Nama Kapten Lukas Kustaryo adalah salah satu legenda dalam kisah pertempuran di jalur berdarah antara Karawang-Bekasi 1945-1947. Komandan Kompi dari Batalyon Tajimalela Divisi Siliwangi amat berbahaya bagi lawan, karena kecermatan, kecerdikan, dan utamanya keberaniannya dalam perang gerilya. Tak ada angka pastinya, tapi diakui cukup banyak prajurit KNIL yang menjadi korban sergapan maut Kompi Lukas Kustaryo itu.
Jengkel karena tusukan-tusukan maut Kapten Lukas, Divisi I KNIL pun mengirim pasukan ke Rawagede, dusun yang kini masuk Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang, Jawa Barat. Ada laporan bahwa patroli KNIL ditembaki di Rawagede. Maka, pada dini hari 9 Desember 1947, Rawagede dikepung oleh sepasukan KNIL yang dipimpin seorang mayor, dan diperkuat prajurit para-komando DST (Depot speciale Troepen) baret hijau.
Serdadu Belanda memulai aksinya dengan tembakan mortir. Siapa yang terlihat keluar desa ditembak. Pagi harinya, serdadu KNIL merangsek masuk desa, tak ada perlawanan. Warga diminta menunjukkan pasukan Lukas, tak ada jawaban. Kekerasan berlanjut. Letusan senapan mulai terdengar. Puncaknya, warga desa dikumpulkan di tanah lapang, terutama kaum lelaki termasuk remajanya.
Laras bedil dan moncong senapan mengarah ke mereka. Lalu, letusan bertubi-tubi terdengar. Ratusan raga rebah ke tanah, bersimbah darah, dan sunyi tanpa suara. Sebanyak 431 orang meregang nyawa hari itu, sebagian wanita dan anak-anak.
Setahun sebelumnya, pasukan KNIL yang di dalamnya juga ada prajurit baret hijau DST (Depot speciale Troepen) menebar maut di sejumlah desa di pinggiran Kota Makassar dan Gowa. Di bawah pimpinan Kapten Raymond Pierre Westerling, serdadu Belanda itu membantai ribuan warga desa dengan dalih menumpas pemberontakan.
Kisah kekerasan dan kebrutalan pada era 1945-1949 praktis ada di mana-mana dengan skala berbeda. Hampir semua kota di Indonesia memiliki local heroes yang diwarnai kisah-kisah kekejaman Belanda. Sebagian menjadi mitos karena miskinnya verifikasi, lalu redup oleh perjalanan waktu.
Pemerintah RI yang masih muda memang tak bisa berbuat banyak. Dalam kasus Rawagede, Pemerintah RI hanya bisa mengadukan peristiwa pembantaian itu ke Satuan Tugas (Satgas) PBB, yakni Committee of Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk Indonesia), yang ketika itu hadir di Jakarta. Komite itupun hanya bisa mengecam dengan menyebut tindakan serdadu Belanda itu “disengaja dan kejam”, tapi tak bisa memberi sanksi apapun.
Bertahun-tahun persoalan itu mengambang. Sejarah pun dikonstruksikan dengan cara yang berbeda. Di Belanda, tindak kekerasan itu disebut penumpasan pemberontakan, penegakan hukum, dan ketertiban yang diganggu kaum ekstrimis, atau melindungi warga Belanda dan kepentingan Kerajaan Belanda dari kekejaman kelompok bersenjata yang haus darah. Pihak Indonesia membangun narasi bahwa korban itu adalah kusuma bangsa yang rela menyerahkan jiwa raganya untuk kemerdekaan bangsanya.
Dalam perjalanannya, narasi-narasi itu dianggap tak mewakili ide-ide yang berkembang terkait dengan tatanan hukum baru yang melindungi hak-hak asasi manusia. Kejahatan perang tidak boleh dibiarkan. Seorang veteran KNIL yang terlibat kasus Rawagede menulis surat penyesalan 20 tahun kemudian. Ia menulis surat itu karena tak bisa menerima pembantaian serupa yang menewaskan 20 warga di Desa Wamei, Gerderland, Belanda, oleh prajurit NAZI Jerman, September 1944. Tak lama, surat yang dikirim secara anonim itu menjadi surat terbuka yang menggegerkan parlemen Belanda.
Parlemen pun mendesak Pemerintah Belanda membentuk tim untuk meneliti kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan KNIL (Koninklijke Nederlands-Indische Leger) 1945 -1950. Laporan resminya baru dirilis Januari 1995, setebal 282 halaman. Di dalamnya tertera ada 140 kasus pelanggaran. Kasus Rawagede ada di dalamnya, dan disebut menimbulkan “hanya” 150 korban jiwa. Mayor yang memimpin aksi di dusun itu tidak dibawa ke pengadilan militer dengan alasan demi kepentingan yang lebih besar.
Ke Pengadilan Den Haag
Kalangan aktivis HAM, baik di Holland maupun Indonesia, menghargai niat baik Belanda mau mengakui pelanggaran oleh serdadunya. Tapi, selain menganggap laporannya tak cukup kredibel, juga tidak cukup melayani perspektif keadilan. Fakta-fakta itu tetap terbingkai dalam narasi lama, bahwa operasi militer itu untuk penegakan ketertiban, pemberantasan pemberontakan secara berlebihan, atau melindungi kepentingan Belanda.
