Kehadiran orang asing sering memicu isu sensitif di Indonesia. Berbagai pihak, utamanya politisi, gemar membangun narasi bahwa orang asing itu mengancam peluang kerja, merebut hak-hak warga, bahkan menjadi alat politik negaranya. Sentimen itu tergambar pula pada kehati-hatian peraturan perundangan Indonesia, terkait kehadiran orang asing.
Tak heran bila keterlibatan tenaga kerja asing (TKA) dalam aktivitas produksi di Indonesia juga terbatas. Jumlah TKA di Indonesia saat ini tak lebih dari 95.000 orang, kurang dari 0,08% dibanding tenaga kerja domestik. Di Vietnam rationya sedikit lebih tingggi, yakni 0,14%, di Thailand 4,5%, Malaysia 18%, dan di Singapura malah 60%. Di negeri maju Amerika Serikat (AS) pun TKA-nya 16,7%. Yang unik, negeri-negeri Teluk Arab, seperti di Kuwait dan Qatar, ratio TKA-nya mendekati 100 persen.
Pemerintah Singapura justru memanfaatkan TKA itu untuk berbisnis, utamanya properti. Kepada 1,4 juta TKA yang ada, Pemerintah Singapura menawarkan peluang pemilikan properti. Boleh rumah susun (apartemen), boleh juga rumah tunggal (landed house) bila mau keluar uang lebih banyak. Mereka bisa menguasai properti dengan status hak pakai (lease whole) 75 tahun atau bahkan lebih, dan hak itu bisa diwariskan. Begitu halnya dengan Malaysia.
Dengan begitu setiap tahunnya ada saja TKA yang membeli properti. Perbankan setempat menyokong skema pembiayaannya. Bahkan, tak harus berstatus TKA dengan visa tinggal dan visa kerja, orang asing yang ingin menginvestasikan uangnya dengan membeli unit rusun atau landed house pun diizinkan.
Tak heran, bila dari tahun ke tahun, Pemerintah Singapura sibuk mereklamasi pantai, lalu membangun properti, dijual. Reklamasi lagi, membangun lagi, dijual lagi dan seterusnya. Setiap tahun, puluhan ribu unit rusun terjual. Pada 2019 ini diperkirakan 30.000 unit rusun dibangun di Singapura, sekitar 20 ribu akan diborong warga asing, dengan harga per unit 850 ribu dolar Singapura (2 kamar) - 1,1 juta dolar Singapura (3 kamar).
Kalau saja harga rata-ratanya 950 ribu dolar Singapura (Rp10 miliar), maka akan diperoleh devisa sekitar Rp200 triliun. Untuk 20 ribu unit di tower-tower 20 lantai itu, Pemerintah Singapura hanya perlu 20 ha lahan saja, termasuk fasos dan fasumnya. Bandingkan denggan CPO Indonesia yang untuk meraih ekspor USD18,5 miliar (Rp260 triliun) memerlukan lahan lebih dari 10 juta hektar.
Malaysia juga menjalankan kebiijakan yang serupa. Orang asing (TKA maupun investor) bebas membeli properti, dengan syarat harganya di atas MR 1 juta (Rp3,5 miliar). Bahkan, Malaysia mempromosikan program Malaysia’s My Scond Home. Bisnis hunian ini diminati oleh orang-orang asing yang ingin punya scond home di Malaysia, yang sebagian datang dari daratan China. Belakangan, kebijakan ini agak direm oleh PM Mahathir Mohammad, penduduk asli sering tak kebagian hunian.
Bisnis hunian untuk orang asing itu juga marak dilakukan di banyak negara, termasuk Jepang, Selandia Baru, Australia, bahkan belakangan Kamboja. Norma yang umum diberlakukan adalah bahwa hunian itu bisa dikuasai oleh orang asing dalam status hak pakai, dengan jangka waktu 50 tahun bahkan lebih. Bila masa pakai berlalu, bisa diperpanjang sesuai kesepakatan. Bila tidak diperpanjang, hak kembali kepada pemilik atau pengembang.
Memanfaatkan Produk Industri
Pengamat ekonomi Faisal Basri mendorong iklim yang lebih terbuka dalam bisnis hunian untuk orang asing. Kalau saja, menurut Faisal, pengembang Indonesia (termasuk BUMN) bisa menjual 500 ribu unit hunian dalam lima tahun, dengan harga rata-rata USD500.000 per unit, maka akan masuk devisa USD250 miliar, sekitar Rp3.400 triliun. ‘’Itu angka yang sangat berarti untuk ikut menahan melebarnya defisit neraca transaksi,’’ kata Faisal Basri.
Lebih jauh, tutur Faisal, bisnis Rp3.400 triliun itu dapat memacu guliran ekonomi luar biasa. Sebagian besar bahan bangunan bisa dipenuhi dari dalam negeri, mulai dari besi, aluminium, semen, kaca, panel plafon, kabel, keramik, cat, dan bahan lainnya. Tenaga kerja yang terserap cukup besar. Setelah hunian jadi, diperlukan interior, kitchen set, furniture, barang pecah belah, dan seterusnya yang melibatkan tak kurang dari 100 produk industri. Setelah dihuni, masih perlu cleaning service, sopir, tenaga security, dan lain-lain. ‘’Dampaknya signifikan,’’ kata Faisal Basri.
