut tampak dari sisi volume ekspor maupun nilai pengiriman produk ke pasar mancanegara.
Hal itu diakui oleh Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo). Pelaku usaha di sektor itu mengungkapkan bahwa secara umum industri panel kayu belum dapat memanfaatkan eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina.
Pasalnya, jenis plywood yang dibutuhkan Negeri Paman Sam adalah plywood lunak, sedangkan plywood yang diproduksi Indonesia adalah plywood keras. “[Plywood lunak] harganya murah sekali, itu bisa dibilang harganya hampir separuhnya plywood Indonesia.”
Berbeda dengan Indonesia, Vietnam adalah salah satu negara yang dapat memanfaatkan momentum perang dagang. Hal ini lantaran Vietnam yang memproduksi plywood lunak. Adapun Malaysia yang memproduksi plywood keras bernasib serupa dengan Indonesia.
Produksi industri kayu lapis nasional saat ini sekitar 5 juta meter kubik per tahun dengan komposisi sekitar 50% ditopang oleh bahan kayu dari hutan tanaman alam (HTA).
Data asosiasi itu juga menunjukkan sekitar 95% produk kayu lapis yang berbahan dasar kayu HTA itu diekspor. Pasalnya, pasar dalam negeri lebih memilih kayu lapis dari kayu HTR (hutan tanaman rakyat) mengingat harganya jauh lebih murah karena biaya produksi yang minim dibandingkan dengan kayu lapis HTA.
Data Apkindo mengungkapkan kebutuhan kayu lapis di dalam negeri sudah sejalan dengan produksi kayu lapis dari bahan HTR sebanyak 80% dari total produksi, yakni 2 juta meter kubik. Adapun, 500.000 meter kubik kayu lapis dari HTR diekspor.
Saat ini, pasar domestik relatif cukup pasok plywood, lantaran tahun lalu oversupply. Sementara itu, pasar cenderung menahan pembelian. Namun, masa penahanan pembelian itu diproyeksikan hanya berlangsung 6 bulan, sehingga pada semester kedua tahun ini penjualan plywood akan meningkat.
Ketua Apkindo Bambang Supijanto memperkirakan, produksi plywood pada semester I/2019 hanya akan mencapai 1,5 juta m3. Hal tersebut merupakan dampak dari kelebihan produksi pada tahun lalu ketika harga plywood sedang tinggi.
“Untuk semester II/2019, menurut saya bisa mencapai angka 1,5 juta m3 saja itu sudah bagus mengingat kondisi pasar masih tidak bagus. Hal ini akibat persaingan dengan plywood Cina dan Rusia jauh lebih murah,” ujarnya, Rabu (19/6/2019).
Seperti juga dengan produk komoditas ekspor lainnya, industri kayu lapis berpotensi bangkit apabila akses ke pasar ekspor dibuka lebih luas. Daya saing harga produk juga perlu ditingkatkan.
Salah satunya adalah dengan penurunan bea keluar yang saat ini mencapai 12%. Asosiasi sebelumnya telah meminta penurunan menjadi hanya 5%. Mereka berharap bea keluar bisa turun jadi 5%, sehingga harga plywood Indonesia akan kompetitif.
Tidak itu saja, bila industri kayu berbasis hutan lestari terus menanjak kinerjanya tentu berimbas bagi industri ikutan lainnya, seperti pengolahan perekat kayu lapis. Sinergisitas semua pelaku tentu akan memperkuat daya saing produk termasuk memiliki kesempatan untuk mengisi kekosongan pasok Cina ke Amerika Serikat.
Beberapa kalangan memprediksi perang dagang Amerika Serikat Vs Cina masih terus berlangsung. Peluang ekspor untuk mengisi pasar yang ditinggalkan Negeri Panda tentu bisa menjadi berkah bagi Indonesia untuk mengisi pasar Amerika Serikat.
Namun, “Kelihatannya ekspor ke Amerika Serikat akan naik [akibat] perang dagang belum selesai. Saya rasa [produksi plywood] akan naik. Jadi, kami sebetulnya tidak terlalu pesimis,” ungkapnya.
Namun, perseroan tetap menargetkan pertumbuhan produksi bahan perekat kayu pada level konservatif. Perseroan secara maksimal dapat memproduksi 30.000 ton perekat kayu per tahun. Akan tetapi, perseroan hanya akan memproduksi 15.000 ton perekat kayu pada tahun ini. (F-1)