Api itu berbanding terbalik dengan air. Begitu air hujan menghilang, api pun menerjang. “Relasi buruk” itu biasa terjadi di kawasan yang masih menyisakan lahan-lahan budidaya, tapi berupa tanah kritis yang ditumbuhi belukar setelah kayu hutannya lama menghilang. Di sana api berbiak ketika kemarau datang. Ini bukan hukum alam, melainkan ulah manusia yang ingin membuka lahan kebun dengan memperalat api sebagai “traktor” pembersih lahan.
Hasilnya, kabut asap merayapi jalan-jalan di Kota Pekanbaru dan melayang di atas Sungai Siak. Bahkan, dari jarak dua tiga kilometer Tiang Utama Jembatan Siak 4, yang menjulang berbentuk huruf A terbalik, tidak terlihat lagi karena berselimutkan kabut, Kamis (25/7/2019). Warga tak hanya mengeluhkan soal kabut yang membuah perih di mata, sesak di dada, juga bau sangit yang menyengat hidung.
Meski tak separah Pekanbaru, kabut asap juga menyergap Palembang. Kawasan Benteng Kuto Besak, Pasar 16 Ilir, di dekat Jembatan Ampera 1, serta Jaka Baring Sport City, pada awal Juli lalu. Dampaknya belum terlalu serius. Jarak pandang di Bandara Mahmud Badaruddin II sekitar 5 km, dalam batas aman untuk penerbangan.
Temperatur siang hari di Palembang, dalam pemantauan Kantor BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) setempat, tercatat 32 Celsius. Bila kabut kian pekat, suhu udara cenderung naik karena ada energi matahari yang tertahan di lapisan atmosfir bawah akibat partikel debu tersebut. Pada kabut yang ekstrim, temperatur udara Palembang pernah melesat mencappai 40° Celsius.
Dengan curah hujan yang di bawah normal, titik-titik panas (hotspot) di Sumatra Selatan tahun 2019 ini cukup besar. Periode Januari-Juni 2019 tercatat 311 hotspot di Sumsel, utamanya sepanjang Mei-Juni, di mana pada sebagian daerah telah memasuki musim kemarau lebih cepat. Beberapa titik api di Selatan Palembang awal Juli lalu telah dipadamkan, sebelum api memanggang lahan sekitarnya.
Tidak mau kecolongan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumsel melakukan antisipasi ekstra. Selain memantau titik panas yang datang-pergi, BPBD Sumsel mengatakan telah menyiagakan tiga heli pembom air agar bisa cepat bertindak bila api muncul. Toh, memasuki pekan ke-4 bulan Juli ini, 18 titik panas terpantau lagi di wilayah Sumsel.
Kondisi Riau lebih rawan. Pada saat yang sama 35 titik api terlihat di berbagai daerah di Riau, terpantau di Jambi, Bengkulu, dan Bangka.
Api juga mengintai di Kalimantan Tengah. Foto satelit menunjukkan bahwa pada sepanjang tiga pekan pertama Juli 2019 ada 219 titik panas, sebagian besar berkerumun di Kabupaten Sungai Pisang dan di Kotawaringin Timur. Dalam jumlah yang lebih ringan ada di Kabupaten Barito dan Kapuas. Bahkan, di Kota Palangkaraya sendiri ada enam kasus karhutla (kebakaran hutan dan lahan). Berkat reaksi cepat aparatur negara yang dibantu masyarakat, api bisa dilokalisasi di 380 hektar saja.
Karena kebakaran sudah menjadi kasus rutin, BPBD pada tingkat kabupaten/kota sudah terlatih beraksi dalam Satgas Penanggulangan Karhutla. Selain melibatkan aparatur pemerintah termasuk BPBD, Satgas Karhutla ini belakangan mengikutsertakan masyarakat dan perusahaan swasta yang menguasai lahan di sekitar titik api.
Terkait ancaman karhutla ini, secara dini Kepala BNPB Letjen TNI Doni Monardo menginspeksi kesiapan Satgas Gabungan Karhutla Provinsi Riau, jelang pertengahan Juni lalu. Satgas itu terdiri dari personel BPBD, satuan TNI/Polri, dan apatur daerah lainnya. Setelah menjalani pelatihan teknis-peralatan kordinasi, 1.500 personel satgas itu dilepas secara resmi oleh Doni Monardo, untuk terjun mencegah dan menangani karhutla bersama unsur masyarakat lain. Kepala BNPB itu juga memberikan bantuan dana siap pakai kepada BPBD Riau Rp300 juta, Polda Riau Rp250 juta, dan Rp1 miliar untuk Korem 031/Wirabima.
Dengan segala kesiapan ini, kasus karhutla bisa ditekan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bahwa kasus karhutla mengalami penurunan signifikan sejak 2015 hingga 2019. Pada tahun 2015 terjadi kebakaran hutan dahsyat, yang memanggang area seluas 2,6 juta hektar. Pada tahun 2016 angka itu turun menjadi 438 ribu hektar, lalu 165 ribu ha pada 2017, naik lagi ke 510 ribu ha pada 2018, dan hingga pertengahaan 2019 ini tercatat Karhutla sebatas pada areal 43 ribu ha.
Serangkaian upaya dilakukan untuk mencegah karhulta itu. Mulai dari monitoring, membentuk satuan patroli, monitoring yang tanpa putus, melakukan pembasahan kembali (rewetting) atas lahan gambut dengan menimbun kanal-kanal drainasenya, membentuk Satgas Antikarhutla, dan yang utama adalah penegakan hukum.
Bukan rahasia lagi, bahwa karhutla lebih banyak dipicu dari lahan-lahan yang dikuasai oleh korporasi besar. Maka, sejak tahun 2015 hingga 2019 saat ini lebih 550 kasus kejahatan terkait lingkungan hidup dan kehutanan dibawa ke pengadilan. Tak kurang dari 500 perusahaan dikenai sanksi administrasi dan banyak pengurus perusahaan diseret ke penjara.
Namun, dunia usaha kehutanan adalah bisnis dengan potensi pelanggaran yang besar. Masih ada saja yang mencoba bermain kucing-kucingan dan menyulap api menjadi traktor pembersih lahan, terutama di Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar, Kalteng, Kaltim, bahka belakangan Papua. Tak heran, bila mata petugas, mata satelit dan pegiat media sosial, terus memantau kawasan tersebut. Pemerintah juga tak boleh lengah. (P-1)