Tampaknya Indonesia perlu secara serius membuka diri untuk masuknya investasi baik asing maupun lokal. Pemerintah sadar bahwa tanpa investasi, ekonomi akan jalan di tempat. Pemerintah tidak dapat mengandalkan kemampuannya sendiri untuk menggerakkan roda ekonomi. Yang jauh lebih penting adalah mengundang masuk pihak swasta untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Yang juga perlu disadari kekuatan ekonomi dalam negeri belum maksimal. Ujungnya perlu mendatangkan investasi dari luar negeri. Dibanding dengan negara-negara tetangga, investasi asing di Indonesia boleh dibilang minim. Vietnam, misalnya, pada 2018 nilai investasi asing yang masuk mencapai 7% dari PDB-nya. Angka itu meningkat dibanding sebelumnya yang hanya 6,7% dari PDB.
Sementara itu, pada 2016 nilai investasi Indonesia hanya 0,4% dari PDB. Alhamdulillah mengalami kenaikan pada 2017 menjadi 2,2% PDB, lalu turun lagi tahun berikutnya menjadi 1,7%. Padahal pada 2018, Thailand dan Filipina sudah memasukkan investasi asing 2,9% dari PDB-nya.
Ada banyak faktor yang menjadi penghambat masuknya investasi ke Indonesia. Salah satunya adalah mengenai ketersediaan infrastruktur yang dirasa masih minim. Bukan hanya infrastruktur transportasi seperti jalan, bandara, dan pelabuhan. Tetapi juga minimnya infrastruktur energi, turut menjadi kendala.
Oleh sebab itu, pemerintahan Jokowi sejak periode lalu mencanangkan akan membangun pembangkit listrik mencapai 35 ribu MW. Meski angka itu belum tercapai, setidaknya usaha untuk membenahi sektor energi yang dibutuhkan investor bisa terpenuhi. Langkah yang diambil pemerintah, misalnya, dengan mendahulukan penggunaan energi baru terbarukan dibanding pembangkit listrik yang menggunakan energi fosil.
Bukan hanya keterbatasan infrastruktur yang menjadi penghambat masuknya investasi. Persoalan yang tidak kalah pentingnya adalah soal regulasi dan perizinan. Banyak aturan yang saling tumpang tindih memberi kesan tidak adanya kepastian hukum di Indonesia. Apalagi masih sering bermasalahnya aturan di daerah yang sering juga menjadi kendala masuknya investor.
Sejak awal masa pemerintahan, Presiden Jokowi telah memerintahkan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk melakukan kerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri untuk menyesuaikan berbagai aturan daerah yang dianggap menjadi penghalang masuknya investasi. Bahkan Mendagri pernah mencabut 3.000 Peraturan Daerah yang dianggap menjadi penghambat investasi.
Sayangnya Asosiasi Pimpinan Daerah menggugat keputusan Mendagri tersebut dan memenangkannya. Kini pemerintah pusat agak kesulitan mensinkronkan aturan-aturan daerah dengan aturan di pusat untuk memudahkan investasi.
Bukan hanya itu, kita tahu, kendala perizinan dan lambannya birokrasi juga menjadi keluhan banyak pihak. Pada pidato mengenai Visi Indonesia, Presiden Jokowi secara khusus menyoroti kinerja birokrasi ini. Satu dari lima poin yang disampaikan presiden adalah reformasi birokrasi. Bukan hanya membenahi orang-orang di birokras, melainkan juga sampai pada tahap melakukan pemangkasan apabila ada lembaga negara yang ternyata fungsinya tidak signifikan. Reformasi perizinan mungkin bisa dilakukan dengan penerapan izin secara online yang dapat memudahkan investor mencari kepastian.
Problem yang menjadi penghambat masuknya investasi selanjutnya adalah minimnya insentif pajak dan kurangnya memberi kemudahan perpajakan. Salah satu pilihan investor untuk menanamkan dananya adalah negara yang memberikan kelonggaran dalam sistem perpajakannya.
Sistem pajak di Indonesia, khususnya Pajak Penghasilan (PPh) 22, yang dikenakan kepada badan usaha pemerintah dan swasta dalam kegiatan perdagangan ekspor, impor, dan re-impor, serta PPh 25 tentang pembayaran pajak secara angsuran secara tahunan.
Setiap perusahaan harus membayar 2,6% dari nilai impornya dan ini cukup memberatkan perusahaan dan akhirnya mengurangi kesempatan untuk investasi. Selain itu belum banyak insentif perpajakan yang didapatkan investor apabila mereka masuk ke bidang-bidang tertentu, juga menjadi kendala berarti.
Sedangkan masalah kualitas tenaga kerja termasuk upah buruh juga bisa dibilang menjadi kendala yang cukup serius. Pemerintah memang pada periode ini agak fokus membangun kualitas SDM yang disesuaikan dengan kebutuhan industri. Ini misalnya dengan didorongnya berbagai sekolah kejuruan dan vokasi.
Sementara itu dari sisi pengusaha, peningkatan upah buruh yang cukup tinggi pada 2016, memberikan beban tersendiri bagi pengusaha. Kenaikan itu merupakan angka kenaikan yang kedua tertinggai di dunia setelah India. Kalau dihitung kinerja buruh Indonesia dibanding buruh di Thailand masih kalah jauh. Tetapi angka dan upah buruhnya hampir sama. (E-1)