Begitu orang asing itu keluar uang membeli hunian, harta itu tak bisa dibawa keluar negeri. Kalau pun si pemilik akan menjualnya, transaksinya juga harus di bawah hukum Indonesia sehingga devisanya tetap tinggal di Indonesia. ‘’Beda dengan investasi pada bursa saham yang sangat volatile. Hari ini uang masuk, lusa uang bisa ditarik kembali,’’ Faisal menambahkan.
Namun, Faisal Basri mengakui, untuk mendorong bisnis hunian di Indonesia goes international tidaklah mudah. Hambatan terutama ada di regulasinya yang tidak ramah. Larangan orang asing memiliki tanah, sebagaimana diatur dalam UU Pokok Agraria (UUPA No. 5 tahun 1960) bukanlah penghalang. Pasalnya, norma yang berlaku secara global ialah membeli hak pakai dengan jangka waktu tertentu (lease whole). Jadi, larangan pemilikan tanah bukan isu.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 103/2016 menyatakan, bahwa orang asing (WNA) boleh membeli hak pakai, baik di rumah tunggal (landed house), maupun rumah susun (apartemen). Untuk rumah tunggal, pembelian harus disertai perjanjian pemberian hak pakai oleh pemilik sah WNI pada WNA (pembeli) di depan notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Untuk rumah tunggal, perjanjian berlaku 30 tahun, dan dapat diperpanjang 20 tahun lagi, ditambah 30 tahun lagi pada tahap berikutnya. Batas maksimun kavling rumah tunggal 2.000 m2. Pada rumah susun, WNA boleh menikmati hak milik atas unit apartemen, tapi rusun tersebut harus berada di atas tanah hak pakai yang dikuasai pengembang.
Lantas, WNA mana pula yang boleh membeli hunian itu? Disini masalahnya. WNA yang boleh membeli hunian rumah tunggal atau apartemen haruslah mereka yang telah memiliki izin tinggal, dan dibuktikan dengan KITAS (Kartu Izin Tinggal Terbatas) atau KITAP (Kartu Izin Tinggal Tetap). Umumnya, mereka itu mereka yang memiliki visa kerja sebagai tenaga ahli, professional atau investor.
Dengan syarat itu, maka pasar hunian untuk WNA tetap sebatas pada tenaga kerja asing yang telah ada di Indonesia, dan jumlahnya tak sampai 100 ribu. Sebagian mereka telah lama di Indonesia dan membeli hunian sejak peluang itu dibuka tahun 1996. PP No. 103/2015 tak memberi perubahan substansial.
Yang lebih merepotkan ialah urusan waris. WNA yang meninggal hanya boleh mewariskan hunian itu kepada sanak-keluarganya yang juga punya izin tinggal di Indonesia. Tanpa itu, hak waris ini hangus. Ketentuan itu membuat investasi membeli rumah tinggal atau apartemen di Indonesia tidak menarik. Sebagian mereka memilih menyewa.
Untuk menjadikan Indonesia sebagai destinasi investasi hunian yang menarik bagi WNA, peraturan yang memberatkan harus dirombak. Pertama, soal jangka waktu atas hak pakai itu. Aturan yang menuntut 30 tahun diperpanjang, lalu 20 tahun kemudian diperpanjang lagi, dipandang tidak memberikan kepastian hukum. Beberapa negara memberikan hak pakai 50 tahun atau lebih sekaligus.
Kedua, membatasi pembeli hunian itu hanya WNA yang memiliki visa tinggal, itu mempersempit pasar. Faisal mendorong agar pasar dibuka seluas-luasnya seperti di Singapura, Malaysia, Thailand, Kamboja, Selandia Baru, Australia, Kanada, dan Amerika Serikat.
Toh, Faisal Basri juga mengaku, kalaupun semua aturan itu diubah, tak mudah juga mencari lokasi yang sesuai. Calon pembeli memilih lokasi hunian (untuk tujuan investasi) yang berada dekat dengan pusat ekonomi, seperti di Jakarta, Surabaya, Medan, Manado, Makassar, atau Batam. Bisa juga di dekat lokasi wisata, seperti di Bali, Lombok, dan Bintan.
Untuk yang di Jawa dan Bali, menurut Faisal Basri, bisa dikembangkan model apartemen. Sedangkan di tempat lain sebagian bisa dalam bentuk landed house. ‘’Yang penting, kita harus mulai cepat. Mumpung pasarnya lagi bagus,’’ ia menambahkan. Kalau lambat, katanya, peluang itu akan terbang.
Peluang itu perlu ditangkap, di saat Indonesia kesulitan mendongkrak ekspor akibat merosotnya harga dan permintaan berbagai komoditas, daya saing industri manufaktur yang melemah, dan menyusutnya investasi asing. (P-1)