Konser Slank sempat terancam oleh hujan deras yang mengguyur Kota Medan selama hampir dua jam Jumat (19/7/2019). Toh, hanya mundur satu jam dari jadwal, dan ketika cuaca beranjak terang, para Slanker bisa menikmati atraksi Kaka-Bimbim cs, legenda rock & roll asal Kalibata, Jakarta, itu. Hits Virus, Loe Harus Grak, Virus, dan Ku Tak Bisa, mengalir menghanyutkan para fans.
Hujan masih menyiram Kota Medan dan sekitarnya Juli ini. Di Kota Padang, hujan deras dan angin kencang masih beraksi hingga awal Juli. Di saat yang sama, pada sebagian Sumatra lainnya, mulai Jambi, Sumatra Selatan, Lampung, seluruh Jawa-Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) hingga ujung Timur Nusa Tenggara Timur (NTT) telah meranggas terpanggang kemarau yang keras.
Kondisi Medan dan Padang yang basah kontras dibandingkan Palembang, Bandar Lampung, Jakarta, Bogor, Semarang, Surabaya, Denpasar, atau Kupang. Dari sisi hujan dan ketersediaan air, Medan dan Padang mirip dengan kota-kota Pontianak, Samarinda, Manado, Gorontalo, atau bahkan Jayapura di Papua yang masih berurusan dengan hujan deras, angin kencang dan pohon tumbang sampai Juli 2019.
Dengan panjang (garis lurus) sekitar 5.300 km dari Sabang ke Merauke, Indonesia memiliki wilayah geografis yang luas dengan segala keragamannya. Angin monsun, yang disebabkan oleh perubahan posisi matahari, yakni di Utara pada periode Maret-September dan di Selatan pada Oktober-Maret, menimbulkan akibat yang berbeda dari satu ke tempat lain di Bumi Nusantara.
Ada pengaruh unsur lokalnya (bentuk topograsi), angin laut-angin darat, bentang laut, selain efek Coriolis, gaya yang muncul akibat rotasi bumi yang membuat “efek berbeda pada gerakan angin” di wilayah di Selatan dan Utara Equator, dan banyak unsur lainnya. Belum ada efek El Nino, tekanan rendah di Pasifik Selatan.
Hasil interaki semuanya itu membuat Indonesia memiliki tiga wilayah dengan pola curah hujan yang berbeda. Di zona 1 yang meliputi Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Riau (termasuk Singapura dan Johor), bagian Utara Kalimantan dan Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah dan Tenggara, hingga Maluku Utara bahkan sebagian besar Papua. Puncak musim hujannya ada dua kali dalam setahun. Umumnya di bulan April-Mei, dan November Desember. Di sela-selanya ada musim kemarau tapi tidak terlalu kering. Wilayah ini sering disebut Zona Iklim Equatorial.
Pada Zona kedua, biasa disebut Monsoonal, meliputi Sumatra Selatan, Lampung, seluruh Jawa-Madura, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Selatan dan Timur, sebagian Sulawesi Selatan dan Tenggara. Di zona ini, hanya ada satu puncak musim hujan, biasanya pada Desember-Januari, kadang bergeser ke Januari-Februari. Pada zona ini, musim penghujan biasanya dimulai dari arah Barat, mulai dari Jambi-Sumsel bergeser ke Lampung, Jakarta-Jabar, Jateng, dan berlanjut ke Timur hingga NTT. Dari Palembang ke Denpasar awal musim hujannya bisa berbeda tiga hingga empat minggu.
Zona ketiga disebut zona lokal, yang meliputi sebagian Sulawesi Tenggara, Maluku dan Papua Barat. Periode hujan di sana dimulai April dengan puncaknya Juni-Juli-Agustus, kemudian melandai selama Oktober hingga Maret. Pola hujan Zona Lokal ini berkebalikan dengan Zona Moonson di sebagian Sumatera, Jawa hingga NTT.
Di masing-masing zona itu juga terdapat variasi yang sering kali tajam. Di wilayah Iklim Equatorial Sumatera Utara misalnya, meski sama-sama memiliki pola hujan dengan puncaknya di bulan April-Mei dan Oktober-November (kadang sampai Desember), tak berarti pada bulan lain semua kering kerontang.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1563786652_Pola_Iklim_Nusantara.jpeg" />
Dari Pantai Barat Aceh, Sumut, dan Sumbar, termasuk Kota Padang, hujan turun rata-rata 9 bulan per tahun dengan intensitas di atas 200 mm per bulan. Tiga bulan lainnya tergolong kering, meski masih sering turun hujan ringan (kurang dari 100 mm per bulan). Pantai Timur Aceh dan Sumut tak sebasah pantai Barat. Di sebagian tempat, hujan hanya turun 6-7 sebulan, lalu 2-3 bulan ada hujan ringan dan selebihnya kering. Namun, Medan beda lagi, karena memiliki 7-9 bulan hujan per tahun, dan selebihnya tak terlalu kering karena masih ada hujan meski di bawah 100 mm per bulan.
Begitu halnya di Zona Monsoonal seperti di Jawa, dengan wilayah Jawa Barat yang terkenal sebagai provinsi paling basah se-Indonesia. Kota Bogor dan sekitarnya mencatat curah hujan tertinggi, dan biasanya basah sepanjang tahun. Cianjur, Sukabumi, Garut, Bandung Barat, juga bercurah hujan tingggi dengan 7-9 bulan basah per tahun. Toh, di Jawa Barat ada juga bagian yang memiliki bulan kering cukup panjang 4-5 bulan, seperti di pantai Kabupaten Subang dan Indramayu.
Secara umum di Zona Monsoon ini, semakin ke Timur semakin banyak wilayah dengan curah hujan rendah, utamanya di NTB dan NTT, dari Sumbawa, Sumba, Flores hingga Pulau Timor.Namun, pada Zona Equatorial tak ada pola semacam itu. Yang ada hanyalah wilayah-wilayah yang relatif sedikit lebih kering seperti di Sulawesi Tenggara.
Dengan perbedaan pola yang ada, maka sering terjadi situasi yang kontradiktif. Ketika Kabupaten Konawane, Sulawesi Tenggara, disiram hujan berhari-hari, dan menimbulkan genangan pada tujuh kecamatan, pertengahan Juni lalu, di Wonosasri Johya dan Ponorogo Jatim, kekeringan sudah amat terasa. Hujan sudah absen hampir dua bulan, dan memasuki bulan ketiga Juli ini.
Peta iklim ini bukan sekedar informasi tentang hujan. Lebih dari itu, peta ini juga menggambarkan besarnya ketersedian sumberdaya air dari waktu ke waktu. Indonesia bukan hanya beragam dari segi budaya, etnik, bahasa, dan potensi hayatinya, melainkan juga beragam dari sisi iklimnya.
Keterangan ini diperlukan untuk banyak keperluan, terutama untuk kegiatan pertanian, wisata, dan kegiatan lain seperti merancang konser musik. Kalau musim hujan terlangsung sengit, ya apa boleh buat, konser Slank terpaksa harus digelar di panggung indoor.(P-1)