Maka, gugatan atas apa yang disebut sebagai kejahatan perang itu terus bergulir. Batara Hutagalung, seorang aktivis dan putra Dokter Hutagalung, dokter pribadi Jenderal Sudirman, membentuk Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMB) di Jakarta 2002, dan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) 2005. Melalui dua lembaga itu, Batara dan kawan-kawan terus menuntut pihak Belanda mengakui segala kejahatannya selama masa perang dan mengakui Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
Menghabiskan masa mudanya belajar di Belanda, Batara memiliki jaringan di kalangan aktivis, lawyer, dan intelektual yang bisa membawa petisi-petisinya ke meja pimpinan fraksi di parlemen atau ke para direktur di gedung-gedung pemerintahan di Belanda. Ia juga bekerja sama dengan aktivis Belanda yang sejalan, dan mengajak Jeffry Pondaag, warga Belanda asal Indonesia, menjadi perwakilan komitenya. Jeffry bersedia. Batara beberapa kali terbang ke Amsterdam dan bersama Jeffry menemui sejumlah aktivis, politisi, serta ahli hukum.
Isu kekerasan di era perang kemerdekaan dan keengganan Belanda mengakui Kemerdekaan RI 17 Agustus (Belanda mengakui Kemerdekaan RI itu bersamaan dengan penyerahan kedaulatan di konferensi Meja Bundar Den Haag 17 Desember 1949) itu bergulir lagi di ruang-ruang politik di parlemen. Tidak tahan oleh desakan dari sana sini, Menteri Luar Negeri Bernard Rudolt Bot pun hadir pada upacara peringatan HUT ke-50 RI di Istana Negara Jakarta, 17 Agustus 2005. Tiga tahun kemudian PM Balkenende hadir di resepsi diplomatik pada HUT ke-63 Kemerdekaan RI, yang digelar oleh KBRI Belanda di Wisma Duta, Den Haag. Belanda mengakui Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 secara de facto.
Namun, para aktivis tak puas. Mereka menginginkan agar kekerasan yang dilakukan KNIL semasa perang kemerdekaan dibawa ke pengadilan. Maka, mereka mengajak enam janda, seorang anak yang ayahnya menjadi korban, dan seorang lelaki penyintas (survivor) untuk menggugat Pemerintah Belanda secara perdata di Pengadilan Den Haag 1908. Mereka dibantu secara pro bono (gratis) oleh seorang pengacara kondang Liesbeth Zegveld dari biro hukum Bohler.
Setelah hampir empat tahun bersidang, gugatan itu dimenangkan oleh penggugat dari Dusun Rawagede Karawang itu. Masing-masing penggugat menerma ganti rugi Rp1 miliar pada 2012. Menurut Liesbeth bukan soal uangnya, yang lebih penting Pemerintah Belanda divonis bersalah dalam kasus pembantaian di Dusun Rawagede. ‘’Karenanya, atas nama masyarakat Belanda, saya meminta maaf kepada Bangsa Indonesia,’’ kata Liesbeth ketika hadir menemui kliennya di Karawang.
Adalah pengacara Liesbeth Zegveld pula yang membawa kasus Yaseman, warga sebuah desa di Jawa Timur, ke Pengadilan Distrik Den Haag. Yaseman menuntut ganti rugi atas penganiayaan oleh serdadu KNIL dalam perang kemerdekaan. Yasemen mengaku dipukuli, disundut rokok, dan disetrum, karena disangka anggota TNI. Peradilan pun digelar. Dalam usia 89 tahun, pada 2017, ia memberikan kesaksian kepada pengadilan melalui jaringan Skype. Beberapa bulan kemudian Yaseman meninggal.
Maka, ia tak menyaksikan ketika Pengadilan Distrik Den Haag memenangkan gugatannya. Pemerintah Belanda divonis bersalah dan diwajibkan membayar ganti rugi sebesar 12 ribu Euro. Tapi, pemerintah Belanda mengajukan banding. Kini, Pengadilan Distrik Den Haag. Masih ada 20 kasus serupa yang kini sedang disidangkan di Pengadilan Distrik Den Haag.
Kolonialisme Ideologi Terlarang
Bagi warga milenial Belanda seperti Marjolein van Pagee, 32 tahun, wartawan, aktivis HAM, sekaligus sejarawan, urusan kolonialisme belum selesai. Ia ikut membentuk satu jaringan yang disebut Histori Bersama, yang ingin mengkonstruksikan sejarah kolonialisme secara jujur dan atas dasar perspektif bersama antara Indonesia dan Belanda.
Baik Markolein maupun Lisbeth yang dari generasi yang lebih tua menginginkan Belanda bisa terbebas dari beban sejarah Perang Kemerdekaan 1945-1949. Harapannya, antara lain, agar Belanda lebih sah mengklaim sebagai The Capital og Global Justice.
Namun, bagi Marjolein, mengakui kesalahan saja tidak cukup, karena di balik tindakan kejam dan brutal itu ada struktur kekuasaan kolonialisme di belakangnya. Ideologi kolonialisme itu disebutnya membawa pandangan rasisme, diskriminatif, eksploitatif, dan tidak menghormati lingkungan. Karenanya, perspektif sejarah baru perlu melihat kolonialisme sebagai penyakit politik yang pantas dikubur, agar tidak tumbuh strain barunya yang tentu akan berbahaya bagi tatanan dunia
Pemerintah Belanda merespons tuntutan ini dengan menyediakan dana untuk investigasi baru. Sejak 2016, tim yang membahas 8 tema itu terjun kembali melakukan penelitian untuk meninjau kasus-kasus kekerasan di masa lalu dengan perspektif baru. Dengan begitu, kalau pun benar Kapten Lukas Kustaryo menembak patroli KNIL di Rawagede, itu tak bisa disalahkan. Posisi mereka seperti polisi yang menembak perampok bersenjata. (P-1)